.

Rabu, 30 November 2016

Pencemaran Lingkungan di Jawa Barat



                          


                           Pencemaran Lingkungan di Jawa Barat
POKOK-POKOK PERMASALAHAN LINGKUNGAN
Pokok-pokok permasalahan lingkungan di Propinsi Jawa Barat yang telah teridentifikasi hingga saat ini, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  • Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan deplesi
    sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya),
    semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin
    meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan pegunungan
    maupun hutan pantai (mangrove).
  • Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang
    penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga dengan
    segala jenis limbahnya, terutama sampah.
  • Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah dan
    selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk daerah
    yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah lainnya di
    Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga kegiatan pertambangan.
  • Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan
    lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.
  • Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove, abrasi dan
    akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi air laut, dan
    pencemaran air laut.
  • Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi, munculnya
    permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jabar, pedagang kaki lima - PKL dan
    kesemrawutan lalu lintas.
  • Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik dari
    interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.
Terbatasnya sarana dan prasarana pemantauan lingkungan (termasuk laboratorium lingkungan) serta sistem informasi lingkungan. Lemahnya fungsi pengendalian, sebagai akibat kurang efektifnya kegiatan pemantauan, dan juga akibat rendahnya penegakan hukum (law enforcement), dan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.

GAMBARAN PERMASALAHAN LINGKUNGAN JAWA BARAT
·        Degradasi Sumberdaya Alam
1.     Sumberdaya Lahan
Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air.
2.     Sumberdaya Air
Wilayah Propinsi Jawa Barat banyak diberkahi dengan sumber-sumber air tapi dengan cepatnya kenaikan permintaan akan air telah mengakibatkan sistem penyediaan yang dibangun tidak lagi seimbang. Curah hujan yang besar (terutama di wilayah bagian tengah) memberikan aliran air permukaan berlimpah, tapi keragaman aliran menurut musim dan keterbatasan fasilitas penyimpanannya sumber-sumber air permukaan tidak lagi memadai untuk satu tahun penuh. Air tanah juga merupakan sumber penting tapi pengembangannya dibatasi oleh jumlah pengisian kembali sumber air tersebut.

Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri, dan irigasi pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 pertahun, dan diperkirakan akan terus naik sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80% dari total permintaan air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Propinsi Jawa Barat dan air tanah.


.
3.     Sumberdaya Hutan
Salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas hutan. Penurunan hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS, memiliki konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Banjir dalam periode musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat pada lima tahun terakhir. Masalah-masalah lingkungan terkait lainnya yaitu tingginya sedimentasi sungai dan waduk telah mengakibatkan berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah yang hebat di daerah-daerah tangkapan air, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan luas hutan.
Angka penurunan hutan yang tinggi di Jawa Barat sangat serius. Penyebab penurunan hutan bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya di tingkat lapangan. Masalah terakhir ini sebagian besar disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, skala penurunan hutan di Jawa Barat meningkat. Sebagai contoh, pada skala lokal di KPH Bandung Selatan, perambahan hutan dilaporkan hingga 15.500 ha. Ini berarti 28% dari keseluruhan areal hutan yang melibatkan sekitar 41.500 keluarga (Anonymous, 1999). Hasil-hasil pertanian perkebunan pada lahan hutan disatu sisi memberikan keuntungan ekonomi buat petani dalam jangka pendek. Tapi pada sisi lain, hal ini akan mengurangi produksi hutan dan merusak layanan-layanan lingkungan lainnya termasuk stabilisasi tanah dan air, iklim mikro, dan merosotnya karbon. Konflik antara kepentingan-kepentingan ekonomi dan ekologi ini perlu ditangani secara tepat sehingga keberadaan sumberdaya hutan yang tersisa dapat tetap terpelihara.
4.     Masalah pertanian
Selama lima tahun terakhir telah terjadi pengurangan atau alih fungsi lahan sawah di Jawa Barat sebesar 62.834 Ha, yaitu dari luas sawah 976.869 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 881.637 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 38.159 Ha, yaitu dari luas sawah 64.147 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 25.988 Ha pada tahun 2002.
Sebaliknya pertanian lahan kering selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penambahan luasan lahan kering atau alih fungsi ke lahan kering di Jawa Barat sebesar 804.409 Ha, dari luas lahan kering 1.781.909 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 2.586.318 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Garut sebesar 90.347 Ha, dari luas lahan kering 154.514 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 244.861 Ha pada tahun 2002.
Pembangunan pertanian pada saat ini khususnya tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada penyediaan bahan pangan beras. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Barat tahun 1999 sebesar 1,59 % (NKLD, 2000). Produksi padi mencapai 10.340.686 ton GKG, atau mencapai 99,71 % dari sasaran sebesar 10.370.436 ton, dan meningkat 5.57 % dari tahun 1998 yang mencapai 9.795.638 ton GKG (NKLD, 2000).

