.

Minggu, 01 November 2020

AGROKIMIA DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN

 

AGROKIMIA DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN DAN KESEHATAN

Disusun oleh : Hafiz Zurrohmansyah (@R11-Hafiz)


 Abstrak

Industri pertanian dalam memproduksi hasilnya mempunyai peranan aktif pada rantai kebutuhan pangan manusia. Dengan begitu industri agrokimia akan semakin meningkat dalam memproduksi bahan agrokimia yang membantu meningkatkan hasil produksi industri pertanian. Namun, penggunaan bahan agrokimia telah salah dalam penerapannya dan pemakaiannya yang menyebabkan kerugian terhadap lingungan serta manusia.

Bahan agrokimia ini yang seharusnya bermanfaat untuk membantu meningkatkan hasil produksi, namun sangat disayangkan malah menjadi bumerang. Karena bahan aktif pada agrokimia inilah yang membuat kerugian-kerugian seperti gejala neurotoksik, hilangnnya nitrogen pada tanah, memicu banyaknya logam berat pada tanah, peptisida yang menjadi pengganggu kesehatan manusia dan lingkungan.

Maka dari itu dibutuhkan pemahaman sehingga dapat mengetahui manfaat dan bahaya bahan agrokimia, yang nantinya akan menjadi bekal untuk penerapannya yang baik dan benar. Dalam memberi pemahaman diperlukannya upaya ancaman dari bahan agrokimia agar dapat memperbaiki dan membenahi kondisi rusaknya lingkungan akibat bahan agrokimia.

Kata kunci : neurotoksik, peptisida, pupuk, agrokimia

Pendahuluan

Dalam mendukung hasil-hasil pertanian, penggunaan agrokimia belum dapat sepenuhnya ditinggalkan dalam aktivitas agronomi tetap saja masih memerlukan sentuhan bahan kimia pupuk, herbisida, pestisida dan sejenisnya. Penggunaan bahan kimia tadi masih tetap menjadi pertimbangan sehubungan dengan efisiensi produksi. Kini penggunaan bahan agrokimia pada industri agrokimia  sangat berkembang pesat, Namun, masih terdapat dampaknya terhadap lingkungan. Sumber pencemaran dapat berupa residu bahan agrokimia, seperti pupuk dan peptisida yang penggunaannya cenderung berlebihan serta limbah industri yang menggunakan bahan kimia tertentu dengan pengelolaan limbahnya yang kurang baik. penggunaannya yang berlebihan dan tidak tepat sasaran dapat menyebabkan berbagai permasalahan diantaranya keracunan tanaman, timbulnya resistensi hama, serta tercemarnya tanah dan air. Selain pencemaran lingkungan, pengaruh cemaran agrokimia ini juga memberikan dampak negatif terhadap manusia dan makhluk hidup lainnya.

Untuk itu perlunya pengawasan pada kemungkinannya terjadi pencemaran lingkungan karena bahan agrokimia dan limbah industri. Maka sangat diperlukan pembahasan informasi mengenai bahan agrokimia dan potensi pencemarannya terhadap lingkungan dalam upaya memberikan pemahaman seputar agrokimia. dengan informasi tersebut, upaya untuk mengatasinya.

 

Permasalahan

Pada industri pertanian, penggunaan bahan agrokimia secara tidak langsung berdampak penting pada peningkatan hasil pertanian. Namun demikian, pengunaan bahan agrokimia secara terus menerus justru mengakibatkan pencemaran pada tanah pertanian. Selain lingkungan, pengunaan bahan agrokimia juga berdampak langsung pada kesehatan manusia, salah satunya adalah dapat menimbulkan efek neurobehavioral (NB) atau lebih dikenal dengan gejala neurotoksik.

