AGROKIMIA DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN
Disusun oleh : Hafiz Zurrohmansyah (@R11-Hafiz)
Abstrak
Industri pertanian dalam memproduksi hasilnya
mempunyai peranan aktif pada rantai kebutuhan pangan manusia. Dengan begitu
industri agrokimia akan semakin meningkat dalam memproduksi bahan agrokimia
yang membantu meningkatkan hasil produksi industri pertanian. Namun, penggunaan
bahan agrokimia telah salah dalam penerapannya dan pemakaiannya yang
menyebabkan kerugian terhadap lingungan serta manusia.
Bahan agrokimia ini yang seharusnya bermanfaat untuk membantu
meningkatkan hasil produksi, namun sangat disayangkan malah menjadi bumerang.
Karena bahan aktif pada agrokimia inilah yang membuat kerugian-kerugian seperti
gejala neurotoksik, hilangnnya nitrogen pada tanah, memicu banyaknya logam
berat pada tanah, peptisida yang menjadi pengganggu kesehatan manusia dan
lingkungan.
Maka dari itu dibutuhkan pemahaman sehingga dapat mengetahui
manfaat dan bahaya bahan agrokimia, yang nantinya akan menjadi bekal untuk
penerapannya yang baik dan benar. Dalam memberi pemahaman diperlukannya upaya
ancaman dari bahan agrokimia agar dapat memperbaiki dan membenahi kondisi
rusaknya lingkungan akibat bahan agrokimia.
Kata kunci :
neurotoksik, peptisida, pupuk, agrokimia
Pendahuluan
Dalam mendukung hasil-hasil pertanian,
penggunaan agrokimia belum dapat sepenuhnya ditinggalkan dalam aktivitas
agronomi tetap saja masih memerlukan sentuhan bahan kimia pupuk, herbisida,
pestisida dan sejenisnya. Penggunaan bahan kimia tadi masih tetap menjadi
pertimbangan sehubungan dengan efisiensi produksi. Kini penggunaan
bahan agrokimia pada industri agrokimia sangat berkembang pesat,
Namun, masih terdapat dampaknya terhadap lingkungan. Sumber pencemaran dapat
berupa residu bahan agrokimia, seperti pupuk dan peptisida yang penggunaannya
cenderung berlebihan serta limbah industri yang menggunakan bahan kimia
tertentu dengan pengelolaan limbahnya yang kurang baik. penggunaannya yang
berlebihan dan tidak tepat sasaran dapat menyebabkan berbagai permasalahan
diantaranya keracunan tanaman, timbulnya resistensi hama, serta tercemarnya
tanah dan air. Selain pencemaran lingkungan, pengaruh cemaran agrokimia ini
juga memberikan dampak negatif terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.
Untuk itu perlunya pengawasan pada
kemungkinannya terjadi pencemaran lingkungan karena bahan agrokimia dan limbah
industri. Maka sangat diperlukan pembahasan informasi mengenai bahan agrokimia
dan potensi pencemarannya terhadap lingkungan dalam upaya memberikan pemahaman
seputar agrokimia. dengan informasi tersebut, upaya untuk mengatasinya.
Permasalahan
Pada industri pertanian, penggunaan bahan agrokimia secara tidak
langsung berdampak penting pada peningkatan hasil pertanian. Namun demikian,
pengunaan bahan agrokimia secara terus menerus justru mengakibatkan pencemaran
pada tanah pertanian. Selain lingkungan, pengunaan bahan agrokimia juga
berdampak langsung pada kesehatan manusia, salah satunya adalah dapat
menimbulkan efek neurobehavioral (NB) atau lebih dikenal dengan gejala
neurotoksik.
Terdapat pokok masalah yang menjadi pusat pembahasan :
1. Gejala apa yang terjadi pada efek dari neurotoksik
2. Adanya kandungan logam berat pada bahan agrokimia
3. Potensi hilangnya Nitrogen (N) dari sistem tanah-tanaman
4. Mengenal lebih dalam mengenai peptisida dan dampaknya pada
lingkungan
5. Upaya menurunkan pengaruh buruk bahan agrokimia terhadap
lingkungan
Pembahasan
1. Gejala dari
neurotoksik
Penggunaan pestisida yang cukup besar ini memberikan dampak besat
terhadap kesehatan seperti terjadinya gejala neurotoksik. Gejala neurotoksik
atau sering dikenal dengan efek NB \termasuk kedalam sepuluh penyakit terbanyak
yang berhubungan dengan tempat kerja di Amerika Serikat. Pajanan terhadap zat
racun seperti timbal, pestisida, pelarut organik dan insektisida di tempat
kerja dianggap berkontribusi dalam perkembangan terjadinya efek NB.
