.

Tampilkan postingan dengan label @G21-Arisa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label @G21-Arisa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Februari 2018

Ekonomi, Teknologi Hijau, Produk Ramah Lingkungan

Ekonomi, Teknologi Hijau, Produk Ramah Lingkungan

Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa)
 Abstrak
Teknologi hijau merujuk kepada pembangunan dan aplikasi produk, peralatan serta sistem untuk memelihara alam sekitar dan alam, Elemen positif dalam teknologi hijau harus difokuskan kepada unsur-unsur yang memberikan manfaat kepada alam sekitar.

Kata kunci : Teknologi hijau, ekonomi, produk ramah lingkungan 




Isi

Menurut Muhsin, Lucitasari Pembangunan ekonomi berwawasan lingkungan pada dasarnya adalah membangun kegiatan manusia yang sadar dan berencana untuk dapat memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertahankan kelestarian lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem dapat tetap terjaga, aktivitas ekonomi tersebut diharapkan juga dapat meningkatkan produktifitas masyarakat yang akhirnya bermuara pada peningkatan Produk Domestik Bruto atau dikenal dengan PDB Hijau. Didalam konteks pembangunan ekonomi tersebut, khususnya sektor industri secara riel produknya harus mengarah kepada produk ramah lingkungan.
Dimasa sekarang dan masa depan produk ramah lingkungan sudah menjadi tuntutan masyarakat dunia, khususnya masyarakat negara – negara maju. Beberapa pembinaan yang mengarah ke konsep produk ramah lingkungan sudah banyak dilakukan seperti konsep produksi bersih, ISO 14000, Eco labelling dan sebagainya tetapi hasilnya belum memenuhi harapan, karena masih mengalami banyak kendala-kendala yang harus dilalaui. Kendala-kendala tersebut perlu dipecahkan dengan instrumen kebijakan yang arahnya dapat memberikan iklim yang kondusif bagi pengusaha untuk memproduksi produk ramah lingkungan. Seperti diketahui bahwa didalam menentukan standar produk ramah lingkungan yang semula menggunakan konsep 3R (reduce, reuse, recycle) berubah menjadi konsep 6R (rethink, reduce, replace, recycle, reuse, repair). Dari perubahan konsepsi ini saja bahwa produk ramah lingkungan sullit untuk diwujudkan apabila tidak didahului perencanaan yang matang. Berdasarkan hal di atas, perlu disusun konsep pengembangan produk ramah lingkungan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkaitan agar memiliki power guna mewujudkan konsep tersebut.
Masalah lingkungan hidup telah menjadi isu masyarakat dunia, karena kehidupan manusia mendatang sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada saat ini. Ancaman pada kehidupan manusia akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia secara intensif baru dilakukan dalam bebe-rapa dasawarsa terakhir ini. Prosesnya dimulai dengan pembahasan pengelolaan dan pencemaran lingkungan hidup (1971) oleh Kementerian PAN menjelang konferensi Stockholm (1972). Kemudian diikuti dengan pembentukan Kementerian PPLH, yang akhirnya saat ini menjadi Kementerian KLH. Kesemuanya itu merupakan concern pemerintah dalam upaya menangani berbagai masalah dan isu lingkungan hidup.
Isu itu telah menempatkan aspek lingkungan hidup menjadi salah satu faktor kunci, dalam proses pembangunan berkelanjutan. Untuk itu telah dibentuk satu lembaga dunia yaitu WCED (World Commission on Environment and Deve-lopment) oleh PBB, berdasar Keputusan Sidang Umum PBB No. 38/161 bulan Desember 1983. Fungsi WCED adalah menangani masalah-masalah lingkungan hidup yang sifatnya lebih komplek. WCED dalam kegiatannya memakai pendekatan penanganan masalah lingkungan hidup dan pembangunan, yang mencakup aspek-aspek: keterkaitan (interdependency); keberlanjutan (sustainability); pemerataan (equity); keaman-an dan risiko lingkungan; pendidikan dan komunikasi; serta kerja sama interna-sional. Salah satu materi penting yang dihasilkan oleh WCED berupa laporan “Our Common Future” (1987), yang menyatakan bahwa “pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, kalau tidak dikompromikan dengan kemampuan generasi selanjutnya dalam upaya memenuhi kebutuhan-nya, hanya akan menumbuhkan masalah kritis dalam lingkup pengelolaan lingkungan hidup. Artinya keputusan yang berkaitan dengan aspek lingkungan, dan ditetapkan saat ini tidak boleh mengurangi kemampuan generasi menda-tang dalam upaya memenuhi kebutuhannya. Itulah keterkaitan kritis yang memer lukan perhatian dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain berbagai perubahan, sebagai dampak dinamika pembangunan dan penemuan teknologi baru, telah pula mendorong perlunya mencermati dengan intensif berbagai proses pengelolaan lingkungan hidup di negara ini. Apalagi dengan terjadinya sejumlah perubahan kritis, seperti misalnya: 1. Peningkatan jumlah penduduk, dengan penyebaran yang kurang merata, telah menumbuhkan adanya ketimpangan dalam pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam. Kondisi tersebut memerlukan pengendalian karena di-duga akan terjadi peningkatan secara berlebihan dalam upaya eksploitasi sumberdaya alamnya; 2. Peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui (non renewable resources), menyebabkan penurunan kemampuan lingkungan, di samping dapat mendorong menumbuhkan sikap tidak-tertib dalam me-nerapkan tata cara yang disusun untuk memanfatkan maupun menggu-nakan teknologi yang baru; 3. Perkembangan yang pesat dari teknologi baru serta perubahan kebudaya- an, telah berdampak dalam wujud yang tidak menguntungkan di samping tidak juga dapat mendukung serta memelihara kelestarian lingkungan hidup; 4. Semakin intensifnya hubungan internasional, juga berdampak pada me-ningkatnya “tuntutan terbuka” dari