OLEH : FIRSTA FAUZYAH (@P23-FIRSTA)
Istilah
pencemaran air atau polusi air dapat dipersepsikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lainnya mengingat banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi
istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam
Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan
hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Dalam praktek operasionalnya,
pencemaran lingkungan hiduptidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan
sebagai pencemaraan dari komponen-komponen lingkungan hidup, seperti pencemaran
air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dengan
demikian, definisi pencemaran air mengacu pada definisi lingkungan hidup yang ditetapkan
dalam UU tentang lingkungan hidup yaitu UU No. 32/2009.
Pencemaran
air adalah masuknya polutan ke dalam air atau berubahnya tatanan air oleh
kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai pada tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya PP RI No. 82
tahun 2001 (Sulistyorini, 2009).
Berdasarkan
definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya
mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan
kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur
pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat
rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat yang
disebabkan oleh alam, atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam
tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi Pemerintah tetap harus menanggulangi
pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan
kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam
definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat
tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas
air yang telah sampaike batas atau melewati batas). Ada standar baku mutu tertentu
untuk peruntukan air. Yang dimaksud dengan “baku mutu
air” berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 pasal 20 ayat 2 huruf a adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus
ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Parameter
kualitas air minum/air bersih yang terdiri dari parameter kimiawi, fisik,
radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 Achmadi (Lina,
2004). Air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air
tersebut.
2. INDIKATOR
PENCEMARAN AIR
Indikator
atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau
tanda yang dapat diamati dan dapat digolongkan menjadi :
a) Pengamatan secara fisis, yaitu
pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan),
perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa
b) Pengamatan secara kimiawi, yaitu
pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan
pH
c) Pengamatan secara biologis, yaitu
pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air,
terutama ada tidaknya bakteri pathogen.
Indikator
yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi
ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen
biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD)serta kebutuhan oksigen kimiawi
(Chemical Oxygen Demand, COD).
Air
normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5 –
7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di
bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai
pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan
mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik.
Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7 –
8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses
nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah.
Pada
pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi
terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophilamampu
bertahan pada pH =1 dan algae Euglenapada pH 1,6.
b) Oksigen
terlarut (DO)
Tanpa
adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup
karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organic dalam
air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir ataudari reaksi fotosintesa algae.
Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena
oksigenyang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses
metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung
pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data temperature dan
tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25oC dan tekanan 1 atmosfir
adalah 8,32 mg/L Warlina (dalam Lina, 2004).
Kadar
oksigen terlarut yang tinggi tidakmenimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia.
Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah
cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan
logam berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi
organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan
terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih
menderita Effendi (dalam Lina, 2004).
Pada
siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses
fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada
oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat
melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi.
Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus
berlangsung. Polaperubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi
harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi
pada sore hari dan minimum pada pagi hari.
c) Kebutuhan
Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi
bahan organik terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan organic menjadi
anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi bahan anorganik
yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit atau nitrat
(nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang
berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai zat
pengganggu.
Dengan
demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organic yang
ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi
bahan organik berlangsung cukup lama. Menurut Effendi (dalam Lina, 2004) proses
penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme
atau oleh bakteri aerobik adalah :
Jumlah
mikroorganisme dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air
yang bersih relatif mengandung mikroorganisme lebih sedikit dibandingkan yang
tercemar. Air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptik
atau bersifat racun, seperti fenol, kreolin, detergen, asam cianida,
insektisida dan sebagainya, jumlah mikroorganismenya juga relatif sedikit.
Sehingga makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan
tersebut telah tercemar.
d)
Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD
adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air
dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara
biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan
dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent) menjadi gas CO2dan gas H2O serta sejumlah ion chrom.
Reaksinya sebagai berikut :
Jika
pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi biologis,
misalnya tannin, fenol, polisacharida dan sebagainya, maka lebih cocok
dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organic
dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam
suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi.
3. SUMBER
PENCEMARAN AIR
Banyak
penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi
2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung
meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan
sebagainya. Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari
tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan. Pengaruh bahan pencemar yang
berupa gas, bahan terlarut, dan partikulat terhadap lingkungan perairan dan
kesehatan manusia dapat ditunjukkan secara skematik sebagai berikut :
|
Gambar: Bagan
Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Pencemar terhadap Lingkungan Perairan
|
Pada
dasarnya sumber pencemaran air berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman)
dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas pertanian
misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari
aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam.
a) Limbah
rumah tangga
Limbah
rumah tangga seperti detergen, sampah dan kotoran memberikan andil cukup besar
dalam pencemaran air sungai, terutama di daerah perkotaan. Sungai yang tercemar
kotoran dan sampah yang mengandung bakteri dan virus dapat menimbulkan
penyakit, terutama bagi masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sumber dalam
kehidupan sehari-hari. Sampah dan kotoran juga memerlukan oksigen untuk proses
penguraiannya, sehingga kadar oksigen dalam air dapat berkurang jika terdapat
polutan. Jika kadar oksigen suatu perairan turun sampai kurang dari 5 mg per
liter, air tersebut tidak sehat bagi kehidupan biota air seperti ikan.
b) Limbah
Industri
Limbah
industri yang mencemarkan air dapat berupa polutan sampah dan kotoran. Polutan
tersebut berasal dari pabrik pengolahan hasil ternak, polutan logam berat, dan
polutan panas yang antara lain berasal dari air pendingin industry.
Daftar
Pustaka:
Ardhana,
Made M., 1994, Mikrobiologi Air, Universitas Udayana, Bali.
Michael,
P., 1990, Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium, UI,
Jakarta.
Solihin
dan Darsati S., 1993, Air, Jurusan Pendidikan FPMIPA, IKIP Bandung.
Syah,
A., 1995, Menulis dan Lingkungan Hidup, Proyek Perguruan Tinggi (P2T) Dip.
Suleman, 0 dan M, Unhalu, Kendari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.