Terdapat pokok masalah yang menjadi pusat pembahasan :

1. Gejala apa yang terjadi pada efek dari neurotoksik

2. Adanya kandungan logam berat pada bahan agrokimia

3. Potensi hilangnya Nitrogen (N) dari sistem tanah-tanaman

4. Mengenal lebih dalam mengenai peptisida dan dampaknya pada lingkungan

5. Upaya menurunkan pengaruh buruk bahan agrokimia terhadap lingkungan

 

Pembahasan

1. Gejala dari neurotoksik

 Gejala neurotoksik didefenisikan sebagai gangguan secara fungsional pada saraf, baik sistem saraf pusat maupun sistem saraf tepi yang diakibatkan oleh paparan bahan kimia. Ganguan ini mengakibatkan perubahan pada memori, attention, mood, disorientasi, penyimpangan berfikir, serta perubahan somatik, sensorik, dan fungsi kognitif sebagai efek neurotoksik akibat penggunaan neurotoksikan. Pada beberapa kasus, perubahan ini akan menghasilkan gejala-gejala yang mudah diidentifikasi sebagai gangguan saraf seperti lelah berlebihan, insomnia, pusing, sulit berkonsentrasi, sering merasakan jantung berdebar tanpa adanya melakukan kegiatan/tekanan, serta sakit kepala secara terus menerus lebih dari satu minggu.

Penggunaan pestisida yang cukup besar ini memberikan dampak besat terhadap kesehatan seperti terjadinya gejala neurotoksik. Gejala neurotoksik atau sering dikenal dengan efek NB \termasuk kedalam sepuluh penyakit terbanyak yang berhubungan dengan tempat kerja di Amerika Serikat. Pajanan terhadap zat racun seperti timbal, pestisida, pelarut organik dan insektisida di tempat kerja dianggap berkontribusi dalam perkembangan terjadinya efek NB.

Di Indonesia, permasalahan ini belum terlalu menjadi perhatian yang serius, namun Asosiasi Industri Perlindungan Tanaman Indonesia (AIPTI) mengemukakan dari 1.000 petani hanya 1% petani yang menerapkan pola pemakaian pestisida secara benar. Penerapan pemakaian pestisida yang tidak benar inilah yang nantinya menyebabkan terjadinya berbagai gangguan kesehatan, hingga terjadinya gangguan neurotoksik. Kebiasaan petani dalam mencampur beberapa pestisida (> 4 pestisida) dalam satu kali penyemprotan turut memperkuat terjadinya gejala neurotoksik. Serta Kebiasaan petani yang tidak menggunakan APD terutama sarung tangan, dan masker dalam melakukan kegiatan penyemprotan dan pencampuran diduga juga dapat berpotensi pestisida dapat masuk kedalam tubuh petani melalui inhalasi dan ingesti. Maka dari itu penggunaan dan penerapan peptisida yang salah pada petani mengakibatkan gejala neurotoksik, dengan begitu sangat diperlukan pemahaman mengenai pemakaian peptisida yang baik dan benar demi keberlangsungan para petani.

 2. Adanya kandungan logam berat pada bahan agrokimia

         Logam berat (heavy metal) terdapat secara alami di alam. Logam berat yang terdapat dalam batuan ultramafic dan mafic adalah cadmium (Cd), kromium (Cr), kobalt (Co), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan yodium (I), sedangkan yang umum terdapat dalam batuan asam dan intermediet adalah barium (Ba), molibdenum (Mo), timbal (Pb), timah (Sn), uranium (U), tungsten (W: wolframium), dan seng (Zn) (Kabata-Pendias et al. 1993). Logam berat juga dapat berasal dari pupuk dan sumber lain yang mencemari lahan pertanian.

Permasalahan logam berat pada tanah pertanian di Indonesia sudah banyak dilaporkan, namun belum sampai pada tingkat membahayakan. Meskipun sektor industri berkontribusi besar dalam pencemaran lingkungan oleh logam berat, namun peranan sektor pertanian tidak dapat dikesampingkan. Kandungan logam berat dalam tanah, tanaman, dan air, kandungan logam berat dalam pupuk juga perlu mendapat perhatian. Sebagai gambaran logam berat dalam pupuk dapat dilihat informasi dari California Department of Food and Agriculture (1998) yang menunjukkan bahwa pupuk mineral maupun pabrikasi mengandung logam berat.

