.

Jumat, 24 Februari 2017

TEKNOLOGI HIJAU

TEKNOLOGI HIJAU

Teknologi hijau adalah teknik untuk menghasilkan barang tanpa mencemari lingkungan sekitar. Di era industri ini, tidak sedikit perusahaan industri yang menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Jika dibiarkan saja, maka akan dapat menyebabkan bumi ini menjadi rusak. Oleh karena itu, teknologi hijau adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga lingkungan di bumi ini agar tidak rusak. Ruang lingkup teknologi hijau sangat luas, antara lain :
1.       Energi hijau
Kebutuhan energi di bumi masih sangat tergantung pada energi fosil. Energi fosil merupakan energi yang dihasilkan melalui proses yang sangat panjang. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa suatu hari nanti energi fosil akan habis dan jika umat manusia belum menemukan sumber energi lain sebagai pengganti energi fosil maka akan ada masa dimana planet bumi akan mengalami kelangkaan listrik, bahan bakar, dan hal lain yang berhubungan dengan energi fosil. 
Pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga kategori. Yang pertama adalah energi yang sudah dikembangkan secara komersial, seperti biomassa, panas bumi dan tenaga air. Yang kedua adalah energi yang sudah dikembangkan tetapi masih secara terbatas, yaitu energi surya dan energi angin. Dan yang terakhir adalah energi yang sudah dikembangkan, tetapi baru saja sampai pada tahap penelitian, seperti energi pasang surut.
·         Energi Biomassa
Energi ini berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya. Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan peternakan atau bahkan sampah. Energi ini mampu menghasilkan panas, membuat bahan bakar dan membangkitkan listrik. Menurut Manurung, setiap tahun terdapat sekitar 160 miliar ton biomassa dari areal pertanian dan 80 miliar ton dari areal perhutanan. Sebagai contoh, ampas tebu, sekam padi, batang dan tongkol jagung, pelepah dan tandan sawit, serta beragam limbah lainnya. Padahal jika diolah, 240 miliar ton biomassa itu setara dengan 60 ton BBM. Dari sektor perkebunan seperti industri teh, limbah biomassa yang diproduksi setiap tahun mencapai 5,8 miliar ton atau setara dengan 2,32 ton BBM. Sementara tahun ini diperkirakan ada sekitar 17,7 juta ton biomassa yang menjadi limbah penggilingan padi. Angka tersebut setara dengan 7,07 juta ton BBM, belum lagi yang tercatat dari sektor perhutanan. Jika teknologi pengolahan biomassa itu dikembangkan, bisa dihitung betapa besarnya penghematan yang bisa dilakukan. Sebagai contoh, pengeringan 124.500 ton teh membutuhkan biaya Rp 177miliar (Manurung, 2007). Energi biomassa ini pun telah mulai digunakan di sejumlah daerah, seperti Banjarmasin, beberapa wilayah di Sumatera serta NTB, khususnya untuk keperluan pembangkit listrik. Energi listik itu sendiri dihasilkan dari pembakaran limbah pada tungku pemanas.
·         Energi Bioetanol
Energi Bioethanol digunakan sebagai substitusi sebagian atau keseluruhan bahan bakar bensin. Bioethanol dapat dihasilkan dari tumbuhan yang mengandung hidrokarbon tinggi. Kelebihan energi bioethanol ini adalah mampu meningkatkan angka oktan pada bahan bakar sehingga dapat meningkatkan efisiensi kerja mesin modern. Keuntungan yang lain adalah rendahnya emisi gas berbahaya hasil pembakaran dari pada gas buang hasil pembakaran bensin. Bioetanal cukup potensial dikembangkan di Indonesia mengingat potensi lahan yang cukup luas untuk pengembangan bahan baku pembuatan etanol. Bioethanol merupakan etanol atau bahan alkohol hasil proses fermentasi. Bahan ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar yang disebut gasohol yang merupakan paduan dari gasoline dan alkohol. Gasohol merupakan campuran 90 persen bensin dan 10 persen bioetanol yang dikenal sebagai Gasohol BE 10. Hasil campuran bensin dan bioetanol menghasilkan emisi karbonmonoksida dan hidrokarbon yang lebih minim dibanding bensin premium yang beredar saat ini, juga dapat meningkatkan angka oktan sehingga menghasilkan jenis bensin baru yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan. Perkembangan bioetanol ini juga akan dapat menghemat devisa dari pengurangan impor premium. Disamping itu pengembangan bio ethanol dapat menggerakan sektor agribisnis dan ketenagakerjaan serta memberikan nilai tambah produksi (Manurung, 2007).
·         Energi Biodiesel
Biodiesel adalah bahan kimia yang dipakai sebagai chemical additive untuk minyak diesel atau sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena berasal dari minyak tumbuh-tumbuhan. Bio diesel dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewani, ganggang atau bahkan minyak goreng bekas sebagai bahan bakar kendaraan. Namun bila diproduksi dalam skala besar akan meningkatkan beban lingkungan karena budidaya monokultur atau perkebunan dengan satu jenis tanaman dapat mengurangi produktivitas lahan serta mengganggu keseimbangan ekosistem. Kelemahan penggunaan biodiesel atau ethanol murni sebagai bahan bakar kendaraan adalah perlu modifikasi pada mesin karena ethanol dan biodiesel antara lain akan bereaksi dengan karet dan plastik konvensional.