5.     Masalah kegiatan pertambangan
Penambangan bahan galian 'C' mencakup pengerukan, penggalian atau penambangan material yang tidak termasuk material strategis. Bahan galian 'C' termasuk pasir, kerikil, tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir dan kerikil ditemukan di dataran-dataran rendah dan sungai; batu keras (basal, andesit, dasit) untuk agregat ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan. Pengadaan bahan galian 'C' sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik wilayah di Jawa Barat dan Jakarta.
Tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini telah mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan dimana belum ada ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak dan kurangnya rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan lingkungan karena penambangan, pengedukan dan pengerukan bahan galian 'C' sebagian besar diakibatkan dari kurang mempertimbangkan masalah-masalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perbaikan pasca penambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi atau oleh dampak kumulatif dari operasi-operasi kecil.
Dampak-dampak lingkungannya meliputi: (i) destabilisasi lereng dengan penggalian dinding-dinding tinggi, yang sering meluas sampai batas wilayah perumahan, (ii) meningkatnya bahaya tanah longsor atau runtuhnya batuan akibat terpotongnya lereng curam yang terdiri dari batuan lepas dan batuan lapuk, karena cuaca dan tidak terkonsolidasi, (iii) meningkatnya erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup, (iv) meningkatnya kekeruhan dan pendangkalan selokan dan sungai karena penggalian tanpa penyediaan penampung sedimen, (v) kerusakan daerah resapan air tanah, (vi) semakin menurunnya permukaan air bawah tanah atau hilangnya air tanah karena terpotongnya akuifer, (vii) polusi debu dan suara dari jalan-jalan pengangkutan serta kerusakan vegetasi dan tanaman.
6.     Permasalahan lingkungan pantai dan wilayah pesisir
Masalah-masalah umum yang dihadapi wilayah pesisir dan pantai Jawa Barat adalah degradasi hutan bakau, gerusan (abrasi) dan sedimentasi, pencemaran pantai karena kegiatan-kegiatan industri dan domestik serta intrusi air laut.
Dilaporkan oleh BPLHD (Jawa Barat ASER, 2002) bahwa di pantai utara Jawa Barat abrasi sejauh 400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang, sedangkan sedimentasi/penambahan (akresi) sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 300 m di Karawang.
Penurunan hutan bakau sejauh 1 km panjang pantai terjadi di Indramayu, 6000 tanaman di Subang, sekitar 1000 ha di Karawang, dan sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Di wilayah pantai Subang, pengendapan (sedimentasi) telah menutup sekitar 6000 ha daratan.
7.     Permasalahan bencana alam
Keberadaan gunung berapi aktif yang tersebar di wilayah Jawa Barat dapat menyebabkan bahaya potensial terhadap kehidupan manusia di wilayah-wilayah sekitarnya. Dampak-dampak dari letusan gunung berapi tidak hanya kehilangan jiwa dan kerusakan dan harta benda, tapi juga dapat menjadi sumber polusi alami. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa kegiatan gunung berapi memberikan keuntungan yang sangat besar seperti tanah-tanah subur, bahan baku yang berlimpah, bijih besi, energi geothermal, dan pemandangan yang indah (pariwisata). Dengan kata lain, kegiatan gunung berapi selain menimbulkan dampak-dampak negatif, tapi juga memberikan kontribusi aspek-aspek positif untuk kemakmuran manusia.
Daftar pustaka
Walhi. 2007. Permasalahan Lingkungan Jawa Barat. Dalam link http://uwadadang.blogspot.co.id/2007/12/permasalahan-lingkungan-jawa-barat.html

Pencemaran Lingkungan Akibat Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