dunia internasional terhadap perlakuan pengelolaan lingkungan hidup dalam negara anggota tertentu (misalnya tuntutan perlunya mencantumkan ecolabel, bagi produkproduk yang dihasil-kan dari kayu maupun sumber tanaman lainnya). Dalam menghadapi kondisi seperti itu, para pengambil keputusan akan terus menerus dihadapkan pada situasi yang dilematis, yang memerlukan proses keputusan yang efektif dan partisipasi aktif para pelaku ekonomi bersangkutan (sesuai dengan paradigma pembangunan baru yang menekankan minimisasi pola intervensi pemerintah dan meningkatnya partisipasi masyarakat), karena di satu sisi ada kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (ekonomi) dan di sisi lain ada keharusan untuk dapat memenuhi kese-jahteraan masyarakat luas (sosial ekonomi). Aplikasinya berkaitan erat dengan upaya pengembangan kegiatan Usaha Kecil khususnya. Dengan demikian masalahnya menjadi signifikan mengingat besarnya jumlah UK, sebagai kom-ponen pelaku ekonomi nasional. Mereka itulah yang saat ini tergolong dalam Usaha Kecil (UK), yang secara konseptual berpotensi untuk ikut membantu melestarikan lingkungan hidup di sekitar wilayah usahanya Ekonomi berwawasan lingkungan adalah kegiatan ekonomi (industry, perdagangan, jasa, perbankan, keuangan) yang memiliki keseimbangan yang sehat dan dinamis antara ekonomi dan sumberdaya, sehingga kesinambungan (Hanafi purnomo : 12). Konsep dasar ekonomi berwawasan lingkungan dapat dikaji dari pengertian ekonomi yakni : 1. Environmental friendly based economy; 2. Environmental sound economy; 3. Eco efficiency; 4. Sustainable Economy. Semua konsep di atas pada intinya menekankan pada keseimbangan antara ekologi, social ekonomi dan sumber daya. Jadi penggunaan konsep dalam ekonomi berwawasan lingkungan semua itu tergantung pada lingkungan yang digunakan oleh kegiatan ekonomi. Pola-pola keseimbangan dalam kegiatan ekonomi yang melibatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada. Jaminan bahwa suatu kegiatan bisnis telah dikelola secara akrab lingkungan dapat ditunjukkan melalui adanya Sertifikat atau Label Lingkungan. Dalam hal ini ISO telah membutihkan bahwa Sistem Sertifikasi mampu memberikan stabilisasi tata kerja dalam upaya meraih hasil yang konsisten. Oleh karena itu ISO-14000 Seri memberikan panduan pengelolaan lingkungan bagi aktivitas bisnis.
Rencana Pengembangan produk ramah lingkungan ini merupakan rangkaian lanjutan Perencanaan Pengembangan produk ramah lingkungan Indonesia dengan melihat lebih detil ke masingmasing subsektor produk ramah lingkungan. Yogyakarta memiliki visi untuk menjadikan Yogyakarta sebagai "Kota Seni dan Budaya". Keyakinan untuk dapat mencapai hal tersebut didasari oleh beberapa kondisi seperti: a. Yogyakarta memiliki peninggalan karya seni yang adiluhung seperti kraton, karya seni, beksan langen budaya, dan lain-lain. b. Pandangan spiritual tentang jalur imajiner yaitu Merapi, Tugu, Kraton, dan Laut selatan c. Munculnya nama kampung yang melegenda sebagai penghasil produk sehingga menjadi nama kampung seperti Kotagede, Batikan, Gamelan, Kemasan, Gemblakan, dan lain-lain d. Kerajinan lokal seperti batik, wayang kulit, kayu ukir, sudah menjadi bagian dari kegiatan olah seni masyarakat yogya sejak jaman dulu.
Program-program berbasis lingkungan telah banyak dicanangkan di Indonesia dan dirancang untuk dapat memenuhi keperluan penyelematan ekosistem dan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan masa yang akan datang. Program-program tersebut juga untuk mengakomodasikan adanya perubahan situasi dan kondisi baik Nasional maupun Internasional. Program-program berbasis Lingkungan di Indonesia yang dikoordinasikan oleh Bapedal. Empat aspek pokok yang harus diperhatikan demi keberhasilan penerapan konsep green productivity, green technology, dan green industry. 1. Integrated people-based approach, yakni kerja-sama (teamwork) dan partisipasi pekerja yang memiliki kesadaran untuk membangun tata cara dan mekanisme kerja yang dapat menjauhkan barang dan material beracun tersembunyi dalam produk yang dihasilkan, serta seberapa jauh emisi gas buang CO2 telah direduksi melalui penggunaan teknologi ramah lingkungan. 2. Productivity improvement. Inti dari aspek ini adalah seberapa jauh langkah berkesinambungan untuk mengurangi kegagalan produk dapat diintegrasikan dengan kriteria ramah lingkungan. Pilihan teknologi ramah lingkungan dalam sumber daya pembangkit listrik, pemilihan material dan proses produksi menjadi bagian tak terpisahkan dari langkah perbaikan terus-menerus yang dilaksanakan (quality and continuous improvement). 3. Information driven improvement, yakni seberapa jauh perbaikan pendokumentasian proses produksi yang ada dalam sistem kualitas manajemen, dalam upaya mereduksi kegagalan produk dan peningkatan kualitas produk, diintegrasikan dengan siklus penelitian ulang perihal penerapan standar baku mutu kualitas ramah lingkungan dalam menghasilkan produk jadi dan dalam mata rantai proses produksi. 4. Environtment compliance. Di sini, pintu gerbang implementasi konsep green productivity, green technology, dan green industry adalah proses sertifikasi ramah lingkungan. Untuk memenuhi persyaratan baku apakah proses produksi dan produk jadi yang dilahirkan tidak menyebabkan dampak negatif pada lingkungan. Ukuran kandungan kadar polusi, kadar bahan kimiawi dan kadar emisi gas buang CO2 yang melewati ambang batas, menjadi 'red zone' yang harus dicermati secara saksama untuk dihindari. Bagi Indonesia, terutama kalangan pelaku industri, tren pasar global yang semakin mengarah ke pasar ecoproduct merupakan peluang yang perlu segera antisipasi sekaligus dimanfaatkan.