Di Indonesia, permasalahan ini belum terlalu menjadi perhatian
yang serius, namun Asosiasi Industri Perlindungan Tanaman Indonesia (AIPTI)
mengemukakan dari 1.000 petani hanya 1% petani yang menerapkan pola pemakaian
pestisida secara benar. Penerapan pemakaian pestisida yang tidak benar inilah
yang nantinya menyebabkan terjadinya berbagai gangguan kesehatan, hingga
terjadinya gangguan neurotoksik. Kebiasaan petani dalam mencampur beberapa
pestisida (> 4 pestisida) dalam satu kali penyemprotan turut memperkuat
terjadinya gejala neurotoksik. Serta Kebiasaan petani yang tidak menggunakan
APD terutama sarung tangan, dan masker dalam melakukan kegiatan penyemprotan
dan pencampuran diduga juga dapat berpotensi pestisida dapat masuk kedalam
tubuh petani melalui inhalasi dan ingesti. Maka dari itu penggunaan dan
penerapan peptisida yang salah pada petani mengakibatkan gejala neurotoksik, dengan
begitu sangat diperlukan pemahaman mengenai pemakaian peptisida yang baik dan
benar demi keberlangsungan para petani.
2. Adanya
kandungan logam berat pada bahan agrokimia
Permasalahan logam berat pada tanah pertanian di Indonesia sudah
banyak dilaporkan, namun belum sampai pada tingkat membahayakan. Meskipun
sektor industri berkontribusi besar dalam pencemaran lingkungan oleh logam
berat, namun peranan sektor pertanian tidak dapat dikesampingkan. Kandungan
logam berat dalam tanah, tanaman, dan air, kandungan logam berat dalam pupuk
juga perlu mendapat perhatian. Sebagai gambaran logam berat dalam pupuk dapat
dilihat informasi dari California Department of Food and Agriculture (1998)
yang menunjukkan bahwa pupuk mineral maupun pabrikasi mengandung logam berat.
Penggunaan pupuk yang berlebihan dapat memicu kelebihan penggunaan
logam berat dalam tanah. Selain itu kualitas pupuk seperti pupuk organik sangat
bervariasi berdasarkan sumber bahan bakunya sehingga kemungkinan mengandung
logam berat tinggi bisa terjadi terutama yang menggunakan bahan baku limbah.
Untungnya Saat ini kriteria logam berat dalam pupuk sudah diatur dalam
Permentan No. 43/Permentan/SR.140/8/2011. Kandungan logam berat yang
dipersyaratkan dalam pupuk adalah maksimal mengandung As = 100 ppm, Hg = 10
ppm, Cd = 100 ppm, dan Pb = 500 ppm. Sedangkan kriteria logam dalam tanah
adalah spesifik lokasi sesuai dengan kondisi tanah dan pengunaan lahannya.
3. Potensi hilangnya Nitrogen (N) dari sistem tanah-tanaman
Penggunaan pupuk N berlebihan terhadap tanaman mengakibatkan banyak dampak negatif seperti pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dan sukulen. Hal ini menyebabkan konsumsi berlebihan (luxury consumption) unsur N, lodging, dan rapuhnya jaringan tanaman. Secara fisiologis terdapat penurunan kadar gula, melambatnya kematangan tanaman sehingga tanaman menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit dan serangan OPT (Rechcighl 1995). Hingga nantinya akan mempengaruhi berbagai proses kimia dalam tanah dan menyebabkan tanaman menjadi lunak, tidak tegak sehingga intensitas cahaya selama pematangan tidak optimal dan akibatnya suplai unsur hara menjadi tidak seimbang.
4. Mengenal lebih dalam mengenai peptisida dan dampaknya
pada lingkungan
Bahan utama penyusun pestisida adalah persistent
organic pollutants (POPs) yang diketahui resisten di lingkungan, terakumulasi
di dalam tubuh makhluk hidup, dan memiliki toksisitas yang tinggi (Rodan et al.