Penggunaan pupuk yang berlebihan dapat memicu kelebihan penggunaan logam berat dalam tanah. Selain itu kualitas pupuk seperti pupuk organik sangat bervariasi berdasarkan sumber bahan bakunya sehingga kemungkinan mengandung logam berat tinggi bisa terjadi terutama yang menggunakan bahan baku limbah. Untungnya Saat ini kriteria logam berat dalam pupuk sudah diatur dalam Permentan No. 43/Permentan/SR.140/8/2011. Kandungan logam berat yang dipersyaratkan dalam pupuk adalah maksimal mengandung As = 100 ppm, Hg = 10 ppm, Cd = 100 ppm, dan Pb = 500 ppm. Sedangkan kriteria logam dalam tanah adalah spesifik lokasi sesuai dengan kondisi tanah dan pengunaan lahannya.

3. Potensi hilangnya Nitrogen (N) dari sistem tanah-tanaman


Potensi cemaran lingkungan dari pupuk umumnya berasal dari sumber pupuk N dan P. Kelebihan pupuk N dalam tanah akan menyebabkan banyak N hilang baik melalui volatilisasi, run-off, dan leaching. Kehilangan N ini umumnya setelah pupuk N mengalami perubahan bentuk menjadi nitrat (NO3), nitrit (NO2), dan ammonia (NH4) (Rechcigl 1995). Efisiensi penggunaan pupuk oleh tanaman juga merupakan hal krusial dalam pengelolaan hara N. Brentrup et al. (2004) menyebutkan bahwa efisiensi N merupakan indikator utama dalam menilai kualitas lingkungan pertanian. . Di Indonesia, Widowati et al. (2011) menghitung efisiensi N pada lahan sayuran umumnya lebih rendah dari 20%. Rendahnya tingkat efisiensi pupuk N menyebabkan banyaknya N yang hilang dari tanah. Di lahan sawah intensifikasi, perhitungan neraca hara menunjukkan bahwa kehilangan N sebesar 147 kg/ha hilang terbawa melalui panen dan 29 kg/ha hilang melalui denitrifikasi, volatilisasi, dan pencucian.

Penggunaan pupuk N berlebihan terhadap tanaman mengakibatkan banyak dampak negatif seperti pertumbuhan vegetatif yang berlebihan dan sukulen. Hal ini menyebabkan konsumsi berlebihan (luxury consumption) unsur N, lodging, dan rapuhnya jaringan tanaman. Secara fisiologis terdapat penurunan kadar gula, melambatnya kematangan tanaman sehingga tanaman menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit dan serangan OPT (Rechcighl 1995). Hingga nantinya akan mempengaruhi berbagai proses kimia dalam tanah dan menyebabkan tanaman menjadi lunak, tidak tegak sehingga intensitas cahaya selama pematangan tidak optimal dan akibatnya suplai unsur hara menjadi tidak seimbang.

 4. Mengenal lebih dalam mengenai peptisida dan dampaknya pada lingkungan



Bahan utama penyusun pestisida adalah persistent organic pollutants (POPs) yang diketahui resisten di lingkungan, terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup, dan memiliki toksisitas yang tinggi (Rodan et al. 1999). Berdasarkan pedoman penggunaan pestisida yang dikeluarkan oleh Ditjen PSP 2011, terdapat 39 jenis bahan aktif pestisida yang dilarang beredar di Indonesia. Pestisida menjadi berbahaya karena efek sampingnya seperti tertinggal dalam tanaman, masuk ke dalam bahan makanan dan pencernaan makhluk hidup, terbawa air dan terbang lewat udara (Madhun dan Freed 1990).