Daftar Pustaka

Muhsin, Ahmad, Lucitasari, Dyah Rachmawati, Industrial Engineering Conference 2011, 5 November 2011 http://repository.upnyk.ac.id/5274/1/02-Ahmad_Muhsin_%26_Dyah_Rachmawati_L.pdf
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media

Smart City dalam Industri Hijau

Smart City dalam Industri Hijau

Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa) 

Abstrak
Industri hijau dapat didefinisikan sebagai industri berwawasan lingkungan yang menyelaraskan pertumbuhan dengan kelestarian lingkungan hidup, yang mengutamakan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya alam serta bermanfaat bagi masyarakat. Industry hijau dikaitkan dengan aktivitas perusahaan industry yang merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industry yang berbentuk perorangan, badan usaha, atau badan hokum dan berkedudukan di Indonesia. 


Kata kunci : industri hijau, smart city, pengolahan air, membrane 

Isi
Menurut Mustafa, Visi Kota Cerdas/Smart City, adalah perkotaan masa depan, yang dikembangkan agar memiliki lingkungan yang aman, terjamin, hijau serta efisien. Semua sistem dan strukturnya – baik sumberdaya listrik dan gas, air, transportasi dan sebagainya dirancang, dibangun, dan dikelola dengan memanfaatkan kemajuan di bidang materi terintegrasi, sensor, elektronik, dan jejaring yang dihubungkan dengan sistem komputer untuk database, pelacakan, dan algoritma untuk pengambilan keputusan (Calvillo, Sanchez-Miralles, & Viilar, 2016). Untuk mewujudkan hal ini diperlukan penelitian dan teknologi dari berbagai bidang seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Ilmu Komputer, serta Teknik-teknik Sistem, Mekanika, Elektronika dan Sipil (Woinaroschy, 2016). Konsep kota cerdas diperkenalkan untuk mengusahakan tersedianya kehidupan perkotaan yang baik bagi penduduknya melalui pengelolaan optimal berbagai sumberdaya yang diperlukan. Konsep kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk membuat perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya dan siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul. Tahun 2008 para walikota di Eropa telah menyepakati kebijakankebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai tujuan 20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan 20% peningkatan efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy, 2016).
Kota cerdas digambarkan dengan atribut kecerdasan dalam hal bangunan, infrastruktur, teknologi, energi, mobilitas, penduduk, administrasi, dan pendidikan (Albino, Berardi, & Dangelico, 2015). Atribut-atribut itu secara terintegrasi diterapkan dalam mengelola sumberdaya, mengendalikan tingkat polusi, dan mengalokasikan energi. Sebagai penggiat pengembangan ekonomi terutama pada industri moderen seperti elektronik, teknologi informasi, bio dan nanoteknologi, yang memainkan peran penting pada struktur dan pengelolaan kota cerdas, industri kimia yang menerapkan prinsip Kimia Hijau dapat memainkan peranan penting pada evolusi berkelanjutan kota cerdas. Untuk Indonesia, standar kota cerdas sedang dikembangkan, yang didasarkan pada standar internasional (Prihadi, 2016). Smart City atau kota cerdas memiliki 6 (enam) indikator yaitu smart governance, pemerintahan transparan, informatif, dan responsif; smart economy, menumbuhkan produktivitas dengan kewirausahaan dan semangat inovasi; smart people, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan fasilitas hidup layak; smart mobility, penyediaan sistem transportasi dan infrastruktur; smart environment, manajemen sumber daya alam yang ramah lingkungan; dan smart living, mewujudkan kota sehat dan layak huni. Menurut Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Suhono Harso Supangkat, yang juga adalah inisiator kota cerdas di Indonesia, kota-kota besar di Indonesia sedang berusaha mencapai standar kota cerdas, yang saat ini baru tercapai pada level 60 (Prihadi, 2016). Belum sempurnanya kota cerdas di Indonesia, menurut beliau, karena belum adanya sumber daya manusia yang mencukupi yang menguasai berbagai teknologi pengeloaan kota cerdas dan belum adanya satu kesatuan soal standar nasional pengelolaan kota cerdas (Prihadi, 2016). Dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 50 yang ditargetkan oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) dapat memenuhi kriteria kota cerdas (Windhi, 2016). Pemerintah juga menunjuk lima universitas untuk membuat kriteria nasional dan melakukan sosialisai mengenai kota cerdas ini. Enam kriteria yang telah didefinisikan sebelumnya juga menjadi pertimbangan tim Wantiknas ini. Indonesia telah mencanangkan kriteria kota cerdas dengan menerbitkan Perpres Nomor 96 tahun 2014, yang mermuat Rencana Pita Lebar Indonesia atau RPI, yang diharapkan dapat bermanfaat, terjangkau, dan memberdayakan warga kota (Windhi, 2016). Indonesia telah merencanakan tercapainya prinsip kota cerdas yang layak huni, aman dan nyaman pada 2025, tercapainya kota hijau dan ketahanan terhadap perubahan iklim dan kejadian bencana pada 2035, dan terciptanya kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi pada 2045 (Barus, 2017). Peranan Ilmu dan Teknologi Kimia dalam pembentukan kota cerdas, antara lain, dengan diperkenalkannya konsep Kimia Hijau/Green Chemistry untuk pengelolaan pembangunan berkelanjutan.Kimia Hijau/Green Chemistry, yang berfokus pada produksi dan teknologi penerapan Ilmu Kimia yang ramah lingkungan, diperkenalkan pada awal 1990-an (Anastas & Warner, 1998). Kimia hijau ini merupakan pendekatan untuk mengatasi masalah lingkungan baik dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses, ataupun tahapan reaksi yang digunakan. Konsep ini menegaskan tentang suatu metode yang didasarkan pada pengurangan penggunaan dan pembuatan bahan kimia berbahaya baik itu dari segi perancangan maupun proses. Bahaya bahan kimia yang dimaksudkan dalam konsep Kimia Hijau ini meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, termasuk toksisitas, bahaya fisik, perubahan iklim global, dan penipisan sumber daya alam. Anastas dan Warner (1998) menguraikan tentang konsep Kimia Hijau sebagai gabungan dari 12 prinsip. Prinsip pertama menggambarkan ide dasar dari Kimia Hijau, yaitu pencegahan. Prinsip pertama ini menegaskan bahwa pencegahan limbah lebih diutamakan daripada perlakuan terhadap limbah. Selanjutnya prinsip pertama ini diikuti oleh prinsip-prinsip berikutnya yang memandu pelaksanaan prinsip pertama. Prinsip-prinsip Kimia Hijau yang dapat diterapkan untuk pembentukan dan pengelolaan kota cerdas, adalah atom economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media lainnya dengan konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan bahan mentah dari sumber terbarukan, serta penguraian produk kimia menjadi zat-zat nontoksik sederhana yang ramah lingkungan (Dhage, 2013). Definisi aspek pengelolaan kota cerdas adalah terdiri dari sistem pengelolaan air, infrastruktur, transportasi, energi, pengelolaan limbah, dan konsumsi bahan mentah (Albino, Berardi, & Dangelico, 2015). Dengan demikian Ilmu dan teknologi Kimia, melalui pendekatan kimia hijau dapat membuat aspek-aspek ini dikembangkan dan dikelola dengan lebih berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan efisiensi energi dan anggaran yang lebih efektif dan pemanfaatan materi yang ramah lingkungan. Selanjutnya uraian dalam artikel ini akan membahas peranan Ilmu dan Teknologi Kimia Hijau pada-pada masing-masing aspek yang membangun kota cerdas.

