.

Sabtu, 03 Februari 2018

Pengolahan Deterjen dengan Sistem Rawa Bambu

Oleh : Yehezkiel Theo Parlindungan M, (@F19-Yehezkiel)


ABSTRAK
Industri kimia mengalami perkembangan yang pesat dalam kurun waktu antara 1935 – 1955, bersamaan dengan bermunculannya inovasi di berbagai bidang. Permintaan dunia terhadap produk indsutri kimia mengalami pertumbuhan yang pesat. Saat itu produksi kimia industry hanya terpusat di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
Kata Kunci : Industri Kimia, Industri Petrokimia, Deterjen

ISI
            Industri ini mencakup petrokimia, agrokimia, farmasi, polimer, cat, dan oleokimia. Industri ini menggunakan proses kimia, termasuk reaksi kimia untuk membentuk zat baru, pemisahan berdasarkan sifat seperti kelarutan atau muatan ion, distilasi, transformasi oleh panas, serta metode-metode lain.

Menurut Fillaeli (2012); Rahayu (2009); Nipples (2012) dalam Hidayat (2017), kimia industry merupakan proses yang terjadi dalam industry kimia, perhitungan yang menyertai proses-proses berhubungan dengan banyaknya zat yang terlibat (stoikiometri), maupun dengan jumlah panas yang dibebaskan maupun diperlukan dalam suatu proses tertentu.

Menurut Killheffer (2014) dalam Hidayat (2017), mengemukakan, bahwa ruang lingkup industry kimia dapat dilihat dari bahan baku utama yang dipergunakan, seperti bahan bakar fosil, udara, air, garam, kapur, belerang dan sebagainya.

Menurut Aftalion (2010) dalam Hidayat (2017), Industri kimia mengalami perkembangan yang pesat dalam kurun waktu antara 1935 – 1955, bersamaan dengan bermunculannya inovasi di berbagai bidang. Permintaan dunia terhadap produk indsutri kimia mengalami pertumbuhan yang pesat. Saat itu produksi kimia industry hanya terpusat di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang.
Salah satu jenis industry kimia yaitu industry petrokimia berbasis Olefin. Jenis tersebut adalah salah satu dari beberapa jenis industri petrokimia salah satu contohnya adalah deterjen.

Menurut Kamil (1989) dalam Sabli (2015), jumlah konsumsi air bersih di Indonesia rerata 138,5 liter per orang per hari. Sekitar 60-80 % dari konsumsi air per orang per hari tersebut menjadi air limbah (Metcalf dan Eddy, 2004 dalam Sabli 2015).

Menurut Sabli (2015) limbah cair domestic yang paling tinggi volumenya adalah deterjen. Selain dari permukiman penduduk, deterjen juga digunakan pada usaha pencucian mobil dan kendaraan bermotor, serta usaha binatu (laundry) yang terus meningkat. Menurut 

Darmono (2008); Rochman (2009) dalam Sabli (2015) Hal ini seiring dengan produksi deterjen dunia yang mencapai 2,7 juta ton/tahun, dengan kenaikan produksi tahunan mencapai 5 %.

Menurut Sabli (2015), teknologi yang dipilih untuk mengolah air limbah deterjen yaitu menggunakan sistem lahan basah karena diyakini mampu memulihkan air limbahdomestik, pertanian dan sebagian limbah industri, namun sayangnya fungsi lahan basah sebagai “ginjal bumi” untuk mengolah air limbah tersebut tidak banyak diketahui oleh masyarakat. Di samping itu, lahan basah yang ada kurang menarik untuk dipertahankan karena relatif tidak memiliki nilai ekonomis.

Menurut Sabli (2011) dalam Sabli (2015), lahan basah sangat rentan terhadap eksploitasi berlebihan karena dianggap sebagai lahan yang tidak produktif atau lahan marjinal. Akibatnya lahan basah selalu menjadi sasaran untuk dijadikan drainase dan konversi. Di sisi lain, lahan basah sudah menjadi korban alih fungsi akibat tekanan pembangunan, diantaranya untuk pembangunan tambak, perkebunan kelapa sawit dan akasia, untuk pembangunan perumahan, sarana transportasi, pasar, pendidikan dan perkantoran.

Menurut Sabli (2015), Tumbuhan yang hidup dalam rawa, membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Selain itu, tumbuhan rawa juga berfungsi secara tidak langsung dalam proses pembersihan air, yaitu mendukung kehidupan organisme pengurai limbah, misalnya bakteri, jamur, alga dan protozoa. Pelepasan oksigen oleh akar tumbuhan rawa menyebabkan air atau tanah di sekitar rambut akar memiliki kadar oksigen terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan air atau tanah yang tidak ditumbuhi tumbuhan air, sehingga memungkinkan organisme mikro pengurai seperti bakteri aerob dapat hidup dalam lingkungan rawa yang berkondisi anaerob.

Menurut Reed (1995) dalam Sabli (2015) Tumbuhan-tumbuhan air mampu memasok oksigen ke dalam tanah di bawah permukaan air dalam kisaran antara 0,2> 10 cm3 oksigen per batang per menit.

Daftar Pustaka
Hidayat, Atep Afia dan Muhammad Kholil, 2017, Kimia Industri dan Teknologi Hijau, Pantona Media Jakarta.

Sabli, T. Edy, 2015, Optimalisasi Pengeolaan Air Limbah Deterjen Dengan Sistem Rawa Bambu, Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol 9, No 2, Universitas Riau, Pekanbaru. Dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=440323&val=2277&title=OPTIMALISASI%20PENGELOLAAN%20AIR%20LIMBAH%20DETERJEN%20DENGAN%20SISTEM%20RAWA%20BAMBU

Kamil, Idris M. dan Soemirat J. 1989. Kajian Konsumsi Air Bersih untuk Perkotaan Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum.

Reed, S.C., Middlebrooks, E.J., dan Crites, R.W. 1995. Natural Systems for Waste Management and Treatment. MacGraw-Hill, New York.


Sabli, T. E. 2011. Optimizing The Management of Domestic Waste Water by Artificial Swamp Technology, The 2nd International Workshop on South South Cooperation (SCC) for Sustainable Development in The Three Major Tropical Humid Regions in The Word. 4-8 October 2011, Pekanbaru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.