.

Sabtu, 17 Februari 2018

BANGUNAN HIJAU ( Green Building)

Dibuat oleh : Fernando Andreas, @F15-Fernando,


Abstrak
Relatif cepatnya pertambahan jumlah penduduk dibarengi dengan perubahan dinamika sosial budaya masyarakat yang cenderung bersifat materialistik dan konsumtif serta perkembangan ipteks dan politik yang relatif cepat, telah banyak memunculkan kota-kota baru dan mendorong kota-kota yang sudah ada berkembang secara ekonomis dengan berbagai fasilitas infrastruktur fisik kota yang umumnya mengabaikan faktor lingkungan kota tersebut.
Hal tersebut telah mengakibatkan ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) di banyak wilayah perkotaan dialihfungsikan menjadi lahan terbangun (kawasan perkantoran, pemukiman, industri, dan sarana-prasarana kota lainnya). Fenomena tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan kota yang menyebabkan tidak terwujudnya suatu ekosistem kota hijau, tetapi menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kota yang tidak nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat untuk ditinggali oleh penghuninya. Dalam hal ini, secara teoritis suatu ekosistem kota hijau (green urban) dapat dicapai dengan menerapkan konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan. Secara konseptual, Pembangunan Kota Berkelanjutan memerlukan berbagai upaya untuk melestarikan daya dukung lingkungan ekosistem kota yang dapat menopang secara berlanjut terhadap berbagai aktivitas pembangunan kota yang direncanakan dan menggeser keserasian/keseimbangan serta daya lenting lingkungan ke kondisi lingkungan yang kondusif untuk menopang ekosistem kota yang diharapkan (dalam hal ini kota hijau). Inti dari ekosistem kota hijau tersebut adalah keanekaragaman hayati (tingkat genetik, spesies, dan ekosistem) yang menyebabkan suatu ekosistem kota berfungsi optimal secara berkelanjutan didalam menghasilkan beragam jenis produk dan jasa lingkungan yang penting untuk menunjang perikehidupan makhluk hidup, khususnya masyarakat kota tersebut. Elemen penggerak dalam tatanan suatu keanekaragaman hayati adalah vegetasi yang dalam suatu tata ruang kota menempati elemen RTH, baik berupa RTH alami maupun RTH binaan yang dibangun di lahan publik maupun lahan non-publik di kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya. Suatu RTH kota diarahkan untuk berperan sebagai fungsi ekologis yang merupakan fungsi utama dan fungsi keindahan/arsitektur, sosial budaya, dan ekonomi sebagai fungsi penunjang untuk mengoptimalkan fungsi suatu kota hijau. Secara maknawiah, pengelolaan keanekaragaman hayati (PKH) berkaitan erat dengan pengelolaan suatu RTH kota yang ditumbuhi oleh masyarakat tumbuhan (terutama pepohonan) yang dapat berperan sebagai habitat beragam jenis fauna yang saling berinteraksi diantara keduanya dan dengan fisik lingkungannya membentuk suatu persekutuan hidup yang utuh sebagai suatu ekosistem kota. Spektrum PKH di suatu wilayah perkotaan meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum untuk melestarikan fungsi ekologis, sosial budaya, ekonomi, dan estetika dari suatu ekosistem kota hijau yang diharapkan.

