.

Sabtu, 11 Agustus 2018

Dilema Energi Nuklir di Indonesia

@H28-AZIZ, @ProyekH02
Oleh Aziz Hadiningrat


Abstrak

        Dampak lingkungan dan semakin berkurangnya sumber energi minyak bumi memaksa kita untuk mencari dan mengembangkan sumber energi baru. Salah satu alternatif sumber energi baru yang potensial datang dari energi nuklir. Meski dampak dan bahaya yang ditimbulkan amat besar, tidak dapat dipungkiri bahwa energi nuklir adalah salah satu alternatif sumber energi yang layak diperhitungkan.  Isu energi nuklir yang berkembang saat ini memang berkisar tentang penggunaan energi nuklir dalam bentuk bom nuklir dan bayangan buruk tentang musibah hancurnya reaktor nuklir di Chernobyl. Isu-isu ini telah membentuk bayangan buruk dan menakutkan tentang nuklir dan pengembangannya. Padahal, pemanfaatan yang bijaksana, bertanggung jawab, dan terkendali atas energi nuklir dapat meningkatkan taraf hidup sekaligus memberikan solusi atas masalah kelangkaan energi.
Pendahuluan
     Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini mulai dirasakan terjadi penurunan jumlah pasokan listrik.Berkaitan dengan masalah tersebut pemerintah melaksanakan berbagai kebijakan untuk melakukan penghematan. Dari yang sifatnya himbauan sampai pada penerapan tarif listrik progresif. Namun, langkah-langkah tersebut sifatnya sementara. Oleh karena masalah krisis energi merupakan masalah yang sudah mendesak maka pemanfaatan nuklir sebagai energi alternatif pembangkit listrik telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006. Pembangunan PLTN setidaknya sudah sekitar sepuluh tahun terakhir menjadi perdebatan yang sengit antara yang pro dan kontra di tanah air. Nuklir merupakan salah satu energi alternatif untuk pembangkit tenaga listrik sebagai ganti energi listrik yang berasal dari bahan bakar minyak (BBM) dan batubara. Disadari bersama bahwa stok persediaan BBM jumlahnya terus menunjukkan angka yang menurun, karena energi jenis ini merupakan energi yang tak terbarukan (non-renewable sources).
      Suatu kajian perencanaan energi jangka panjang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan pelaksana terdiri dari unsur interdepartemen (BATAN, BPPT, Ditjen LPE dan MIGAS Dep. ESDM, BPS, KLH, PT PLN Persero) dengan bantuan teknis dari Badan Tenaga Atom Internasioanl (IAEA.). Kajian ini diberi judul Comprehensive Assesment of Energy Source for Electricity Generation in Indonesia (CADES). Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan energi di Indonesia akan menjadi 2 kali lipat dibanding pada tahun 2000, bahkan khusus untuk kebutuhan energi listrik akan meningkat 4 kali lipat. Untuk memenuhi kebutuhan energi tahun 2025 tersebut , konsep penggunaan seluruh energi yang ada (energi mix) harus diterapkan, dengan tidak melakukan diskriminasi terhadap sumber energi yang ada dan tersedia. Dengan demikian penggunaan Pusat Listrik Tenega Nuklir untuk mencukupi kebutuhan energi listrik tidak dapat terelakkan lagi.
         Berkaitan dengan pembangunan PLTN tersebut, beberapa pihak mengatakan bahwa PLTN tidak aman dengan berkaca pada peristiwa Chernobyl yang merupakan sejarah hitam dari energi nuklir yang sampai sekarang masih menjadi trauma. Selain itu, terdapat kekhawatiran adanya penyalah-gunaan energi nuklir sebagai senjata. Namun, sementara pihak mengatakan pembangunan PLTN merupakan suatu yang tak terelakkan untuk mengatasi krisis listrik yang telah melanda Indonesia.  
      Permasalahan
         Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Dr Herman Darnel Ibrahim (2017) mengemukakan, bangsa Indonesia belum membutuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir hingga 2100 karena sumber energi di Tanah Air masih mencukupi. Herman menceritakan dulu ada rencana pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di Muria, Jawa Tengah yang tahapannya sudah sampai studi kelayakan tapak. Ketika itu Muria memang tempat yang masih terisolasi jadi tidak banyak penghuni, namun belakangan setelah terjadi tragedi Fukushima urung dilanjutkan, katanya. Pada sisi lain ia mengatakan energi nuklir berisiko tinggi. Tragedi yang terjadi di Fukushima misalnya, membuat Jepang kehilangan potensi perekonomian setara dengan Rp60 ribu triliun. Belum lagi dari sisi kesehatan, nuklir itu membunuh orang pelan-pelan dan bisa membuat cacat sebagaimana terjadi di Chernobyl, untuk pertanian juga mengalami kendala karena di Fukushima dibutuhkan waktu sekitar 25 tahun untuk memulihkan tanah agar petani bisa menanam komoditas untuk dikonsumsi.
        Terdapat 3 isu global tentang pemanfaatan energi nuklir dan kita sejak sekarang harus mulai memikirkannya, yaitu: isu mengenai “Nuclear Safety” atau keselamatan reaktor nuklir, “nuclear nonproliferation” atau pembatasan penggunaan bahan nuklir , dan “radioactive waste management“ atau pengaturan sampah radioaktif. Untuk isu keselamatan reaktor nuklir, estimasi resiko pada kecelakaan reaktor yang beresiko tinggi menjadi resiko yang rendah dibandingkan dengan semua resiko pada kehidupan manusia umumnya. Kemajuan dalam keselamatan reaktor ini dapat diperoleh dengan usaha keras untuk mempertinggi dan pemeliharaan keselamatan reaktor, manajemen keselamatan dan sumber daya manusia.
        Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Muhamad Nasir (2017) mengatakan kemungkinan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia hanya terhambat dari sisi sosial saja. "Kemarin kami ke Bangka-Belitung, kami coba bahas pengembangan PLTN. Orang berpikir tenaga nuklir itu menakutkan, sementara dunia sudah mengarah ke sana semua," kata Menristekdikti di Yogyakarta, Minggu (16/4). Masalah pengembangan PLTN di Indonesia, menurut dia, hanya terletak pada penerimaan masyarakatnya yang masih takut dengan keberadaan pembangkit listrik bertenaga nuklir. Padahal teknologi pembangkit listrik dengan nuklir sudah pada Generasi 4, dengan desain dan teknologi sedemikian rupa reaktor akan otomatis berhenti bekerja ketika terjadi bencana seperti gempa bumi. Generasi 4 yang bernama High Temperature Gas-Cooled Reactor (HTGR) ini, Nasir mengatakan telah dikembangkan Prancis dan Rusia.