1999). Berdasarkan pedoman penggunaan pestisida yang dikeluarkan oleh Ditjen
PSP 2011, terdapat 39 jenis bahan aktif pestisida yang dilarang beredar di
Indonesia. Pestisida menjadi berbahaya karena efek sampingnya seperti
tertinggal dalam tanaman, masuk ke dalam bahan makanan dan pencernaan makhluk
hidup, terbawa air dan terbang lewat udara (Madhun dan Freed 1990).
Madhun dan Freed (1990) merangkum berbagai pengaruh pestisida
terhadap tanah dan air hampir semua jenis pestisida dapat terangkut dalam
residu tanaman kecuali kelompok organophosphate, carbonate, dan pyrethroid yang
memiliki umur pendek. Pengaruh negatif pestisida untuk tanaman yang sensitif
adalah tanda pematangan yang cepat dan tidak beraturan, kehilangan biomassa dan
kematian tanaman (Wild 1993). Tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari residu
pestisida dipengaruhi oleh jenis bahan aktif, tingkat kelarutan, dan kondisi
lingkungan saat pestisida diberikan. (Weber dan Miller 1989) mengatakan Proses
transformasi pestisida dalam tanah. Bahwa pestisida yang masuk ke dalam tanah
akan melalui 7 proses yaitu:
1. volatilisasi ke atmosfir tanpa perubahan kimia
diadsorpsi tanah
3. hilang melalui leaching
4. bereaksi secara kimia di dalam tanah maupun permukaan tanah
5. dapat dirombak oleh mikroorganisme
6. terbawa erosi dan run-off ke aliran sungai
7. masuk jaringan tanaman dan juga hewan melalui rantai makanan
Bahaya pestisida jiki sudah memasuki rantai makanan dan sangat
membahayakan kesehatan. Untuk itu, selain perbaikan dari aspek legal penggunaan
pestisida, teknologi yang tepat dan mampu mereduksi tingkat toksisitas residu
pestisida tersebut baik di tanah dan air agar tidak mencemari bahan makanan
sangat dibutuhkan.
5. Upaya menurunkan pengaruh buruk bahan agrokimia terhadap
lingkungan
Dalam waktu yang kian berjalan populasi manusia kian bertambah,
maka kebutuhan akan pangan menjadi sasaran utama industri pertanian untuk
meningkatkan hasilnya dalam memproduksi pangan. Namun sejalan dengan kebutuhan
pangan yang semakin banyak terdapat juga kebutuhan bahan agrokimia seperti
pupuk dan pestisida kian hari semakin bertambah. Upaya mengembalikan lahan
pertanian menjadi pertanian organik merupakan salah satu alternatif pendekatan
untuk menghindari penggunaan bahan agrokimia. Namun demikian, kebutuhan pangan
yang sangat besar tersebut tentu merupakan prioritas utama untuk dipenuhi.
Produksi pangan dari pertanian organik belum mampu memenuhi
kebutuhan pangan secara nasional. Oleh karena itu, sangat diperlukan dukungan
teknologi pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan agar dampak negatifnya
dapat diminimalisir namun target outputnya tetap tercapai. Berikut beberapa
pendekatan pengelolaan pertanian ramah lingkungan terkait pupuk dan pestisida
diuraikan sebagai berikut:
5.1 Pengelolaan unsur hara dan teknologi pemupukan
Pengelolaan unsur hara di lahan pertanian merupakan salah satu
cara mengatasi permasalahan pupuk. Pemberian pupuk yang tepat sesuai dengan
kebutuhan tanaman dan status hara tanah merupakan kunci pengelolaan unsur hara
pada lahan pertanian. Pengetahuan tentang cara pemupukan, waktu pemberian,
dosis pupuk, jenis pupuk dan memperhitungkan kebutuhan setiap jenis tanaman
merupakan kunci pengelolaan hara.
Teknologi yang dapat membantu meningkatkan efisiensi pupuk adalah
dengan menggunakan pupuk yang memiliki efisiensi tinggi seperti penggunaan
pupuk slow release. Pupuk slow release adalah pupuk yang dapat melepas unsur
hara secara lambat. Pupuk slow release dapat berupa pupuk yang dicoating dengan
polimer nano, bahan mineral alami seperti zeolite, gypsum atau membran, teknik enkapsulasi,
atau dengan menjadikan pupuk berbentuk tablet/kapsul yang cukup besar sehingga
pupuk tersebut dapat bertahan cukup lama sebelum habis secara perlahan.
Penggunaan pupuk slow release ini dapat menghemat kebutuhan pupuk.