Kata Kunci: Bangunan Hijau 

Keanekaragam hayati (biological-diversity atau biodiversity) adalah semua makhluk hidup di bumi (tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007). Keanekaragaman hayati itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan Hector 2000), yaitu: Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies makhluk hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler). Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individuindividu dalam satu populasi. Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem) masing- masing. Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari munculnya beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk barang/produk maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang cukup pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia berbagai jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena berbagai faktor. Jasa-jasa suatu ekosistem sebagai penunjang perikehidupan manusia khususnya dan makhluk hidup umumnya Tipe jasa ekosistem Bentuk jasa/barang Provisioning services (produk-produk yang diperoleh dari ekosistem) Makanan Minuman Kayu Hasil hutan bukan kayu (getah, buah, kopal, daun, obat-obatan, dan lain-lain) Regulating services (jasa yang diperoleh dari proses pengaturan/ proses ekologis esensial dalam suatu ekosistem) Pengendalian iklim Pengendalian hama-penyakit Pengaturan tata air Pemurnian air Pengendalian erosi dan banjir Penyerbukan Cultural Services (jasa non-materi yang diperoleh dari suatu ekosistem) Spiritual Rekreasi/ekoturisme Keindahan Inspirasi Pendidikan Warisan kebudayaan Supporting Services (jasa-jasa pendukung yang diperlukan untuk memproduksi beragam jasa ekosistem) Siklus hara Formasi tanah Produksi primer Siklus CO2 , Siklus N2 , dan lainlain. Transformasi habitat Beberapa tahun terakhir ini cukup banyak tipe-tipe ekosistem bervegetasi yang produktif terkena gangguan kerusakan akibat pesatnya pembangunan perkebunan, infrastruktur kota, pemukiman, tambak, dan lain-lain yang menyebabkan terdegradasinya bahkan lenyapnya ekosistem tersebut. Perubahan iklim Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan berbagai barang dan jasa untuk menunjang kehidupannya, pembangunan di berbagai sektor semakin pesat untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk tersebut. Sebagian besar kegiatan pembangunan, khususnya di sektor industri dan transportasi banyak digunakan energi fosil yang mengeluarkan limbah gas rumah kaca (terutama gas CO2). Selain itu proses pembangunan tersebut juga banyak mengkonversi lahan bervegetasi yang produktif menjadi bentuk lahan lain yang tidak bervegetasi, sehingga kapasitas penyerap karbon dari atmosfir semakin menurun. Fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim. Situasi seperti ini menyebabkan naiknya permukaan air laut, perubahan pola distribusi dan musim hujan, naiknya frekuensi kejadian bencana alam (kekeringan, banjir, longsor, dan lain-lain) yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) yang menunjang keberlangsungan perikehidupan manusia Polusi Semakin pesatnya kegiatan industi untuk memenuhi berbagai barang keperluan hidup disertai dengan semakin intensifnya kegiatan pertanian untuk meningkatkan produksi telah menyebabkan pencemaran tanah, air, dan udara. Pencemaran lingkungan tersebut akan berdampak negatif terhadap biodiversitas, baik dalam tingkat genetik, spesies, maupun ekosistem. Species invasif Dengan bantuan manusia berbagai jenis tumbuhan dan hewan dapat tersebar ke suatu daerah, contohnya pada kegiatan budidaya pertanian yang menggunakan jenis tumbuhan atau satwa eksotik yang di-import dari negara lain. Jenis-jenis eksotik tersebut akan tumbuh dan berkembang mengalahkan jenis-jenis asli setempat, merubah genetic pool, atau menyebarkan hama dan penyakit yang mengancam keanekaragaman hayati di suatu daerah tertentu. Eksploitasi berlebihan Eksploitasi yang berlebihan akan menyebabkan menurunnya kelimpahan atau jumlah individu jenis-jenis yang dieksploitasi yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan atau kepunahan dari jenis-jenis tersebut. Hal ini dapat terlihat pada kegiatan intensifikasi pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan yang akan mengakibatkan berkurang atau hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) bahkan rusaknya ekosistem. Skema konservasi biodiversity Sehubungan dengan hal tersebut, biodiversity harus dikonservasi untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan pemanfaatan biodiversity tersebut untuk peningkatan kesejahteraan manusia. Secara garis besar alur pemikiran konservasi biodiversity.