Sistem Pengelolaan Air
Di sebagian kota-kota besar di Indonesia, pengelolaan air bersih, badan air, serta air limbah masih belum sempurna. Banyak penduduk kota yang tidak punya akses kepada air bersih dan sistem sanitasi standar yang sehat. Sebenarnya Indonesia berkelimpahan air, namun sayangnya pengelolaan air masih belum sistematis. Indonesia, bersama lima negara lain, yaitu Brazil, Cina,Kanada, Kolombia, dan Rusia, menguasai 50% cadangan air tawar dunia (Andang, 2011). Namun demikian, data Bank Dunia menunjukkan, 1 dari 2 orang Indonesia tidak mendapatkan akses air bersih dan 50 ribu anak indoensia meninggal karena kurangnya air bersih. Terbatasnya akses kepada air bersih karena tidak sistematisnya tata kelola daerah aliran sungai/DAS dan pencemaran badan air air oleh kegiatan pertambangan, antara lain emas, yang menimbulkan pencemaran logam berat merkuri, dan oleh kegiatan industri yang membuang air limbah ke badan air tanpa menghilangkan zat polutan yang terkandung dalam air limbah berbagai industri itu. Masyarakat yang bermukim di pinggiran sungai juga membuang limbah rumah tangga mereka ke badan air (sungai atau air tanah).
Masalah air makin diperumit karena adanya masalah privatisasi air yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang menguasai mata air sebagai sumber air perusahaan (Andang, 2011). Air yang mengalir di sungai-sungai di perkotaan sudah sangat tercemar dengan berbagai limbah sehingga airnya berwarna kehitaman. Penyedotan airtanah oleh penduduk dan oleh industri sertagedung-gedung juga menyebabkan menurunnya ketersediaan dan kualitas air tanah, terutama kota yang dekat dengan laut.
Pemerintah Indonesia sudah mengusahakan perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi (International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, 2015). Sejak 2011 sekitar 55% penduduk Indonesia memiliki akses kepada perbaikan pelayanan penyediaan air bersih dan 56% penduduk pada perbaikan pelayanan sanitasi. Ini merupakan peningkatan sebanyak 17% untuk ketersediaan air bersih dan 31% untuk ketersediaan sanitasi yang memadai sejak tahun 1993. Pemerintah terus berusaha untuk mencapai tujuan penyediaan air bersih dan sanitasi yang memadai bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019.
Selanjutnya ada hubungan yang erat antara pengelolaan air dan kebutuhan energi, yaitu air diperlukan untuk menghasilkan energi seperti pada pembangkit listrik tenaga air, dan air memerlukan jumlah energi yang besar untuk sistem penyediaan dan distribusinya. Masalah diperberat dengan masih dimanfaatkannya sistem perlakuan terhadap air limbah yang tidak ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, dengan berkembangnya Konsep Ekonomi Hijau, menyebabkan makin meningkatnya kebutuhan akan air untuk menghidupi hijauan. Konsep ekonomi hijau muncul karena kepedulian untuk mengurangi ketergantungan pada fossil-based economy, untuk energi, transportasi, produksi materi dan berbagai zat kimia (Eickhout, 2012).
Sehubungan dengan pemanfaatan air, kota-kota di Eropa mulai mengurangi konsumsi air pribadi, meningkatkan efisiensi air pada proses irigasi, mengurangi keperluan akan air pada berbagai proses pada semua industri, mengurangi air yang hilang saat pendistribusiannya, dan mengurangi energi yang digunakan pada sektor perairan. Inovasi-inovasi juga dikembangkan untuk mendaur ulang air yang telah dimanfaatkan (grey water), mengenalkan prosesproses yang menerapkan pengurangan konsumsi air di dunia industri dan teknik-teknik baru seperti penyaringan dengan sistem nanofiltrasi (Woinaroschy, 2016). Keahlian di bidang industri kimia akan bermanfaat mendapatkan solusi-solusi pengolahan dan daur ulang air buangan dan pemenuhan konsumsi air 24 jam/hari dan 7 hari/minggu yang berkelanjutan yang merupakan solusi yang layak secara ekonomi. Untuk mendapatkan air bersih untuk skala perkotaan, peranan teknologi membran penyaring air, yang digabungkan dengan dengan teknologi nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) menjadi sangat penting.Teknologi pembuatan membran tentu menerapkan prinsipprinsip kimia hijau, seperti pencegahan terhadap polusi lingkungan oleh hasil buangan pembuatan membran tersebut. Secara komersial membran yang tersedia adalah berbasis pada poliamida aromatik yang dibentuk menjadi Thin Film Composite (TFC). Namun demikian membran yang berasal dari senyawa ini memiliki kekurangan antara lain daya tahan rendah terhadap pembusukan, stabilitas rendah terhadap pengaruh zat kimia dan panas, dan toleransi rendah terhadap klorin. Untuk mengatasi hal ini Chaoyi (2010) mengembangkan membran untuk RO dan NF. Membran pertama memiliki karakteristik tahan terhadap solven (zat pelarut) dan bermuatan positif. Daya tahan terhadap solven ini dikembangkan dengan melakukan cross-linking terhadap membran poliimida menggunakan polietileninimina, sehingga menghasilkan membran yang tahan terhadap hampir semua pelarut organik. Membran ini juga bermuatan positif karena adanya gugus amina yang tersisa di permukaannya, yang berdampak kemampuannya untuk menghilangkan secara selektif logam berat multivalensi dengan efisiensi tinggi (95%).
Membran untuk RO dan NF diharapkan memiliki karakter anti pembusukan, karena pembusukan pada permukaan membran akan berdampak pada kebutuhan energi yang lebih tinggi, waktu untuk membersihkan sehingga membran jadi tidak berfungsi sementara, dan menurunkan umur produktif membran. Untuk pencegahan terhadap pembusukan maka Chaoyi (2010) juga mengembangkan sistem membran baru dengan menggunakan teknik pelapisan untuk memodifikasi sifat-sifat permukaan membran untuk menghindari adsorpsi zat-zat pembusuk seperti humic acid. Satu lapisan dari polimer yang larut dalam air seperti polivinil alcohol (PVA), poliakrilic acid (PAA), polivinil sulfat (PVS) atau sulfonated poli (eter-eter-keton) diadsorbsikan ke permukaan membran yang bermuatan positif. Membran yang dihasilkan memiliki permukaan yang halus dan bermuatan hampir netral dan menunjukkan daya tahan terhadap pembusukan yang lebih baik daripada membran NF yang bermuatan positif dan membran yang tersedia secara komersial yang bermuatan negatif, NTR-7450. Lebih jauh lagi membran yang dimodifikasi ini memiliki efisiensi tinggi untuk menghilangkan ion-ion multivalensi (95% untuk kation maupun anion). Dengan demikian pelapisan anti pembusukan ini sangat baik digunakan untuk penurunan kesadahan air, untuk desalinasi air, dan perlakuan terhadap air limbah pada proses membran bioreactor (MBR). Selanjutnya ada teknologi pengembangan membran RO yang tahan panas. Membran RO yang tersedia secara komersial tidak dapat digunakan pada temperatur lebih tinggi dari 450 C karena menggunakan senyawa polisulfonat yang sering membatasi pemanfaatan membran tersebut untuk industri. Untuk mengatasi hal ini Chaoyi (2010) berhasilpula mengembangkan poliimida sebagai substrat membran untuk RO yang stabil pada lingkungan panas karena daya tahan terhadap panas tinggi. Membran yang merupakan komposit poliamida berbasis poliimida menunjukkan kinerja desalinasi yang sebanding dengan membran TFC yang tersedia secara komersial, dengan kelebihan utama kestabilan pada lingkungan panas tinggi. Saat diujicoba dengan menaikkan temperatur dari 250o C sampai dengan 950o C, water flux meningkat 5 – 6 kali, dan penghilangan garam berhasil dipertahankan konstan. Membran ini dapat menjadi solusi unik bagi desalinasi air panas dan layak untuk digunakan meningkatkan produktivitas air dengan meningkatkan temperature operasional tanpa mengurangi kemampuan penyaringan garam. Selain mengatasi perolehan air bersih dengan menerapkan teknologi membran untuk NF dan RO, sebaiknya diusahakan untuk penerapan 4 Rs untuk mengembangkan sistem pengurangan pemakaian air (reduce), penggunaan kembali air untuk berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih (recycle), dan pengisian kembali air tanah (recharge) (Joga, 2008). Sistem pengolahan air dalam rumah tangga ini mengolah air limbah bersih dengan cara mendaur ulang air buangan sehari-hari yang berasal dari air cuci tangan, peralatan makan dan minum, kendaraan, dan bersuci diri, maupun air limbah yaitu air buangan dari kamar mandi, sehingga dapat digunakan kembali yang dapat untuk mencuci kendaraan, membilas kloset, dan menyirami taman. Sistem pengolahan air ini termasuk juga membuat sumur resapan air (1 x 1 x 2 meter) dan lubang biopori (10 sentimeter x 1 meter) sesuai kebutuhan untuk menangkap air hujan Selain menerapkan biopori untuk menangkap air hujan, juga ada teknologi penjernihan air sederhana. Untuk menjernihkan air sehingga tidak ada partikel halus dalam air, dapat dilakukan penyaringan dengan melewatkan air itu pada sistem penyaringan yang berisi karbon aktif dari arang, ijuk, pasir dan kerikil. Arang dapat menyerap bakteri sehingga dapat sebagai sanitasi. Jika air sangat keruh dapat ditambah kaporit dalam dosis kecil. Bahan-bahan penjernih air itu harus secara berkala dibersihkan. Ide pemanfaatan membran dengan teknologi NF dan FO, penerapan 4 Rs, dan biopori dicoba disatukan dalam pendekatan kolaborasi antar keahlian, yaitu: Teknik Lingkungan, Teknik Industri, dan Biologi, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dengan menawarkan konsep Surabaya Underground Aqua Project (Nurdin dkk, 2015). Inti gagasan ini adalah sebuah inovasi teknologi pengelolaan air berskala kota yang menggunakan prinsip water recycle untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan sebagai salah satu prinsip pengelolaan air. Prinsip water recycle yaitu pengelolaan air di dalam kota dilakukan dengan mengolah kembali campuran air limbah dan air hujan untuk kemudian menjadi air minum sehingga akan tercipta kondisi lingkungan yang berkelanjutan. Perencanaan Surabaya Underground Aqua Projectmembedakan antara perencanaan instalasi dan jaringan distribusinya. Bagian instalasi terbagi atas dua area, yaitu 1) area pengolahan air limbah dan air hujan dan 2) area pengolahan air baku untuk air minum. Sementara itu, untuk bagian jaringan terbagi atas dua jaringan perpipaan, yaitu 1) Sistem penyediaan air minum dan 2) Sistem penyaluran air limbah dan air hujan. Seluruh instalasi dan jaringannya berada di bawah tanah. Sistem ini nantinya menerapkan membran untuk mendapatkan air berstandar air minum (Nurdin dkk, 2015).

Untuk menghidupkan sebuah smart city tidak hanya dengan pengolahan air saja namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti insfrastruktur, transportasi, energy, pengolahan limbah, konsumsi bahan mentah.


Daftar pustaka
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media

Kimia Hijau dan Aplikasinya

Kimia Hijau dan Aplikasinya

Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa)


 Abstrak
Aplikasi kimia hijau sejalan dan seirama dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sebagai catatan, pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan dengan menerapkan prinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi mada depan.

