Masyarakat tradisional umumnya tidak
berkebutuhan majemuk; sederhana; bersahaja; dan menerima keberadaan alam
sebagai sahabat, bahkan merupakan bagian kehidupannya. Keadaan ini terjadi di Kampung
Naga, Garut, Tanah Parahyangan sebagai suatu kearifan lokal. Dari sudut pandang
arsitektur, hal tersebut menginspirasi konsep perancangan. Penelitian ini,
membuktikan dari sudut pandang ilmu lingkungan dan arsitektur tentang adanya
kaitan kearifan lokal dengan teknologi hijau yang menerapkan “green
concept”(ZEB – Zero Energy Building dan 3R – Reuse, Reduce, Recycle). Metoda
yang dilakukan adalah metoda diskriptif kualitatif berdasarkan data primer dan
sekunder hasil observasi lapangan dan literatur. Kemudian dikaji melalui teori
Aarsitektur dan pendekatan Teknologi Hijau, dan dibuktikan melalui Greenship
Home Assestment (ketentuan GBCI – Green Building Council Indonesia) Hasil
kajian dan temuan pemahaman kearifan lokal, akan menginspirasi, membangkitkan
semangat hijau, dan menambah wawasan bagiperancang bangunan. Bagi para
regulator (pemerintah daerah) kearifan lokal harus di pertahankan dan dapat
menyadarkan penduduk kampung Naga untuk tetap berkehidupan sesuai ketentuan
yang di yakini.
Kata Kunci : Green Concept, Kampung
Naga, Kearifan lokal, Teknologi Arsitektur Hijau
PENDAHULUAN
Teknologi Hijau adalah Teknologi
yang mempertimbangkan penghematan dalam penggunaan sumberdaya alam dan menjaga
keberlangsungan ketersediaannya serta meminimalisasi dampak
negatif bahkan berusaha meningkatkan
kualitas hidup manusia, oleh sebab itu rancangan arsitektur yang memenuhi
kriteria pertimbangan disebut “Arsitektur ber Teknologi Hijau”. Adapun rujukan
“Green Concept” yang digunakan sebagai alat ukur tingkatan Hijau diambil dari
kriteria BREEAM (Building Research establishment’s Environmental Assessment
Method-Inggris-1990) diturunkan oleh GBCI (Green Building Council Indonesia)
pada Greeship Home Checklist Assessment atau Sistim Penilaian Hijau untuk
Kelompok Bangunan Hunian.
METODOLOGI PENELITIAN
Dasar Kajian tentang kearifan lokal
Kampung Naga fokus pada pemanfaatan kembali kearifan lokal sebagai dasar
rancangan. Merujuk pada ungkapan Haryanto bahwa Sekelompok pencakar langit yang
mendeliniasikan garis langit ruang – ruang kota besar seperti Jakarta; Bentuk,
Konstruksi serta Penggunaan bahan bangunan dengan teknologi modern
memperlihatkan kemampuan teknologi menantang lingkungan alam yang ada. Dengan
adanya teknologi modern, maka kearifan lokal dianggap kuno, lambat dan tidak menarik.
Sementara itu Kampung Naga memiliki kearifan lokal, tatacara dan ritual
penggunaan material alam dan bahan bangunan sampai dengan ketentuan atau aturan
yang harus dilakukan saat pelaksanaan pembangunan serta tatacara penanggulangan
jika terjadi kesalahan prosedur (pelanggaran pelaksanaan). Ditanah Parahyangan
(masyarakat sunda) bangunan terdiri dari rumah (imah), tempat ibadah (surau
atau masjid), balai pertemuan (bale dusun), lumbung padi (leuit),tempat
menumbuk padi (saung lisung), kolam ikan (balong), kandang ternak, ruang
terbuka (alun-alun), kebun, sawah dan sungai, berdekatan dengan lokasi mata
pencaharian kebun,sawah, balong, alun – alun (tempat menjemur padi atau benda
anyaman). Adapun Parahyangan sebagai wilayah tataran tanah sunda sesuai
ungkapan Hendi A dan Hafiz A. bahwa Keanekaragaman dan keindahan panorama alam
yang terdapat di tanah Parahyangan memiliki arti tempat para dewa, tersusun
diatas beranekaragam dataran tinggi-rendah.