·         Energi Biogas
Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion. Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil (Agung Pambudi, 2008). Biogas adalah campuran gas-gas dari biomasa yang dihasilkan dan menggunakan bakteri melalui proses fermentasi bahan organik dalam keadaan anaerob (tanpa oksigen). Dalam keadaan hangat, basah dan kurang udara maka bakteri akan mencerna bahan organik dan akan menghasilkan gas methan yang mudah terbakar. Proses ini memiliki kemampuan untuk mengolah sampah/limbah yang keberadaanya melimpah dan tidak bermanfaat menjadi produk yang lebih bernilai.
·         Energi Sampah
Sampah di Indonesia diperkirakan hanya mempunyai nilai kalor 1.000-2000 kkal/kg dan jauh dibawah LHV biomass yang 15-20 MJ/kg. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa nilai kalor sampah di Indonesia mencapai adalah 3.000-4.000 kkal/kg. Menurut prediksi harga listrik dari sampah dapat dijual ke PLN adalah Rp 400/kWh. Teknologi yang dijadikan rujukan oleh Indonesia adalah teknologi dari China. Pada bulan Desember 1998, China (Shanghai Pudong City Heat Energy) membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTsa) dengan kapasitas 35-40 MWh. Dengan nilai investasi 670 juta yuan (87 juta $) dapat mengolah sampah 1.100-1.200 ton sampah/hari. Hitungan kasar ini adalah 1 ton sampah perhari menghasilkan listrik 31.8 kWh dengan biaya investasi 2.5 juta $ (Rp 24 ) per MW ha tau 79 ribu $ perton sampah. Dengan demikian sampah akan menjadi salah satu sumberdaya berharga untuk bisnis masa depan. Selain teknologi, aspek ke-ekonomian, tentu peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat-sangat dibutuhkan untuk menciptakan kota/desa yang bersih. Di Indonesia PT PLN bersama Pemerintah Kabupaten Bandung membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTS), merupakan project pertama di Indonesia, dimana sampah sebagai bahan baku pembangkit energi (Widiono, 2007).
·         Energi angin
Potensi energi angin di Indonesia secara umum kecil, karena kecepatan angin pada umumnya rendah yaitu 3-5 m/detik. Akan tetapi, hal ini sudah memadai untuk pembangkit listrik skala kecil. Untuk skala pedesaan, tenaga angin dapat menghasilkan 0,5 MW.
·         Energi Air
Indonesia mempunyai sungai dan air terjun sangat banyak yang berpotensi besar tenaga air. Secara teoritis, tenaga air diperkirakan mencapai 75.000 MW. Potensi tenaga air bervariasi dari 200 kW sampai dengan 10 MW, yang diupayakan dari tenaga air yang memutar turbin/kincir pembangkit.
·         Energi Panas Bumi
Indonesia merupakan daerah vulkanik, potensi panas bumi terdapat di sepanjang pulau Sumatra, Jawa-Bali, NTT, NTB, menuju laut Banda, Halmahera dan Sulawesi. Penelitian menunjukkan bahwa sepanjang jalur tersebut terdapat 70 daerah sumber energi panas bumi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dengan potensial total sebesar 19.658 MW. Namun pengembangan panas bumi ini masih terhambat terutama karena jarak sumber panas yang jauh dari pusat pengguna dan sebagian berada di kawasan hutan lindung (Menurut Undang-Undang No. 5/1990 tidak dibenarkan untuk eksploitasi).
2.       Bangunan Hijau
Proses pembangunan yang dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan penghematan energi serta dampak terhadap lingkungan mulai dari lokasi bangunan, kontruksi, perawatan, renovasi, serta reruntuhan bangunan selama bangunan tersebut masih berdiri. Bangunan hijau sudah banyak di aplikasikan oleh berbagai negara di dunia baik negara maju maupun negara berkembang.
Suatu bangunan dapat disebut sudah menerapkan konsep bangunan hijau apabila berhasil melalui suatu proses evaluasi tersebut tolak ukur penilaian yang dipakai adalah Sistem Rating. Sistem Rating adalah suatu alat yang berisi butir-butir dari aspelk yang dinilai yang disebut rating dan setiap butir rating mempunyai nilai. Apabila suatu bangunan berhasil melaksanakan butir rating tersebut, maka mendapatkan nilai dari butir tersebut. Kalau jumlah semua nilai yang berhasil dikumpulkan bangunan tersebut dalam melaksanakan Sistem Rating tersebut mencapai suatu jumlah yang ditentukan, maka bangunan tersebut dapat disertifikasi pada tingkat sertifikasi tersebut. Sistem Rating dipersiapkan dan disus;un oleh Green Building Council yang ada di negara-negara tertentu yang sudah mengikuti gerakan bangunan hijau. Setiap negara tersebut mempunyai Sistem Rating masing-masing. Sebagai contoh : USA mempunyai LEED Rating (Leadership Efficiency Environment Design).
Ada 6 (enam) aspek yang menjadi pedoman dalam evaluasi penilaian Green Building 
-          Tepat Guna Lahan (Approtiate Site Development / ASD)
-          Efisiensi dan Konservasi Energi (Energy Efficiency & Conservation / EEC)
-          Konservasi Air (Water Conservation / WAC)
-          Sumber dan Siklus Material (Material Resource and Cycle / MRC)
-          Kualitas Udara & Kenyamanan Ruang (Indoor Air Health and Comfort / IHC)
-          Manajemen Lingkungan Bangunan (Building and Environment Management / BEM)

