.

Minggu, 07 Agustus 2016

PENGURAI LOGAM BERAT DI PESISIR PANTAI



              
  Pemanasan global semakin hari semakin meningkat,gelombang air laut kian besar/tinggi,serta pertambahan penduduk yang semakin besar.Maka banyak sekali limbah industri,rumah tangga yang di buang ke lingkungan tanpa pengolahan atau penetralisiran terlebih dahulu.Maka dari itu,Tanpa adanya suatu hutan bakau(hutan mangrove) mungkin akan terjadi abrasi besar dan parahnya air laut yang tercemar.Disini saya akan membahas tentang hutan mengrove itu sendiri.
Gambar:https://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=AwrSbm5GdKZXmcUAyx9XNyoA;_ylu=X3oDMTE0M2RuZmtkBGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDQjIzNzFfMQRzZWMDcGl2cw--?p=hutan+mangrove&fr=tightropetb&fr2=piv-web#id=15&iurl=https%3A%2F%2Ffarm4.staticflickr.com%2F3170%2F2892287420_4f50c2e259_z.jpg&action=close


                Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
 Gambar:https://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=AwrSbm5GdKZXmcUAyx9XNyoA;_ylu=X3oDMTE0M2RuZmtkBGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDQjIzNzFfMQRzZWMDcGl2cw--?p=hutan+mangrove&fr=tightropetb&fr2=piv-web#id=15&iurl=https%3A%2F%2Ffarm4.staticflickr.com%2F3170%2F2892287420_4f50c2e259_z.jpg&action=close

                Hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.Luas hutan bakau di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
                Jenis tumbuhan hutan bakau ini berbeda-beda, karena bereaksi terhadap variasi (perubahan) lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah gambut.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi kondisi lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya berlapis-lapis, mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga ke pedalaman yang relatif kering.
                Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya.Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
                Berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser.
Suksesi dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang baru di bagian belakang.Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering.
Ada beberapa jenis tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20 genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.Dari jenis-jenis itu, sekitar 39 jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan, adalah 202 spesies.
Fungsi dan manfaat
Dari segi ekonomi, hutan mangrove menghasilkan beberapa jenis kayu yang berkualitas baik, dan juga hasil-hasil non-kayu atau yang biasa disebut dengan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), berupa arang kayu; tanin, bahan pewarna dan kosmetik; serta bahan pangan dan minuman. Termasuk pula di antaranya adalah hewan-hewan yang biasa ditangkapi seperti biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang lumpur (Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai jenis ikan belodok.
Manfaat yang lebih penting dari hutan bakau adalah fungsi ekologisnya sebagai pelindung pantai, habitat berbagai jenis satwa, dan tempat pembesaran (nursery ground) banyak jenis ikan laut.
Salah satu fungsi utama hutan bakau adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan membangun green belt atau sabuk hijau berupa hutan mangrove. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah dikategorikan rawan terkena tsunami karena hutan bakaunya sudah banyak beralih fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.
Hutan Mangrove sebagai Spawning Ground (Tempat Pemijahan)
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain adalah sebagai spawning ground atau tempat pemijahan bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang (Rochana, 2011).
Arisandi (1996) melaporkan bahwa Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh jenis pohon api-api (Avicennia marina). Ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya berpotensi sebagai bioakumulator logam berat. Dari hasil penelitian terhadap kandungan logam berat tembaga (Cu) pada mangrove jenis Avicennia marina yang dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti Madya Lembaga Kajian dan Konservasi Lahan Basah-ECOTON) pada tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa pohon api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo mengandung tembaga (Cu) di bagian akar sebesar 8,1782 μg/gr, dibagian kulit batang sebesar 3,8844 μg/gr dan di bagian daun sebesar 2,4649 μg/gr. Sedangkan rata-rata kandungan tembaga (Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 12,7277 μg/gr.
Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari Pantai Timur Surabaya terhadap pencemaran logam berat. Pantai Timur Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu). Hal ini merujuk pada penelitian Anwar (1996) yang menunjukkan bahwa darah masyarakat nelayan di Kenjeran
mengandung tembaga (Cu) sebesar 2511,07 ppb dan merkuri (Hg) sebesar 2,48 ppb, padahal ambang batas tembaga dalam darah menurut ketetapan WHO adalah 800-1200 ppb, (Rini, 1999).
               


 Daftar Pustaka:

Erari,samuel sander.Mangimbulude,jubhar.Lewerissa,kirana.vol 8 No 1.2011.seminar nasional VIII pendidikan biologi
Saputro,hendra.Alfianto,tiyan.Arifullah,Dikky Ristan.2011.Potensi mangrove sebagai penyerap logam berat wilayah pesisir
Annonim.2016.Hutan mangrove.Ensiklopedia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.