Batubara adalah bahan galian yang terbentuk dari sisa tumbuhan yang terperangkap dalam sedimen dan dapat dipergunakan sebagai bahan bakar, Jenis sedimen ini terperangkap dan mengalami perubahan material organik akibat timbunan (burial) dan diagenesa.
Batubara awalnya merupakan bahan organik yang terakumulasi dalam rawa-rawa yang dinamakan peat. Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman karbon kira-kira 340 juta tahun yang lalu (Jtl) adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif. Batubara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk.
Potensi sumber daya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di pulau kalimantan dan pulau sumatera. Batubara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel fuel) yang digunakan dalam industri. Dari segi ekonomis batubara jauh lebih hemat dari pada solar dengan perbandingan sebagai berikut: solar Rp. 0,74/kilokalori sedangkan batubara Rp. 0.09/kilokalori. Dari segi kuantitas, batubara merupakan cadangan energi fosil terpenting di Indonesia, Jumlahnya sangat melimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun kedepan.
Seperti yang diketahui, pertambangan batubara juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar. Aktivitas pertambangan mencemari lingkungan di sekitar lokasi penambangan. Pencemaran tersebut antara lain :
1.     Pencemaran Air
Penambangan batubara secara langsung menyebabkan pencemaran air, yaitu dari limbah pencucian batubara tersebut dalam hal memisahkan batubara dengan sulfur. Limbah pencucian tersebut mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi keruh, asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian batubara tersebut. Limbah pencucian batubara setelah diteliti mengandung zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi. Limbah tersebut mengandung belerang (b), merkuri (Hg), asam slarida (HCn), mangan (Mn), asam sulfat (H2SO4), dan timbal (Pb). Hg dan Pb merupakan logam berat yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.
2.      Pencemaran Tanah
Tidak hanya air yang tercemar, tanah juga mengalami pencemaran akibat pertambangan batubara ini, yaitu terdapatnya lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali yang menyebabkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Air kubangan tersebut mengadung zat kimia seperti Fe, Mn, SO4, Hg dan Pb. Fe dan Mn dalam jumlah banyak bersifat racun bagi tanaman yang mengakibatkan tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. SO4 berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah dan PH tanah, akibat pencemaran tanah tersebut maka tumbuhan yang ada diatasnya akan mati.
3.        Pencemaran Udara
Penambangan batubara menyebabkan polusi udara, hal ini diakibatkan dari pembakaran batubara. Menghasilkan gas nitrogen oksida yang terlihat cokelat dan juga sebagai polusi yang membentuk acid rain (hujan asam) dan ground level ozone, yaitu tipe lain dari polusi yang dapat membuat kotor udara.
Selain itu debu-debu hasil pengangkatan batubara juga sangat berbahaya bagi kesehatan, yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA), dan dalam jangka panjang jika udara tersebut terus dihirup akan menyebabkan kanker, dan kemungkinan bayi lahir cacat.
.
Kerusakan Hutan Akibat Pertambangan Batubara
Bahan tambang merupakan bahan yang berada didalam bumi sehingga untuk mengambilnya perlu dilakukan penggalian. Batubara merupakan salah satu bahan tambang yang banyak ditemukan dikawasan hutan yang tua karena proses terbentuknya batubara merupakan sedimentasi dari tanaman pada zaman purba yang mengalami proses penimbunan hingga ribuan tahun. Dalam upaya eksploitasi bahan tambang batubara ini, perlu dilakukan perluasan area tambang untuk memudahkan mobilitas pengangkutan dan pengambilan batubara tersebut. Kawasan hutan yang memiliki potensi batubara harus disingkirkan atau ditebang untuk dilakukan penggalian. Karena besarnya sumber daya batubara pada suatu lokasi maka luas area hutan yang disingkirkan untuk kegiatan tersebut semakin luas.
Wilayah Kabupaten Berau, terletak pada koordinat 1 °  12’ 00” - 2 °  36’ 00” LU dan 116 ° 00’ 00” - 118°  57’ 00” BT. Letak Geografis Kabupaten Berau yang dekat dengan garis katulistiwa menjadikan daerah ini memiliki iklim tropis dengan curah hujan tinggi dan hari hujan merata sepanjang tahun. Intensitas penyinaran matahari yang tinggi menjadikan suhu udara relatif tinggi sepanjang tahun dengan kelembaban udara yang tinggi pula. Sebagai daerah dengan iklim tropis. Kabupaten Berau memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut diselingi dengan masa peralihan dengan curah hujan masih relatif banyak. Namun demikian kondisi alam Kabupaten Berau yang masih dikelilingi oleh hutan tropis yang masih lebat menjadikan daerah ini berkarakter hutan hujan tropis dengan curah hujan yang relatif merata sepanjang tahun. Hal ini didorong oleh kelembaban udara yang tinggi dan daerah perairan yang masih luas. Curah hujan cenderung tinggi  sepanjang tahun, berkisar antara 91 - 246 mm perbulan (Subardja, 2007).
Formasi pembawa lapisan batubara pada daerah potensi batubara konsesi PT. Berau Coal adalah Formasi Berau dan Formasi Lati. Formasi ini terdiri dari satuan batupasir,  mudstone ,batulanau, batulempung, batubara dan batugamping. Ketebalan Formasi Berau atau Formasi Lati berkisar 600 meter hingga 1.600 meter, umur Miosen Tengah hingga Miosen Atas dan diendapkan dalam lingkungan delta dan laut dangkal. Formasi ini jari jemari dengan Formasi Sterile di bagian bawahnya dan tidak selaras dengan Formasi Labanan di bagian atasnya (Subardja, 2007).
Metode penambangan yang dilakukan pada PT. Berau Coal menggunakan pola penambangan  box-cut contour mining.  Pola penambangan  box cut contour mining  dilakukan pada areal-areal yang memiliki kemiringan lapisan relatif landai dan dengan luas areal timbunan di luar areal tambang yang relatif sangat terbatas. Pemakaian pola penambangan ini salah satunya adalah bertujuan agar luas areal yang terganggu oleh kegiatan penambangan tidak terlalu luas. Areal untuk penimbunan tanah penutup diusahakan tidak terlalu jauh dari areal bukaan dan sedapat mungkin dengan memanfaatkan kembali bekas areal bukaan (Subardja, 2007).

Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Pertambangan Batubara
Aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan dikawasan Berau, Kalimantan Timur tidak hanya mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan sekitar berupa pencemaran. Pengrusakan hutan dari kegiatan pertambangan tersebut juga mempengaruhi siklus hidrologi dan kehidupan ekosistem didalam kawasan tersebut. Selain itu, kegiatan tersebut juga memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal dibagian hilir.
Hutan yang ditebang untuk kegiatan pertambangan batubara memiliki fungsi dan pengaruh terhadap ketersediaan air tanah yang memiliki peran penting dalam ketersediaan air bersih pada masyarakat. Hutan tersebut memiliki fungsi sebagai penangkap tanah agar lapisan permukaan tanah yang dapat menyerap air tidak lari atau berpindah.Tingginya kemampuan penyerapan air oleh permukaan tanah yang berada di kawasan hutan, maka air hujan yang turun di sana tidak seluruhnya menjadi air limpasan (run off). Sebagian besar meresap ke dalam tanah, hanya sedikit yang menjadi air larian. Run off atau air limpasam adalah air yang tidak mampu diserap oleh permukaan tanah. Air ini akan turun ke kawasan yang lebih rendah. Jika air limpasan ini melebihi daya dukung sungai maka dapat menimbulkan banjir.
Sebagian besar air hujan yang turun di kawasan hutan akan diserap oleh tanah (infiltrasi) dan tersimpan di aquifer. Selanjutnya, air yang tersimpan di aquifer akan mengalir melalui celah-celah atau pori tanah yang akhirnya terkumpul atau mengalir menjadi air tanah yang digunakan masyarakat sebagai air sumur. Selain melalui sumur, air tanah tersebut juga dapat keluar sebagai mata air. Mata air tersebut mengalir melalui sungai yang berada dikawasan hutan tersebut menuju hilir.