Kota sebagai tempat bermukim penduduk dan pusat kegiatan ekonomi serta berbagai macam jasa umumnya cenderung dihuni oleh penduduk yang semakin banyak dengan sarana-prasarana yang semakin beragam dan masif. Sehubungan dengan hal tersebut, saat ini paling tidak ada 11 permasalahan lingkungan perkotaan yang harus diatasi untuk menciptakan kota yang nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat. Kesebelas permasalahan lingkungan perkotaan tersebut adalah: Tingginya laju pertambahan penduduk. Tingginya laju pertambahan luas terbangun, Semakin menurunnya luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB), Pencemaran lingkungan, baik tanah, air, maupun udara, Banjir, Kemacetan kendaraan bermotor, Penurunan permukaan tanah, (viii) Kekurangan air bersih, Sanitasi yang buruk, Penurunan nilai historis kota, Terbentuk pulau bahang kota (urban heat island). Asal mula permasalahan lingkungan perkotaan pada dasarnya timbul karena meningkatnya populasi penduduk di wilayah perkotaan tersebut yang menuntut peningkatan penyediaan infrastruktur perkotaan tersebut. Fenomena semacam ini pada akhirnya akan berakibat pada perubahan pengembangan lingkungan fisik dan tata kota yang lebih menekankan pada aspek ekonomi daripada aspek lingkungannya (termasuk nilai historisnya) yang mengakibatkan kota tersebut tidak nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat untuk ditinggali. Selain itu, disamping permasalahan banjir yang sering terjadi pada musim penghujan dan kemacetan kendaraan akibat terlalu banyaknya jumlah kendaraan bermotor, wilayah perkotaan seperti tersebut di atas sering mengalami suatu permasalahan yang disebut pulau bahang kota. Pulau bahang kota terjadi ketika udara di atas wilayah perkotaan membentuk semacam pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area kota, dimana suhunya akan semakin menuruh ke arah perbatasan kota menjauh dari pusat kota. Berdasarkan hasil penelitian Irwan (2008), pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta mencapai suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara semakin menuruh ke arah selatan (ke arah Bogor). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa pola pulau bahang cenderung melebar ke arah Bekasi dan Tangerang. Dalam hal ini, perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor dilaporkan sekitar 1-3 0C. Untuk Kota Tangerang, fenomena pulau bahang kota disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun (22%), kepadatan penduduk (19%), dan padatnya kendaraan/kemacetan (17%). Kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan penduduk (17%) telah menciptakan pulau bahang kota di Jakarta (Effendy 2007). Adapun bahwa pulau bahang kota di Bogor dipicu oleh meningkatnya luas ruang terbangun (15%), menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya kendaraan (14%), dan semakin padatnya penduduk (13%)
Konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan diarahkan untuk membangun Kota Hijau (Green City, Eco City) yang merupakan suatu ekosistem kota yang bernuansa nyaman dan ramah lingkungan; aman dan dapat memuaskan aspirasi berbagai level masyarakat; serta menunjang aktivitas masyarakat yang produktif, efektif, dan efisien dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan kesejahteraannya, sehingga penghuni kota tersebut dapat hidup pada kondisi mutu kehidupan yang baik dalam kondisi kualitas lingkungan kota yang baik pula. Secara konseptual pembangunan kota berkelanjutan memerlukan berbagai upaya untuk: Melestarikan daya dukung lingkungan ekosistem kota yang dapat menopang secara berlanjut terhadap berbagai aktivitas pembangunan/ perubahan terhadap ekosistem kota yang direncanakan, dan Menggeser keserasian dan keseimbangan lingkungan serta daya lenting lingkungan ke kondisi lingkungan yang kondusif untuk menopang ekosistem kota yang diinginkan (dalam hal ini Kota Hijau). Seperti konsep pembangunan berkelanjutan di sektor lain, konsep pembangunan kota berkelanjutan juga pada dasarnya mengharuskan adanya integrasi dari tiga pilar pembangunan, yaitu: pilar ekologi yang menjamin ekosistem kota dapat melakukan proses-proses ekologis esensialnya (optimasi aliran energi dan siklus