Madhun dan Freed (1990) merangkum berbagai pengaruh pestisida terhadap tanah dan air hampir semua jenis pestisida dapat terangkut dalam residu tanaman kecuali kelompok organophosphate, carbonate, dan pyrethroid yang memiliki umur pendek. Pengaruh negatif pestisida untuk tanaman yang sensitif adalah tanda pematangan yang cepat dan tidak beraturan, kehilangan biomassa dan kematian tanaman (Wild 1993). Tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari residu pestisida dipengaruhi oleh jenis bahan aktif, tingkat kelarutan, dan kondisi lingkungan saat pestisida diberikan. (Weber dan Miller 1989) mengatakan Proses transformasi pestisida dalam tanah. Bahwa pestisida yang masuk ke dalam tanah akan melalui 7 proses yaitu:

1.     volatilisasi ke atmosfir tanpa perubahan kimia

      diadsorpsi tanah

3.      hilang melalui leaching

4.      bereaksi secara kimia di dalam tanah maupun permukaan tanah

5.      dapat dirombak oleh mikroorganisme

6.      terbawa erosi dan run-off ke aliran sungai

7.      masuk jaringan tanaman dan juga hewan melalui rantai makanan

Bahaya pestisida jiki sudah memasuki rantai makanan dan sangat membahayakan kesehatan. Untuk itu, selain perbaikan dari aspek legal penggunaan pestisida, teknologi yang tepat dan mampu mereduksi tingkat toksisitas residu pestisida tersebut baik di tanah dan air agar tidak mencemari bahan makanan sangat dibutuhkan.

5. Upaya menurunkan pengaruh buruk bahan agrokimia terhadap lingkungan

        
Dalam waktu yang kian berjalan populasi manusia kian bertambah, maka kebutuhan akan pangan menjadi sasaran utama industri pertanian untuk meningkatkan hasilnya dalam memproduksi pangan. Namun sejalan dengan kebutuhan pangan yang semakin banyak terdapat juga kebutuhan bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida kian hari semakin bertambah. Upaya mengembalikan lahan pertanian menjadi pertanian organik merupakan salah satu alternatif pendekatan untuk menghindari penggunaan bahan agrokimia. Namun demikian, kebutuhan pangan yang sangat besar tersebut tentu merupakan prioritas utama untuk dipenuhi.

Produksi pangan dari pertanian organik belum mampu memenuhi kebutuhan pangan secara nasional. Oleh karena itu, sangat diperlukan dukungan teknologi pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan agar dampak negatifnya dapat diminimalisir namun target outputnya tetap tercapai. Berikut beberapa pendekatan pengelolaan pertanian ramah lingkungan terkait pupuk dan pestisida diuraikan sebagai berikut:

5.1 Pengelolaan unsur hara dan teknologi pemupukan

Pengelolaan unsur hara di lahan pertanian merupakan salah satu cara mengatasi permasalahan pupuk. Pemberian pupuk yang tepat sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah merupakan kunci pengelolaan unsur hara pada lahan pertanian. Pengetahuan tentang cara pemupukan, waktu pemberian, dosis pupuk, jenis pupuk dan memperhitungkan kebutuhan setiap jenis tanaman merupakan kunci pengelolaan hara.

Teknologi yang dapat membantu meningkatkan efisiensi pupuk adalah dengan menggunakan pupuk yang memiliki efisiensi tinggi seperti penggunaan pupuk slow release. Pupuk slow release adalah pupuk yang dapat melepas unsur hara secara lambat. Pupuk slow release dapat berupa pupuk yang dicoating dengan polimer nano, bahan mineral alami seperti zeolite, gypsum atau membran, teknik enkapsulasi, atau dengan menjadikan pupuk berbentuk tablet/kapsul yang cukup besar sehingga pupuk tersebut dapat bertahan cukup lama sebelum habis secara perlahan. Penggunaan pupuk slow release ini dapat menghemat kebutuhan pupuk.

5.2 Pemulihan lahan tercemar

Metode reklamasi tanah tercemar secara umum dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu insitu treatment dan exsitu treatment baik secara fisik, kimia maupun biologi. Metode insitu diantaranya adalah dengan menggunakan karbon aktif, mencuci air buangan, heat treatment air buangan, mengeluarkan logam berat, dan kontaminan lainnya, membersihkan air tanah dengan karbon aktif, metode biologi (bioremediasi), dan prosedur khusus seperti menggunakan tanaman toleran logam berat (fitoremediasi) serta enkapsulasi.