PENGELOLAAN AIR
Air merupakan sumber daya alam untuk menunjang
keberlangsungan hidup dan aktivitas manusia. Air juga menjadi sumber penularan
penyakit, sehingga sumber air maupun salurannya harus dikelola, dibedakan dan
disesuaikan penggunaannya. Sutrisno(1987) mengatakan bahwa :
1.
Sumber air itu berasal dari: a). Air
laut. Maka air ini tidak baik untuk minum, b). Air atmosfir (air hujan
mengandung banyak kotoran dan tidak memiliki kadar mineral), c). Air permukaan
(air rawa dan air sungai), dan d).Air tanah (air yang digunakan pada umumnya,
yaitu air tanah dangkal, air tanah dalam, dan mata air).
2.
Air bersih yang digunakan sebagai
air minum ditinjau dari segi standar kualitas fisik air minum, yaitu
berdasarkan : warna, bau, rasa, dan kekeruhan, untuk aktivitas lainnya tidak
ada standar khusus yang mengikat.
ARSITEK HIJAU
menurut GBCI (Green Building Council
Indonesia, 2010), bahwa bangunan hijau (green building) adalah bangunan baru
yang direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan sudah terbangun yang
dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan/ekosistem dan
memenuhi kinerja: bijak guna lahan, hemat air, hemat energi, hemat bahan
kurangi limbah, dan kualitas udara dalam ruangan.
Karyono(2010) menjelaskan bahwa
arsitektur hijau merupakan suatu rancangan lingkungan binaan, kawasan dan
bangunan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, dalam memenuhi kriteria
hemat energi dalam menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat menimbulkan
dampak negatif.
MANFAAT ARSITEKTUR HIJAU
Seperti yang diutarakan"The US Environmental Protection Agency"
dalam buku The Green Building
Handbook mendefinisikan manfaat dari bangunan hijau dalam tiga kategori utama,
yaitu :
1. Manfaat Lingkungan: bangunan hijau
melestarikan sumber daya alam, meningkatkan kualitas udara dan air, dan
mengurangi limbah.
2. Manfaat Ekonomi: bangunan hijau
mengurangi biaya modal dan operasional, meningkatkan nilai properti, dan
meningkatkan produktivitas pekerja.
3. Kesehatan dan Masyarakat. Manfaat:
bangunan hijau meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas hidup bagi
penghuni maupun masyarakat sekitarnya
KESIMPULAN
Dari penelitian ini, disimpulkan
arsitektur vernakular merupakan turunan dari nenek moyang, secara alamiah telah
mengadaptasi “Teknologi Hijau” pada beberapa siklus berkehidupan dan
memanfaatkan sumber daya alam. Sistem pembangunan menerapkan sistem daur ulang
untuk mempertahankan sumber daya alam.Penerapan “Teknologi Hijau” dibina secara
arif dan bijak, seperti reboisasi, pemanfaatan dan pengoptimalan ruang terbuka
hijau, sehingga keberlangsungan makhluk hidup dan lingkungan akan terus terjaga.
DAFTAR PUTSAKA
Anwar, Hendi (2013). Rumah Etnik
Sunda. Depok : Griya Kreasi.
Setiawan, Haryadi (2010).
Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku – Pengantar
ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Frick, Heinz (2006). Arsitektur
Ekologis – Konsep Arsitektur Ekologis di Iklim Tropis, Penghijauan Kota dan
Kota Ekologis, serta Energi Terbarukan. Yogyakarta : Kanisius.
Karyono, Harso. T (2010). Green
Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta :
Rajawali Pers.
Mulyanto, H.R (2013). Penataan
Drainase Perkotaan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.