Erosi Akibat Kerusakan Hutan di Kawasan Pertambangan
Hutan sekitar kawasan pertambangan yang sudah rusak dapat menimbulkan dampak erosi yang dapat berakibat buruk terhadap lahan dan ekosistem dikawasan tersebut. Kawasan hutan yang sudah tidak memiliki tegakan pohon, hempasan air hujan akan langsung menumbuk permukaan tanah yang menyebabkan terjadinya erosi. Tumbukan air hujan secara terus menerus dapat mengikis lapisan atas tanah (top soil) dan mengakibatkan tingginya nilai TSS pada aliran sungai sekitar area pertambangan. Hal ini didasari oleh penelitian Ety Parwaty dkk, 2011, di kawasan aliran sungai dekat lokasi pertambangan dengan kondisi hutan yang sudah gundul.
Tumbukan air hujan yang terus menerus akan mengikis top soil sehingga dapat menimbulkan longsor (land slide). Dengan longsornya lapisan tanah yang kaya unsur hara tersebut akan menghambat pertumbuhan vegetasi pada tanah yang ditinggalkannya, sehingga lahan tersebut tidak dapat di reklamasi. Selain itu, tanah yang tinggal tersebut juga dapat berdampak terhadap masyarakat yang tinggal dibagian hilir sungai, karakteristik tanah pada lapisan kedua yang relatif keras dan memiliki pori tanah yang relatif rapat dapat menghambat infiltrasi ketika terjadi hujan. Akibatnya air hujan yang turun sebagian besar akan menjadi air limpasan (run off) yang langsung mengalir menuju sungai. Apabila debit air limpasan yang masuk lebih besar daripada kapasitas sungai menampung dan mengalirkan air maka akan terjadi banjir.
Erosi yang terjadi juga mempengaruhi ekosistem yang berada didaratan dan perairan (sungai) yang berada dikawasan tersebut. Pengaruh tersebut antara lain:

1. Ekosistem Darat
            Erosi akibat kerusakan tanaman hutan yang memegang peran dalam mengikat lapisan tanah bagian atas (top soil) telah mengubah ekosistem hutan yang sebelumnya kaya akan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) menjadi lahan kosong yang sudah rusak akibat kegiatan penambangan batubara. Tanaman memerlukan unsur hara yang banyak terdapat pada lapisan tanah atas (top soil) untuk dapat tumbuh. Pengrusakan pohon yang menjadi pengikat tanah lapisan atas tersebut membuat tanah tersebut mudah terlepas. Air hujan yang jatuh ke tanah memiliki energi kinetik yang membuat lapisan tanah tersebut perlahan-lahan terlepas. Puncak dari erosi tersebut yaitu terjadinya tanah longsor yang membawa lapisan tanah tersebut berpindah dalam jumlah yang besar. Dampak dari erosi tersebut tumbuhan dan hewan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut sehingga ekosistem dihutan tersebut berubah.

2. Ekosistem Air
Erosi yang terjadi akibat air hujan yang jatuh membawa partikel tanah dan masuk kedalam sungai/perairan sebagai air limpasan. Partikel tanah tersebut akan membuat konsentrasi TSS semakin tinggi  sehingga membuat sungai tersebut menadi keruh dan dangkal akibat sedimentasi. Keruhnya sungai tersebut akan mempengaruhi kadar oksigen terlarut yang diperlukan oleh biota air untuk hidup. Berkurangnya kadar DO tersebut berpengaruh terhadap keberadaan ikan pada perairan tersebut, ikan akan berpindah atau mati. Tingginya konsentrasi TSS juga mempengaruhi masuknya cahaya matahari yang diperlukan tanaman air untuk proses fotosintesis.

Upaya Penanggulangan Akibat Kegiatan Pertambangan Batubara
Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi lahan/hutan yang telah rusak akibat penambangan batubara, diantaranya yaitu:
  • ·     Menanam kembali lahan yang ditebang dengan vegetasi yang dapat mengembalikan  kondisi ekosistem dengan cepat.
  • ·    Membuat terasering pada lahan yang rusak untuk mencegah erosi yang lebih besar.
  • ·    Menanam tanaman yang dapat menyimpan air tanah lebih banyak.
  • ·    Menggunakan lahan kosong tersebut sebagai lahan perkebunan sehingga dapat memiliki fungsi ganda.
Daftar Pustaka
- Vatri Adi, Muchlis. 2013. Makalah dampak pertambangan diberau, Kalimantan timur http://muchlis-vatriadi.blogspot.co.id/2013/12/makalah-dampak-pertambangan-di-berau.html
- Arsad, Sugita. 2013. Pencemaran Tambang. http://pencemaranbatubara.blogspot.co.id/2013/04/pencemaran-lingkungan-di-samarinda.html

Ayo Selamatkan Jakarta

            Sebagai ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta mempunyai daya tarik yang tinggi sehingga setiap tahun jumlah penduduknya selalu meningkat.