5.2 Pemulihan lahan tercemar
Metode reklamasi tanah tercemar secara umum dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu insitu treatment dan exsitu treatment baik secara fisik,
kimia maupun biologi. Metode insitu diantaranya adalah dengan menggunakan
karbon aktif, mencuci air buangan, heat treatment air buangan, mengeluarkan
logam berat, dan kontaminan lainnya, membersihkan air tanah dengan karbon
aktif, metode biologi (bioremediasi), dan prosedur khusus seperti menggunakan
tanaman toleran logam berat (fitoremediasi) serta enkapsulasi.
5.3 Bioremediasi
Bioremediasi adalah teknik pemulihan lahan tercemar dengan
memanfaatkan bakteri dan jamur dalam tanah untuk mendegradasi kontaminan
sehingga menjadi bahan tidak berbahaya. Proses bioremediasi ini sangat
ditentukan oleh mikroba alami yang terdapat dalam tanah.
5.4 Fitoremediasi
Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan,
penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan
menggunakan bantuan tanaman (Chussetijowati et al. 2009). Dalam fitoremediasi
terdapat 2 mekanisme utama yaitu:
1) akar tanaman dapat mengambil polutan dari dalam tanah
2) dengan menggunakan tanaman pembersih yang dikenal dengan
istilah pemacu fitoremediasidi rizosfir. Dalam metode kedua, tanaman tidak
mengambil kontaminan tetapi akar tanaman mengeluarkan enzim (komponen karbon
tanah) sebagai sumber hara untuk meningkatkan aktivitas mikroba pendegradasi
Banyak jenis tanaman yang sangat efektif dalam fitoremediasi tanah
tercemar logam berat seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum) (Toulousia
2008) dan eceng gondok (Eichhornia Crassipes (Mart.) Solms (Syahputra 2005).
Menurut Anonim dalam Hardiani (2009), Dahlia sp. dan Helianthus annus
(Compositae) juga diketahui memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam Cr
dengan kuantitas yang hampir sama dengan beberapa tanaman Brassicaceae sp yaitu
sebesar 167 -196 mg/g.
Kesimpulan
Upaya mewujudkan lahan pertanian yang ramah
lingkungan dan memiliki produktivitas yang tinggi memerlukan perhatian khusus
dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Degradasi lahan akibat ketidakseimbangan
unsur hara dalam tanah dan pencemaran lingkungan pertanian merupakan isu
penting terkait dengan pertanian. Kekurangan satu atau beberapa jenis unsur
hara dalam tanah menyebabkan unsur tersebut menjadi faktor pembatas produksi
pertanian. Sebaliknya kelebihan unsur hara dalam tanah menyebabkan sifat toksik
bagi tanaman dan inefisiensi karena banyak pupuk yang hilang.
Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan menjadi
pencetus berbagai masalah lingkungan antara lain terjadinya pencemaran tanah
dan badan air. Bahan aktif pestisida yang sukar dirombak melalui proses kimia
dan biologi pada akhirnya akan diserap kembali oleh tanaman dan terakumulasi
dalam tubuh manusia dan hewan.
Berbagai teknologi pemulihan lahan tercemar bahan agrokimia
tersebut dapat dilakukan dengan pengelolaan unsur hara, pemulihan secara kimia,
fisika, bioremediasi, dan fitoremediasi. Oleh karena itu, penerapan sistem
pertanian bio industri dan terintegrasi dengan ternak merupakan salah satu
alternatif dalam meningkatan produksitivitas lahan serta menurunkan risiko
pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Daftar Pustaka
Bahan, I. P. Pencemaran Bahan Agrokimia Perlu
Diwaspadai.
Husnain, N. D., & Purnomo, J. (2014).
Penggunaan bahan agrokimia dan dampaknya terhadap pertanian ramah lingkungan.
h. 7-46. Buku Pengelolaan Lahan
pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Balai Penelitian
Tanah BBLSDLP-Kementerian Pertanian, Bogor.
IRA, D. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala
Neurotoksik Pada Petani Penyemprot Tanaman Sayuran Dengan Pestisida Di
Kenagarian Alahan Panjang Kabupaten Solok Tahun 2016 (Doctoral dissertation, Universitas
Andalas).
Sulistinah, N., Antonius, S., & Rahmansyah,
M. (2016). Pengaruh Residu Pestisida Terhadap Pola Populasi Bakteri dan Fungi
Tanah di Rumahkaca. Jurnal
Teknologi Lingkungan, 12(1), 43-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.