Kata kunci : Kimia Hijau dan Aplikasi kimia hijau  

Isi

Menurut Mustafa, Istilah kimia hijau pertama kali digunakan oleh Paul T. Anastas pada sebuah program khusus yang diperkenalkan organisasi EPA (Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat tahun 1991. Program ini dimaksudkan untuk menerapkan pengembangan berkelanjutan di bidang kimia dan teknologi kimia oleh dunia industri, akademi, dan pemerintahan. Konsep kimia hijau mengintegrasikan pendekatan baru untuk proses sintesa, pengolahan, dan aplikasi zat-zat kimia sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan. Pendekatan baru ini kemudian diberi istilah: kimia yang ramah terhadap lingkungan (Environmental benign Chemistry), kimia bersih (Clean Chemistry) ekonomi atom (atom economy), kimia yang dirancang jinak/ramah (benign-by-design chemistry).

Konsep kimia hijau biasanya ditampilkan sebagai gabungan dari 12 prinsip yang diusulkan oleh Anastas dan Warner (Anastas & Warner, 1998), apabila diterapkan dapat menunjukkan bagaimana produksi zat kimia dapat memfasilitasi kesehatan manusia dan lingkungan, dengan tetap memperhatikan efisiensi dan keuntungan. Kedua belas prinsip kimia hijau itu adalah: 1) pencegahan: pencegahan limbah lebih diutamakan daripada perlakuan terhadap air limbah; 2) atom ekonomi: metode sintesa harus dirancang untuk memaksimalkan pemanfaatan semua materi yang digunakan dalam proses sampai menghasilkan suatu produk; 3) sintesa zat kimia dengan kemungkinan timbulnya bahaya seminimal mungkin: kegiatan pembuatan zat kimia diusahakan menerapkan metode yang dirancang untuk memanfaatkan dan menghasilkan zat-zat dengan toksisitas serendah mungkin bagi kesehatan manusia dan lingkungan; 4) merancang zat kimia yang aman yang dapat digunakan sesuai peruntukannya dengan meminimalisir toksisitas zat tersebut; 5) pemanfaatan pelarut dan zat pendamping yang aman; 6) perancangan sistem untuk mendapatkan efisiensi energi pada temperatur dan tekanan rendah serta ramah lingkungan; 7) sejauh mungkin menerapkan penggunaan bahan mentah yang terbarukan, bukan yang menghabiskan sumber daya; 8) sejauh mungkin mengurangi pemanfaatan zat derivatif seperti zat pencegah, pelindung, atau penghancur; 9) pemanfaatan katalis seselektif mungkin dan yang merupakan reagen dengan sifat stokiometrik yang paling baik; 10) perancangan agar mudah diuraikan, zat-zat kimia yang dihasilkan harus mudah diuraikan saat manfaatnya telah selesai; 11) analisis secara real-time untuk pencegahan polusi; metode-metode analisis harus dikembangkan untuk memungkinkan pemantauan dan pencegahan secara langsung pada setiap tahap dari proses sintesa untuk mencegah terbentuknya zat berbahaya; 12) penerapan kimia aman untuk mencegah kecelakaan, zat-zat yang digunakan dalam proses kimia harus dipilih untuk meminimalisir potensi kecelakaan, termasuk pelepasan zat berbahaya, ledakan, dan kebakaran. Kedua belas prinsip ini diharapkan dapat memotivasi hal-hal yang berhubungan dengan bidang kimia seperti penelitian, pendidikan, dan kebijakan dan persepsi masyarakat. Prinsip pertama menggambarkan ide dasar dari kimia hijau, yang dilanjutkan dengan prinsip-prinsip berikutnya yang menjadi pedoman dalam melaksanakan prinsip pertama itu seperti atom economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media lainnya dengan konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan bahan mentah dari sumber yang terbarukan, serta penguraian produk kimia menjadi zat-zat nontoksik sederhana yang ramah lingkungan (Dhage, 2013).

Para ahli kimia dapat mengakses berbagai sumber informasi mengenai potensi bahaya molekul zat kimia yang akan dirancang dan zat pendukung yang akan dipilih. Saat ini para ahli kimia hijau sudah terlatih untuk mengintegrasikan berbagai informasi tersebut untuk merancang molekul dengan menghindari atau mengurangi sifat racun/toksik dari molekul tersebut. Sebagai contoh, mereka mungkin merancang molekul yang cukup besar ukurannya sehingga tidak dapat menembus jauh ke dalam paru-paru manusia atau hewan, yaitu tempat efek toksik dapat terjadi. Cara lain adalah mengubah sifat-sifat suatu molekul untuk mencegah absorpsi oleh kulit atau untuk memastikan molekul tersebut akan mudah terurai di lingkungan. Dengan kemajuan di bidang teknologi pembuatan partikel nano, maka perlu diperhatikan atau dibuat peraturan untuk mengurangi dampak kesehatan dan lingkungan yang disebabkan partikel nano ini termasuk aplikasi teknologi dan partikel nano di dunia kedokteran, seperti pencitraan, pemberian obat, disinfektasi, dan perbaikan jaringan (Albrecht, Evans, & Raston, 2006). Partikel nano ini dapat masuk ke tubuh manusia melalui paru, usus besar, kulit, serta dapat masuk ke jaringan otak yang kemungkinan besar dapat menimbulkan masalah kesehatan, meskipun penelitian mengenai ini belum tuntas. Aturan dan regulasi terkait nano partikel dan kesehatan serta lingkungan perlu dikembangkan berdasarkan 12 prinsip kimia hijau. Albrechts et al., (2006) menguraikan dampak nano partikel dan berbagai kemungkinan alternatif yang tidak berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan untuk pemanfaatan nano partikel di berbagai aspek kehidupan. Manfaat pendekatan kimia hijau adalah mengurangi berbagai risiko pada siklus produksi dan pemanfaatan zat kimia. Pendekatan pembaharuan berkelanjutan dalam hal penemuan atau inovasi akan membawa kepada proses dan produk yang aman di dalam ekosistem alami, dan mudah terurai, sehingga menjadi zat gizi untuk alam atau dapat didaur ulang.

CAT RAMAH LINGKUNGAN
Senyawa organik yang mudah menguap atau volatile organic compounds (VOC) biasa diidentifikasi sebagai bau sesuatu yang baru dicat, bersifat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Sejak dulu ada cat yang larut dalam air berbentuk bubuk, tetapi tidak mudah didapat. Perusahan cat di Inggris berhasil membuat cat yang sedikit sekali atau tidak mengandung VOC tetapi tetap menarik, misalnya cat yang berbasis pelarut dari tanaman yang tidak berbau, mudah dibersihkan, dan berdaya tutup yang baik. Cat-cat yang diiklankan di Indonesia juga sudah mulai memperhatikan keamanan terhadap kesehatan dan lingkungan.

PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN
Sudah ada produk-produk plastik yang berbahan dasar gula dari tanaman hasil pertanian yang terbarukan, seperti jagung, kentang, dan gula dari buah bit, untuk mulai menggantikan plastik yang berasal dari petroleum. Beberapa perusahaan di negara maju telah menghasilkan produk-produk plastik yang ramah lingkungan. Sebagai contoh, perusahaan di Amerika yang memasarkan polimer PLA dari tumbuhan yang berasal dari jagung, digunakan dalam kemasan makanan dan minuman. Perusahaan ini juga berhasil membuat serat yang berasal dari jagung dinamakan Ingeo dan digunakan untuk membuat selimut serta hasil tekstil lain. Pabrik yang memakai polimer PLA sebagai bahan dasarnya juga mengintegrasikan prinsip-prinsip kimia hijau termasuk dalam memilih zat warna untuk produkproduk mereka. Di Amerika Serikat, terdapat perusahaan yang mengganti bahan penguat karpet yang biasanya terdiri atas aspal, polivinil klorida (PVC), dan poliuretan, dengan resin poliolefin, yang berasal dari tanaman dan lebih rendah toksisitasnya. Karpet jenis ini memiliki daya rekat yang tinggi dan tidak mudah menyusut. Saat ini karpet yang ramah lingkungan ini telah digunakan untuk bangunan rumah, sekolah, rumah sakit, dan kantor. Saat ini sudah ada Pedoman Pemanfaatan Biomaterial Berkelanjutan (Sustainable Biomaterials Guidelines) yang memberi arahan untuk pendekatan komprehensif terhadap siklus produksi, pemanfaatan dan pengolahan limbah untuk praktik pertanian sampai dengan daur ulang dan pembuatan pupuk. Pedoman tersebut memberi saran bagaimana mengolah limbah tumbuhan seperti kayu, rumput kering, tanaman, dan berbagai bahan mentah pertanian untuk dimanfaatkan kembali. Pedoman tersebut sesuai dengan prinsip kimia hijau yang ke tujuh yaitu memanfaatkan bahan baku pertanian yang dapat didaur ulang, seperti yang digambarkan pada Gambar 2. Prinsip ini mendasari usaha para ahli kimia untuk memanfaatkan material yang dapat diperbaharui, seperti bahan bakar biogas dan pakan ternak, menghemat penggunaan energi, dan memproduksi zat-zat kimia yang ramah lingkungan pada pengolahan bahan makanan.
Smart City
Konsep kota cerdas diperkenalkan untuk mengusahakan tersedianya kehidupan perkotaan yang baik bagi penduduknya melalui pengelolaan optimal berbagai sumberdaya yang diperlukan. Konsep kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk membuat perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya dan siap menghadapi berbagai tantangan yang mungkin muncul. Tahun 2008 para walikota di Eropa telah menyepakati kebijakankebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai tujuan 20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan 20% peningkatan efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy, 2016).



Daftar pustaka
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media

Limbah Minyak dan Ultrafiltrasi

Limbah Minyak dan Ultrafiltrasi

Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa) 

Abstrak
Penanganan pencemaran air antara yang polusinya berasal dari satu sumber dengan yang berasal dari beberapa sumber tentunya berbeda. Limbah minyak merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifatnya, konsentrasi maupun jumlahnya dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup. Operasi membran dapat diartikan sebagai proses pemisahan dua atau lebih komponen dari aliran fluida melalui suatu membran. Membran berfungsi sebagai penghalang tipis yang sangat selektif diantara dua fasa, hanya dapat melewatkan komponen tertentu dan menahan komponen lain dari suatu aliran fluida yang dilewatkan melalui membran.

Kata kunci : Limbah minyak, membrane ultrafiltrasi

Isi
Menurut Notodarmojo,Mayasanthy&Zulkarnain, Cutting oil atau minyak mesin pemotong merupakan suatu jenis emulsi minyak yang sering digunakan pada industri yang menghasilkan produk-produk presisi dengan ukuran yang beragam, seperti pada industri automotif. Cutting oil ini sering digunakan kembali (re-use) sampai kekentalannya menurun dan dibuang, sebagian dari komponen yang yang terdapat dalam emulsi minyak lamakelamaan akan mengalami degradasi yang disebabkan tumbuhnya mikroorganisme. Oleh sebab itu setelah digunakan beberapa periode, emulsi minyak ini harus diganti, dan bekasnya ditempatkan didalam suatu tempat sebagai limbah atau sering disebut sebagai “waste O/W emulsion”. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 18, tahun 1999 telah menetapkan bahwa emulsi minyak termasuk limbah B3 dari sumber yang spesifik (Tabel 2, kode Limbah D238). Demikian juga berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEP-51/MENLH/10/1995) tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, dimana parameter COD maksimum yang diperbolehkan 300 mg/L dan konsentrasi surfaktan (senyawa aktif biru Limbah cair emulsi minyak banyak dihasilkan dari proses pemotongan logam, yang biasa disebut dengan cutting oil. Karena komposisi yang kompleks dari limbah cair emulsi minyak, maka tidaklah mudah untuk menangani beban COD yang tinggi, yang diyakini bahwa hal tersebut disebabkan karena adanya minyak. Pengolahan limbah cair emulsi minyak dengan menggunakan proses konvensional atau secara proses kimia sangat sulit dilakukan karena mengandung konsentrasi suspended solid, COD, kandungan logam dan minyak yang tinggi (Bennet, 1973; Kim et al., 1989).
Penelitian untuk mengolah limbah minyak mesin pemotong (cutting oil) dari industri pemotongan kabel menggunakan membran sellulosa triasetat telah dilakukan, dan diperoleh rejeksi 89-91% dengan kisaran COD 2000-3000 mg/L dan selanjutnya dilakukan proses lanjutan dengan proses pertukaran ion didapat COD effluen dengan kisaran 250-350 mg/L (Lin et al.,1998). Pengolahan limbah minyak mesin pemotong juga telah dilakukan dengan menggunakan membran sellulosa asetat dengan sistem aliran dead-end yang memberikan hasil rejeksi COD 94-97% dengan kisaran COD 600-800 mg/L (Zulkarnain, 1999). Penelitian lainnya, yaitu pengolahan limbah cair emulsi minyak dari industri baja dengan sistem aliran dead-end diperoleh rejeksi COD 93-96 % dengan kisaran COD 500-600 mg/L (Maharlika, 2003).

Operasi membran dapat diartikan sebagai proses pemisahan dua atau lebih komponen dari aliran fluida melalui suatu membran. Membran berfungsi sebagai penghalang tipis yang sangat selektif diantara dua fasa, hanya dapat melewatkan komponen tertentu dan menahan komponen lain dari suatu aliran fluida yang dilewatkan melalui membran (Mulder, 1996). Proses pemisahan pada membran terjadi karena adanya proses fisika-kimia antara membran dengan komponen yang akan dipisahkan serta adanya gaya dorong yang berupa gradient konsentrasi (∆C), gradient tekanan (∆P) dan gradient potensial (∆E) (Peter,1996). Berdasarkan gradient tekanan sebagai gaya dorongnya dan pemeabilitasnya, membran dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu (Mulder,1996): 
a. Mikrofiltrasi (MF), Membran jenis ini beroperasi pada tekanan berkisar 0,1-2 Bar dan batasan permeabilitas-nya lebih besar dari 50 L/m2 .jam.bar 
b. Ultrafiltrasi (UF), Membran jenis ini beroperasi pada tekanan antara 1-5 Bar dan batasan permeabilitas-nya adalah 10-50 L/m2 .jam.bar 
c. Nanofiltrasi, Membran ini beroperasi pada tekanan antara 5-20 bar dan batasan permeabilitas-nya mencapai 1,4 – 12 L/m2 .jam.bar d. Reverse Osmosis (RO), Membran jenis ini beroperasi pada tekanan antara 10-100 Bar dan batasan permeabilitas-nya mencapai 0,05-1,4 L/m2 .jam.bar. 

Ada dua parameter utama yang menentukan kinerja membran, yaitu laju aliran (fluks) dan selektivitas. Secara umum, fluks akan menentukan berapa banyak permeat yang dapat dihasilkan (kuantitas), sedangkan selektivitas berkaitan dengan kualitas permeat.



Daftar pustaka
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media

Sehatkah udara ini untuk kehidupan

Sehatkah udara ini untuk kehidupan

Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa)
 Abstrak
Pencemaran udara disebabkan oleh sumber bergerak dan sumber tidak bergerak yang meliputi sektor transportasi, industri, dan domestik. Faktor lainnya yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya pencemaran udara adalah pertumbuhan penduduk, laju urbanisasi. yang tinggi, pengembangan tataruang yang tidak seimbang dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai pencemaran udara. Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang serius di Indonesia saat ini, sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan peningkatan ekonomi transportasi.