Pencemaran Air Sungai di Surabaya

Oleh: Siti Sarah Rizkiya

Kota Surabaya adalah ibu kota Provinsi Jawa Timur, Indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Kota Surabaya juga merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di Jawa Timur serta wilayah Indonesia bagian timur. Kota ini terletak 796 km sebelah timur Jakarta, atau 415 km sebelah barat laut Denpasar, Bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara Pulau Jawa dan berhadapan dengan Selat Madura serta Laut Jawa.

Keanekaragaman kegunaan air Kali Surabaya yang satu sama lain bertolak belakang sangat jelas terlihat disatu pihak air digunakan untuk kelangsungan hidup manusia, di lain pihak air pada saat yang sama sebagai saluran tempat membuang air kotor dari industri dan rumah tangga. Oleh karena itu kesehatan penduduk kota Surabaya dan instalasi pengolahan air bersihnya dalam keadaan terancam oleh buruknya kualitas air Kali Surabaya dan cabang-cabangnya akibat pencemaran limbah
.
Kali Surabaya sepanjang +50 km merupakan cabang dari Kali Brantas yang airnya digunakan untuk berbagai macam keperluan termasuk:
1.  Air baku instalasi pengolahan air bersih di Ngagel yang digunakan untuk kepentingan penduduk kota Surabaya,
2.  Irigasi untuk sebagian daerah sistem delta Brantas,
3.  Perikanan tambak yang penyaluran airnya melalui kanal-kanal irigasi,

Pencemaran air dapat berasal dari berbagi sumber pencemaran, antara lain berasal dari industri, limbah rumah tangga, limbah pertanian dan sebagainya.

a. Industri  

Pabrik industri mengeluarkan limbah yang dapat mencemari ekosistem air, pembuangan limbah industri ke sungai- sungai dapat menyebabkan berubahnya susunan kimia, bakteriologi serta fisik air. Polutan yang dihasilkan oleh pabrik dapat berupa :
  a) logam berat : timbal, tembaga, seng dan lain-lain
  b) panas air yang tinggi temperaturnya sulit menyerap oksigen yang pada akhirnya akan mematikan biota air.

Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, derajat pengolahan air limbah yang ada. Puncak tertinggi aliran selalu tidak akan dilewati apabila menggunakan tangkis penahan dan bak penanaman.



Dalam Surabaya River Pollution Control Action Plan Study, diperoleh data bahwa Kali Surabaya menampung beban pencemaran industri sebesar 75,48 ton per hari. (Mojokerto 14,84 ton per hari, Sidoarjo 26 ton per hari, Gresik 0,93 ton per hari, dan Surabaya 33,73 ton per hari). Dari  keseluruhan 75,48 ton limbah tersebut, sebanyak 86 persen berasal dari industri dan 14 persen merupakan limbah industri. Padahal, batas maksimal agar air layak menjadi bahan baku air minum mengharuskan beban pembuangan limbah di sepanjang Kali Surabaya sebanyak 30 ton per hari. (Kajian Menteri Pekerjaan Umum dan Perum Jasa Tirta, 1999). 

Pabrik yang dapat menegeluarkan limbah anorganik adalah pabrik pipa besi, pabrik kawat besi, pabrik paku dan sekrup, pabrik-pabrik ini menghasilkan endapan Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 serta Zn(OH)2 dan juga Fe(Cl)3 dan Cl ion. Pabrik sepeda dan onderdil-onderdilnya dapat mengeluarkan limbah cair yang mengandung Cr ion, Cd ion, Cu ion, Ni ion, Zn ion, yang amat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena ion-ion logam tersebut sangat bersifat racun pada konsentrasi tertentu. 