materi, mengameliorasi iklim, mengendalikan pencemaran lingkungan, menyajikan habitat yang kondusif untuk berbagai jenis flora dan fauna yang sesuai dengan lingkungan kota, plasma nutfah, bebas banjir, indah, dan lain-lain), pilar ekonomi yang memfasilitasi penghuninya untuk menjalani kehidupan yang produktif, efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pilar sosial-budaya yang memfasilitasi kepuasan dan kebebasan berekspresi secara berkeadilan dan bertanggung-jawab dari berbagai lapisan masyarakat yang bermartabat, membentuk masyarakat yang cinta lingkungan/cinta kota serta memediasi kenyaman/keamanan hidup bersosial, dengan sistem tata kelola pengurusan yang baik. Pengelolaan yang optimal dari ketiga pilar pembangunan kota tersebut itulah yang akan mewujudkan Kota Hijau yang diidam-idamkan yang dapat menjalankan fungsi dan perannya secara optimal berkelanjutan. Faktor kelembagaan dan inovasi teknologi sangat penting untuk menggulirkan keberlanjutan dari fungsi dan manfaat ekosistem kota hijau tersebut. Dalam hal ini, pembangunan kota berkelanjutan bertujuan untuk: Security/safety: masyarakat dapat menjalankan kegiatannya tanpa takut terhadap gangguan, baik gangguan buatan manusia maupun alami. Comfortability: menyediakan kesempatan bagi setiap elemen masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dalam keadaan damai. Productivity: menyediakan infrastruktur yang efektif dan efisien untuk proses produksi dan distribusi dalam rangka meningkatkan nilai tambah. Sustainability: menyediakan kualitas lingkungan yang lebih baik tidak hanya bagi generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Sejalan dengan konsep Kota Hijau ini, Kamal-Chaoui and Robert (2009) mengemukakan bahwa ada enam hal yang harus diperhatikan dan dikelola pemerintah kota dalam mewujudkan Kota Hijau, yaitu: metabolisme lingkungan perkotaan, pengelolaan limbah, pengelolaan air, kualitas udara,  pencemaran, dan energi, perubahan iklim, serta keamanan lingkungan perkotaan. Menurut Sumner (2011) terdapat 8 indikator kota berkelanjutan yang ditetapkan oleh Asian Green City Index, yaitu: energi dan CO2, penggunaan lahan dan bangunan, transportasi, sampah, air, sanitasi, kualitas udara, dan environmental governance. Secara lebih rinci, kota berkelanjutan memiliki beberapa indikator dan dirangkum dalam 10 isu utama, yaitu: Akses penduduk pada ruang terbuka hijau atau green open space, Lingkungan sehat yang diukur dari air quality (kualitas udara), Penggunaan sumberdaya yang efisien (energi, air, limbah, dan sampah) atau green energi, green waste, dan green water.  Kualitas lingkungan binaan atau green building. Aksesibilitas (transportasi umum, jalur sepeda, pejalan kaki) atau green transportation. Green economy atau ekonomi hijau. Model partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota berkelanjutan atau green community. Social justice yaitu keadilan sosial berkaitan dengan angka kemiskinan, Kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan kenyamanan hidup, Berbagai aktivitas masyarakat di bidang sosial dan budaya

Daftar Pustaka
Hidayat, Atep Afia dan M. kholil 2017, Buku Kimia Industri dan Teknologi Hijau, Pantona media, Jakarta
DITR [Department of Industry Tourism and Resources of Australian Government]. 2007. Biodiversity Management: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. Department of Industry, Tourism and Resources, Government of Australia, Canberra
Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dan Urban Heat Island Wilayah JABOTABEK. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. P.T. Bumi Aksara, Jakarta.
Kamal-Chaoui L, Robert A (eds). 2009. Competitive Cities and Climate Change. OECD Publications, Paris Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Purvis A, Hector A. 2000. Getting the measure of biodiversity. Nature 405: 212-219
Schaltegger S, Beständig U. 2012. Corporate Biodiversity Management Handbook: A Guide for Practical Implementation. BMU, Berlin.
Sumner J (ed). 2011. Asian Green City Index; Assessing the Environmental Performance of Asia’s Major Cities. Siemens AG, München, Germany.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.