3.       Kimia Hijau
Proses meminimasi penggunaan dan pembuatan senyawa- senyawa kimia berbahaya. Selain itu, kimia hijau juga memiliki tujuan lain seperti mencegah atau mengurangi pencemaran lingkungan. Dalam dunia industri, bahan-bahan pendukung untuk memproduksi suatu barang, misalkan alat-alat dapur. Ada bahan kimia yang di pakai untuk membantu proses produksi, dan bahan kimia tersebut memiliki campuran-campuran kimia yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia yang menggunakan barang yang di produksi.
Ada 12 prinsip kimia hijau menurut Anastas dan Warner :
-          Mencegah timbulnya limbah
-          Mendesain produk bahan kimia yang aman
-          Mendesain proses sintesis yang aman
-          Menggunakan bahan baku yang terbarukan
-          Menggunakan katalis
-          Menghindari derivatisasi dan modifikasi sementara dalam reaksi kimia
-          Memaksimalkan atom ekonomi
-          Menggunakan pelarut yang aman
-          Meningkatkan efisiensi energi dalam reaksi
-          Mendesain bahan kimia yan mudah terdegradasi
-          Penggunaan metode analisis secara langsung untuk mengurangi polusi
-          Meminimalisasi potensi kecelakaan
4.       Nanoteknologi Hijau
Teknologi nano hijau memiliki dua tujuan utama: memproduksi material nano tanpa merusak lingkungan dan kesehatan manusia, dan memproduksi produk nano untuk menyelesaikan masalah lingkungan. Teknologi ini memanfaatkan prinsip kimia hijau dan teknologi hijau untuk membuat material nano dan produk nano tanpa bahan beracun, menggunakan energi yang lebih sedikit, mengkonsumsi sumber daya yang dapat diperbarui jika memungkinkan, dan menggunakan pola pikir siklus (produksi-pakai-daur ulang) dalam segala tahap desain dan keteknikannya.  Teknologi nano hijau juga berarti penggunaan teknologi nano untuk membuat proses manufaktur untuk material dan produk bukan nano dan diproduksi secara ramah lingkungan. Seperti contoh, membran sintetis berukuran nano mampu memisahkan hasil reaksi kimia dengan mudah sehingga produk bisa lebih bersih tanpa menggunakan banyak energi atau katalis konvensional yang berpotensi menambah limbah, seperti pada proses kimia konvensional.


Referensi :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.