b. Limbah rumah tangga 

Sumber utama air limbah rumah tangga dari masyarakat adalah berasal dari perumahan dan daerah perdagangan, sumber lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah daerah perkantoran atau lembaga serta fasilitas rekreasi. Dari rumah tangga dapat dihasilkan berbagai macam zat organik dan anorganik yang dialirkan melalui selokan-selokan dan akhirnya bermuara ke sungai-sungai. Selain dalam bentuk zat organik dan anorganik dari limbah rumah tangga bisa terbawa bibit-bibit penyakit yang dapat menular pada hewan dan manusia sehingga menimbulkan epidemi yang luas di masyarakat. Polusi air yang disebabkan oleh penggunaan deterjen terutama menyangkut masalah bahan pembentuk (surfaktan ), masalah utama yang timbul bukan karena racunnya, tetapi busanya yang mengganggu lingkungan di sekitarnya. Bahan pembentuk utama di dalam detergen adalah natrium tripolifosfat ( NaPO ) merupakan masalah dalam dekomposisi di lingkungan sebab ion PO 3 10 -5 akan mengalami reaksi hidrolisis perlahan di dalam lingkungan untuk memproduksi ortofosfat yang tidak beracun.

c. Limbah pertanian 

Penggunaan pupuk di daerah pertanian akan mencemari air yang keluar dari pertanian, air ini mengandung bahan makanan bagi ganggang, sehingga mengalami pertumbuhan dengan cepat, ganggang yang menutupi permukaan air akan berpengaruh buruk terhadap ikan-ikan dan komponen biotik air ekosistem dari air tersebut. Dari daerah pertanian terlarut pula sisa-sisa pestisida yang terbawa ke sungai atau bendungan, pestisida yang bersifat toksit akan mematikan hewan-hewan air, burung dan bahkan manusia.

Selain limbah pabrik, ada juga limbah dari kegiatan pertanian yang mencemari Kali Surabaya. Limbah tersebut berupa pupuk kandang, pupuk urea, pupuk tri super phosphat, pupuk ZA, serta insektisida. Pupuk dan insektisida ini dapat dibawa air irigasi dan masuk kembali kesungai. Pupuk-pupuk tersebut akan memacu pertumbuhan mikroba, algae, plankton, enceng gondok, kangkung, dan tumbuh-tumbuhan air lainnya di Kali Surabaya. 

Penelitian tentang kualitas air di sungai Jatim menunjukkan kandungan Nitrite (NO2), Nitrate (NO3), Air Fenol, Air Detergen, Eschercia coli (E.coli) di aliran Kali Surabaya, khususnya di Karang Pilang dan Ngagel (Jagir), mencapai 64.000 sel bakteri per 100 mililiter sampel air (Bapedal Provinsi Jatim dan Sarpedal Kementerian Negara Lingkungan Hidup,2005). Padahal, agar layak menjadi bahan baku air konsumsi, jumlah E.coli dalam air tidak boleh lebih dari 1.000 sel bakteri per 100 mililiter air (PP No.82 tahun 2001). 

Disekitaran Kali Surabaya juga terdapat banyak sekali pabrik-pabrik. Melihat jumlah pabrik yang di sepanjang Kali Surabaya (sekitar 200 buah) tentu saja limbah yang dihasilkannya juga besar. Limbah ini dapat berupa bahan organik dan bahan anorganik. Pabrik yang dapat mengeluarkan limbah organik adalah pabrik bumbu masak (Mi-won, Ajinomoto), pabrik minyak makan (Princolin, Bawang Berlian, dan lain-lain), pabrik detergent (joyoboyo, dan lain-lain), yang juga menghasilkan limbah fosfat dan sulfat, pabrik kertas (Surya Kertas, Mekabox, dan Supamra), pabrik kulit (PT HAKKA), pabrik teh, pabrik makanan ternak, pabrik tahu, dan lain-lain.

Dafter Pustaka:

Farhana, Nurul Ain. 2014. PENCEMARAN AIR KALI SURABAYA OLEH LIMBAH. http://dindaainfarhana.blogspot.co.id/2014/12/pencemaran-air-kali-surabaya-oleh.html. (diakses tgl 28 November 2016)

Amaliyah, Imroatul. 2014. Pencemaran Air Sungai di Surabaya. http://imroatul-amaliyah-feb13.web.unair.ac.id/artikel_detail-94567-ILMU%20ALAMIAH%20DASAR-PENCEMARAN%20AIR%20SUNGAI%20DI%20SURABAYA.html. (diakses tgl 28 November 2016)

Yuliani, Emma. STUDI PENENTUAN STATUS MUTU AIR DI SUNGAI SURABAYA UNTUK KEPERLUAN BAHAN BAKU AIR MINUM. http://jurnalpengairan.ub.ac.id/index.php/jtp/article/viewFile/181/175.html.(diakses tgl 28 November 2016)