Kata kunci : pencemaran udara, transportasi, kesehatan

Isi

Menurut sudrajat (2005) Semakin pesatnya kemajuan ekonomi mendorong semakin bertambahnya kebutuhan akan transportasi, dilain sisi lingkungan alam yang mendukung hajat hidup manusia semakin terancam kualitasnya, efek negatif pencemaran udara kepada kehidupan manusia kian hari kian bertambah. Pencemaran udara adalah masuknya, atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan, gangguan pada kesehatan manusia secara umum serta menurunkan kualitas lingkungan. Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya di dalam rumah, sekolah, dan kantor. Pencemaran ini sering disebut pencemaran dalam ruangan (indoor pollution). Sementara itu pencemaran di luar ruangan (outdoor pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan, dan proses alami oleh makhluk hidup. Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi sumber diam dan sumber bergerak. Sumber diam terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga. Sedangkan sumber bergerak adalah aktifitas lalu lintas kendaraan bermotor dan tranportasi laut. Dari data BPS tahun 1999, di beberapa propinsi terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya dan Jakarta, emisi kendaraan bermotor merupakan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO2 dan CO di udara yang jumlahnya lebih dari 50%. Penurunan kualitas udara yang terus terjadi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kita bahwa betapa pentingnya digalakkan usaha-usaha pengurangan emisi ini. Baik melalui penyuluhan kepada masyarakat ataupun dengan mengadakan penelitian bagi penerapan teknologi pengurangan emisi.

Pengaruh pencemaran udara terhadap makhluk hidup rentang nilai menunjukkan batasan kategori daerah sesuai tingkat kesehatan untuk dihuni oleh manusia. Karbon monoksida, nitrogen, ozon, sulfur dioksida dan partikulat matter adalah beberapa parameter polusi udara yang dominan dihasilkan oleh sumber pencemar. Dari pantauan lain diketahui bahwa dari beberapa kota yang diketahui masuk dalam kategori tidak sehat berdasarkan ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) adalah Jakarta (26 titik), Semarang (1 titik), Surabaya (3 titik), Bandung (1 titik), Medan (6 titik), Pontianak (16 titik), Palangkaraya (4 titik), dan Pekan Baru (14 titik). Satu lokasi di Jakarta yang diketahui merupakan daerah kategori sangat tidak sehat berdasarkan pantauan lapangan, sudrajat (2005).
Sedangkan menurut Gusnita (2010), Permasalahan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor sudah mencapai titik yang cukup mengkhawatirkan terutama di kota-kota besar. Tingginya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar di Indonesia tidak dapat dihindarkan yaitu berkisar 8-12 pertahun. Sampai dengan saat ini jumlah kendaraan bermotor di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 20 juta yang 60% adalah sepeda motor sedangkan pertumbuhan populasi untuk mobil sekitar 3-4% dan sepeda motor lebih dari 4% per tahun (Kem. Perhubungan). Menurut data terakhir dari Gaikindo pertumbuhan pasar penjualan kendaraan baru untuk roda empat naik hampir 25 % pada tahun 2003. Sedangkan pertumbuhan pasar penjualan sepeda motor naik hampir 35 % pada tahun 2003. Melihat permasalahan tersebut maka sudah menjadi suatu keharusan bagi industri kendaraan bermotor di Indonesia untuk segera menciptakan kendaraan bermotor yang ramah lingkungan dan hemat bahan bakar di masa mendatang.

Menurut Tugaswati, Dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia, senyawa-senyawa di dalam gas buang terbentuk selama energi diproduksi untuk mejalankan kendaraan bermotor. Beberapa senyawa yang dinyatakan dapat membahayakan kesehatan adalah berbagai oksida sulfur, oksida nitrogen, dan oksida karbon, hidrokarbon, logam berat tertentu dan partikulat. Pembentukan gas buang tersebut terjadi selama pembakaran bahan bakar fosil-bensin dan solar didalam mesin. Dibandingkan dengan sumber stasioner seperti industri dan pusat tenaga listrik, jenis proses pembakaran yang terjadi pada mesin kendaraan bermotor tidak sesempurna di dalam industri dan menghasilkan bahan pencemar pada kadar yang lebih tinggi, terutama berbagai senyawa organik dan oksida nitrogen, sulfur dan karbon. Selain itu gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam lingkungan jalan raya yang sering dekat dengan masyarakat, dibandingkan dengan gas buang dari cerobong industri yang tinggi. Dengan demikian maka masyarakat yang tinggal atau melakukan kegiatan lainnya di sekitar jalan yang padat lalu lintas kendaraan bermotor dan mereka yang berada di jalan raya seperti para pengendara bermotor, pejalan kaki, dan polisi lalu lintas, penjaja makanan sering kali terpajan oleh bahan pencemar yang kadarnya cukup tinggi. Estimasi dosis pemajanan sangat tergantung kepada tinggi rendahnya pencemar yang dikaitkan dengan kondisi lalu lintas pada saat tertentu. Keterkaitan antara pencemaran udara di perkotaan dan kemungkinan adanya resiko terhadap kesehatan, baru dibahas pada beberapa dekade belakangan ini. Pengaruh yang merugikan mulai dari meningkatnya kematian akibat adanya episodsmog sampai pada gangguan estetika dan kenyamanan. Gangguan kesehatan lain diantara kedua pengaruh yang ekstrim ini, misalnya kanker pada paru-paru atau organ tubuh lainnya, penyakit pada saluran tenggorokan yang bersifat akut maupun khronis, dan kondisi yang diakibatkan karena pengaruh bahan pencemar terhadap organ lain seperti paru, misalnya sistem syaraf. Karena setiap individu akan terpajan oleh banyak senyawa secara bersamaan, sering kali sangat sulit untuk menentukan senyawa mana atau kombinasi senyawa yang mana yang paling berperan memberikan pengaruh membahayakan terhadap kesehatan. Bahaya gas buang kendaraan bermotor terhadap kesehatan tergantung dari toksiats (daya racun) masing-masing senyawa dan seberapa luas masyarakat terpajan olehnya. Beberapa faktor yang berperan di dalam ketidakpastian setiap analisis resiko yang dikaitkan dengan gas buang kendaraan bermotor antara lain adalah : Definisi tentang bahaya terhadap kesehatan yang digunakan Relevansi dan interpretasi hasil studi epidemiologi dan eksperimental Realibilitas dari data pajanan Jumlah manusia yang terpajan Keputusan untuk menentukan kelompok resiko yang mana yang akan dilindungi Interaksi antara berbagai senayawa di dalam gas buang, baik yang sejenis maupun antara yang tidak sejenis lamanya terpajan (jangka panjang atau pendek) Pada umumnya istilah dari bahaya terhadap kesehatan yang digunakan adalah pengaruh bahan pencemar yang dapat menyebabkan meningkatnya resiko atau penyakit atau kondisi medik lainnya pada seseorang ataupun kelompok orang. Pengaruh ini tidak dibatasi hanya pada pengaruhnya terhadap penyakit yang dapat dibuktikan secara klinik saja, tetapi juga pada pengaruh yang pada suatu mungkin juga dipengaruhi faktor lainnya seperti umur misalnya. Telah banyak bukti bahwa anak-anak dan para lanjut usia merupakan kelompok yang mempunyai resiko tinggi di dalam peristiwa pencemaran udara. Anak-anak lebih peka terhadap infeksi saluran pernafasan dibandingkan dengan orang dewasa, dan fungsi paru-paru nya juga berbeda. Para usia lanjut masuk di dalam kategori kelompok resiko tinggi karena penyesuaian kapasitas dan fungsi paru-paru menurun, dan pertahanan imunitasnya melemah. Karena kapasitas paru-paru dari penderita penyakit jantung dan paru-paru juga rendah, kelompok ini juga sangat peka terhadap pencemaran udara. Berdasarkan sifat kimia dan perilakunya di lingkungan, dampak bahan pencemar yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor digolongkan sebagai berikut :
1. Bahan-bahan pencemar yang terutama mengganggu saluran pernafasan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah oksida sulfur, partikulat, oksida nitrogen, ozon dan oksida lainnya.
2. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik, seperti hidrokarbon monoksida dan timbel/timah hitam.
3. Bahan-bahan pencemar yang dicurigai menimbulkan kanker seperti hidrokarbon.
4. Kondisi yang mengganggu kenyamanan seperti kebisingan, debu jalanan, dll.