5.3 Bioremediasi

Bioremediasi adalah teknik pemulihan lahan tercemar dengan memanfaatkan bakteri dan jamur dalam tanah untuk mendegradasi kontaminan sehingga menjadi bahan tidak berbahaya. Proses bioremediasi ini sangat ditentukan oleh mikroba alami yang terdapat dalam tanah.

5.4 Fitoremediasi

Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman (Chussetijowati et al. 2009). Dalam fitoremediasi terdapat 2 mekanisme utama yaitu:

1) akar tanaman dapat mengambil polutan dari dalam tanah

2) dengan menggunakan tanaman pembersih yang dikenal dengan istilah pemacu fitoremediasidi rizosfir. Dalam metode kedua, tanaman tidak mengambil kontaminan tetapi akar tanaman mengeluarkan enzim (komponen karbon tanah) sebagai sumber hara untuk meningkatkan aktivitas mikroba pendegradasi

Banyak jenis tanaman yang sangat efektif dalam fitoremediasi tanah tercemar logam berat seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum) (Toulousia 2008) dan eceng gondok (Eichhornia Crassipes (Mart.) Solms (Syahputra 2005). Menurut Anonim dalam Hardiani (2009), Dahlia sp. dan Helianthus annus (Compositae) juga diketahui memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam Cr dengan kuantitas yang hampir sama dengan beberapa tanaman Brassicaceae sp yaitu sebesar 167 -196 mg/g.

 

Kesimpulan

Upaya mewujudkan lahan pertanian yang ramah lingkungan dan memiliki produktivitas yang tinggi memerlukan perhatian khusus dalam penggunaan pupuk dan pestisida. Degradasi lahan akibat ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah dan pencemaran lingkungan pertanian merupakan isu penting terkait dengan pertanian. Kekurangan satu atau beberapa jenis unsur hara dalam tanah menyebabkan unsur tersebut menjadi faktor pembatas produksi pertanian. Sebaliknya kelebihan unsur hara dalam tanah menyebabkan sifat toksik bagi tanaman dan inefisiensi karena banyak pupuk yang hilang.

 Penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan menjadi pencetus berbagai masalah lingkungan antara lain terjadinya pencemaran tanah dan badan air. Bahan aktif pestisida yang sukar dirombak melalui proses kimia dan biologi pada akhirnya akan diserap kembali oleh tanaman dan terakumulasi dalam tubuh manusia dan hewan.

Berbagai teknologi pemulihan lahan tercemar bahan agrokimia tersebut dapat dilakukan dengan pengelolaan unsur hara, pemulihan secara kimia, fisika, bioremediasi, dan fitoremediasi. Oleh karena itu, penerapan sistem pertanian bio industri dan terintegrasi dengan ternak merupakan salah satu alternatif dalam meningkatan produksitivitas lahan serta menurunkan risiko pencemaran dan kerusakan lingkungan.

 

Daftar Pustaka

Bahan, I. P. Pencemaran Bahan Agrokimia Perlu Diwaspadai.

Husnain, N. D., & Purnomo, J. (2014). Penggunaan bahan agrokimia dan dampaknya terhadap pertanian ramah lingkungan. h. 7-46. Buku Pengelolaan Lahan pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanah BBLSDLP-Kementerian Pertanian, Bogor.

IRA, D. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gejala Neurotoksik Pada Petani Penyemprot Tanaman Sayuran Dengan Pestisida Di Kenagarian Alahan Panjang Kabupaten Solok Tahun 2016 (Doctoral dissertation, Universitas Andalas).

Sulistinah, N., Antonius, S., & Rahmansyah, M. (2016). Pengaruh Residu Pestisida Terhadap Pola Populasi Bakteri dan Fungi Tanah di Rumahkaca. Jurnal Teknologi Lingkungan12(1), 43-53.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.