    Wakil Menteri Arcandra Tahar Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (2017) menyatakan, investasi untuk membangun PLTN juga besar. Sebagai gambaran, lanjut Arcandra, untuk PLTN berkapasitas 1000 megawatt (MW) membutuhkan investasi sekitar US$6 juta per MW. Sementara, biaya pembangkit listrik tenaga uap menggunakan batubara hanya berkisar US$1 juta hingga US$2 juta per MW. Dari sisi sumber daya, Arcandra mengungkapkan, Indonesia belum memiliki sumber daya nuklir yang diperlukan seperti uranium. Kajian yang dilakukan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) baru sampai pada potensi keberadaan uranium. 
"Kalau mau membangun PLTN maka nanti uraniumnya adalah impor. Indonesia belum bisa menggunakan resource yang dipunya untuk bisa menjadikan itu sebagai bahan bakar untuk PLTN," jelasnya. 

Kesimpulan

   Berdasarkan kajian mengenai pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit listrik di Indonesia dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu biaya, dampak lingkungan dan ketersediaan bahan baku maka opsi pemanfaatan energi nuklir untuk listrik di Indonesia adalah opsi yang rasional. Dari sisi biaya cukup kompetitif bahkan bisa lebih rendah dibandingkan pembangkit bahan bakar fosil dan dari sisi dampak lingkungan berupa emisi gas CO2 nuklir termasuk yang sangat rendah. Sementara permasalahan limbah radioaktif dari bahan bakar bekas yang menghasilkan radiasi tinggi dapat diatasi dengan dibangunnya fasilitas penyimpanan limbah lestari. Adapun permasalahan kecilnya ketersediaan bahan baku nuklir di Indonesia maka masih perlu diberikan solusi teknis dan solusi politis. Solusi teknisnya yaitu dengan membangun fasilitas pengayaan dan fabrikasi untuk mengolah bahan baku menjadi bahan bakar nuklir.
         Meskipun rencana pembangunan PLTN sudah dibuat dengan matang, di sisi lain tetap saja ada penolakan yang terjadi di banyak daerah. Contonya saja, ketika ada rencana pembangunan PLTN di Muria, warga setempat menentang keras rencana pembangunan PLTN. Mereka beralasan pemerintah selama ini hanya menghitung aspek teknologi dan ekonomi, tetapi tidak pernah bicara tentang resiko sosial. Karena mengoperasikan sebuah sistem yang canggih seperti nuklir membutuhkan sistem kelembagaan yang kuat dan disiplin sangat tinggi. 
             Bahkan dalam kasus tragedi rektor Fukushima, Jepang, kesimpulan akhir menyebut tragedi itu terjadi bukan karena bencana alam tetapi bencana akibat manusia, karena kalangan industri nuklir tidak cukup mengantisipasi situasi darurat. Jika Jepang yang terkenal punya disiplin sangat tinggi saja bisa kebobolan, bagaimana Indonesia yang sistemnya korup dan tidak punya dukungan infrastruktur. 
Budaya kita yang tidak disiplin, mulai dari pekerjanya, kemudian seringnya kita meremehkan hal-hal kecil mengenai perawatan dan belum adanya SDM yang bisa nangani kecelakaan-kecelakaan di PLTN semakin menyakinkan bahwa Indonesia belum siap untuk membangun PLTN. PLTN membutuhkan infrastruktur sangat solid, karena jika tidak terpenuhi, maka akan sangat mengerikan jika terjadi bencana. Kita selama ini hanya bicara tentang keuntungan saja, nuklir bagus untuk pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan lain-lain, tetapi kita tidak banyak tahu tentang resikonya.

Daftar Pustaka
Harjanto, Nur Tri. "Dampak Lingkungan Pusat Listrik Tenaga Fosil dan Prospek PLTN sebagai Sumber Energi Listrik Nasional." PIN Pengelolaan Instalasi Nuklir 1.01 (2016).

Liza Nurharani, Liza. Fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam Menangani Fukushima Disaster di Jepang. Diss. Universitas Andalas, 2017.

Permana, Sidik. "Energi Nuklir dan Kebutuhan Energi Masa Depan." Majalah INOVASI (2005): 22.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.