Untuk itu dibutuhkan kepedulian masyarakat terhadap polusi udara ini dengan kegiatan pengurangan polusi udara khususnya yang berasal dari kendaraan pribadi dapat pula dilakukan dengan langkah:
· Perawatan kendaraan pribadi yang memegang peranan sangat penting dalam mengontrol emisi gas buang yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor khususnya emisi dari mobil.
· Menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan misalnya: biodiesel, BBG, bioetanol.
· Melakukan pemeriksaan emisi gas buang kendaraan pribadi secara rutin minimal 6 bulan sekali.
 · Menggunakan Catalytic Converters untuk kendaraan baru.
 · Penerapan persyaratan desain kendaraan yang mempunyai emisi yang rendah.
 · Pemerintah perlu menyediakan sarana transportasi massal yang nyaman agar masyarakat dapat menggunakannya, serta mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di jalan, khususnya pada saat jam sibuk, Gusnita (2010). 

Daftar pustaka
Simandjuntak, Agus Gindo
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media



Pencemaran Yang Dimanfaatkan

Pencemaran Yang Dimanfaatkan


Oleh : arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa) 
Abstrak
Perkembangan antara manusia, industri, teknologi, semakin pesat. Industri yang berkembang akan menghasilkan limbah berupa cairan atau padatan. Limbah cairan dapat diolah menjadi barang yang dapat digunakan ataupun diuraikan agar tidak menjadi limbah yang mengganggu lingkungan. Perngolahan limbah cair dapat didaur ulang.

Kata kunci : limbah, ADVANCED OXIDATION PROCESSES (AOP), Resin Cair 

Isi

Menurut Hutagalung, Sugiarto,Luvita, metode advanced oxidation processes (AOP) untuk mengolah limbah resin cair. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair bahan resin adalah senyawa-senyawa organik yang biasanya dapat merupakan racun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan resin, penelitian merekomendasikan instalasi air limbah (IPAL) dengan menggunakan instrumentasi metode Advanced Oxidation Processes (AOP). Untuk dapat meningkatkan efektifitas dan standar baku mutu buang limbah cair dari bahan resin, maka diusulkan adanya perubahan cara pengolahan air limbah dengan metode AOP yaitu dengan mengkombinasikan ozon dan ultraviolet.

Sejak tahun 1981, para peneliti mulai menguji penggunaan ozon sebagai bagian dari proses reklamasi air. Penelitian awal menunjukan bahwa dosis ozon tertentu diperlukan untuk mencapai tingkat spesifik penyuci-hamaan [1]. Literatur menunjukan bahwa faktor-faktor yang paling signifikan dimana mempengaruhi persyaratan dosis ozon adalah effluent chemical oxygen demand (COD), influent kepadatan bakteri, dan target effluent kepadatan bakteri. Plasma adalah zat keempat disamping zat klasik, padat , cair dan gas. Zat plasma ni diketemukan oleh ilmuan Amerika , Irving Langmuir 1881-19570 dalam percobaanya melalui filamen tungsten dengan prinsip mengalirnya arus listrik akan menunjukan adanya ionisasi yang mengakibatkan terbentuknya ion serta elektron pada udara diantara dua elektroda yang diberi tegangan listrik yang cukup tinggi (< 10 kV) [2]. Semakin besar tegangan listrik yang diberikan, semakin banyak jumlah ion dan electron yang terbentuk. Aksi–reaksi yang terjadi antara ion dan electron dalam jumlah banyak akan menimbulkan kondisi udara dua elektroda menjadi netral, peristiwa inilah yang disebut plasma. Dewasa ini teknologi plasma banyak digunakan dalam berbagai bidang industri, seperti industri elektronik, material, kimia dan obat-obatan. Selain dari pada itu teknologi plasma dimanfaatkan juga untuk mengolah limbah cair dan gas. Sistem pengolah limbah cair yang ada umumnya mempergunakan cara kombinasi antara pemakaian clorine, sistem kondensasi, sedimentasi dan filtrasi. Sedangkan untuk mengolah limbah cair organik banyak mempergunakan mikrobiologi, karbon aktif atau membran filtrasi tidaklah cukup untuk limbah organik yang semakin banyak. Untuk masalah limbah organik ini, teknologi ozon mulai dipergunakan. Sesuai dengan fungsinya, instalasi pengolahan air limbah ini dapat dipakai untuk pengolahan air limbah domestik yang didalamnya banyak terkandung berbagai jenis senyawa kimia dan mikroorganisma yang dapat merusak lingkungan dan dapat membahayakan kesehatan masyarakat disekitarnya. Pada umumnya polutan utama yang terkandung dalam limbah cair mengandung bahan peroxide adalah senyawa-senyawa organik beracun yang dapat mencemari lingkungan air dan udara apabila dibuang langsung ke lingkungan dalam jumlah yang banyak. Untuk mengatasi polutan yang terkandung dalam limbah cair bahan peroxide, penggunaan cara oksidasi merupakan proses utama dalam proses pengolahan air limbah dengan teknologi ozon ini. Oksidasi sangat diperlukan dalam proses penguraian senyawa-senyawa kimia organik dan sebagian anorganik. Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh kementrian negara lingkungan hidup dimana setiap perusahaan wajib untuk dapat mengatasi dan mengurangi jumlah bahan pencemar dalam limbah cair yang dihasilkan. Untuk itu perusahaan yang menggunakan bahan peroxide memerlukan adanya suatu teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan limbah cair tersebut. Hutagalung, Sugiarto,Luvita (2010).

Pengembangan instalasi instrumentasi pengolahan limbah cair bahan peroxide menggunakan metode AOP dengan kombinasi ozon dan ultraviolet dimaksudkan agar limbah cair yang diolah dapat dibuang dengan aman dan memenuhi baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup [3]. Dari proses produksi perusahaan berbahan peroxide setiap harinya menghasilkan kurang lebih 10 m3 /day limbah cair dengan kadar kandungan COD 116208 ppm di sampel A3-2 yang dinilai sangat tinggi, sehingga limbah cair ini tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan air. Konsep dasar sistem yang akan dibangun adalah sistem AOP dengan menggunakan ozon dan ultraviolet [4,5]. sebagai komponen utama sistem yang dikombinasikan dengan karbon aktif sebagai filtrasi pada tahapan terakhir. Fungsi dari kombinasi ozon dan ultraviolet adalah untuk menghasilkan hydroxyl radikal (OH) ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2), dimana sebuah radikal bebas yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V) [3,6]. Sedangkan lampu ultraviolet pada panjang gelombang tertentu (λ = 254 m) akan efektif dalam proses membunuh bakteri. Hal ini menjadikan kombinasi ozon dan ultraviolet sangat potensial untuk mengoksidasi berbagai senyawa organik, minyak, dan bakteri yang terkandung didalam air. Hutagalung, Sugiarto,Luvita (2010).

Pada dasarnya limbah cair dapat diolah menggunakan teknologi aop maupun filtrasi. Limbah diolah menggunakan teknologi agar pencemaran dari limbah tidak menimbulkan efek bahaya bagi lingkunga dengan skala yang besar atau bahkan limbah yang dihasilkan dari industri dapat dijadikan material yang memiliki nilai ekonomi.


Daftar pustaka
Hutagalung, Sutrisno Salomo, Sugiarto, Anto Tri, Luvita, Veny, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah Volume 13 Nomor 2 Desember 2010
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media