.

Sabtu, 25 Agustus 2018

Teknologi Hijau Warisan Nenek Moyang di Tanah Parahyangan



ABSTRAK

Masyarakat tradisional umumnya tidak berkebutuhan majemuk; sederhana; bersahaja; dan menerima keberadaan alam sebagai sahabat, bahkan merupakan bagian kehidupannya. Keadaan ini terjadi di Kampung Naga, Garut, Tanah Parahyangan sebagai suatu kearifan lokal. Dari sudut pandang arsitektur, hal tersebut menginspirasi konsep perancangan. Penelitian ini, membuktikan dari sudut pandang ilmu lingkungan dan arsitektur tentang adanya kaitan kearifan lokal dengan teknologi hijau yang menerapkan “green concept”(ZEB – Zero Energy Building dan 3R – Reuse, Reduce, Recycle). Metoda yang dilakukan adalah metoda diskriptif kualitatif berdasarkan data primer dan sekunder hasil observasi lapangan dan literatur. Kemudian dikaji melalui teori Aarsitektur dan pendekatan Teknologi Hijau, dan dibuktikan melalui Greenship Home Assestment (ketentuan GBCI – Green Building Council Indonesia) Hasil kajian dan temuan pemahaman kearifan lokal, akan menginspirasi, membangkitkan semangat hijau, dan menambah wawasan bagiperancang bangunan. Bagi para regulator (pemerintah daerah) kearifan lokal harus di pertahankan dan dapat menyadarkan penduduk kampung Naga untuk tetap berkehidupan sesuai ketentuan yang di yakini.

Kata Kunci : Green Concept, Kampung Naga, Kearifan lokal, Teknologi Arsitektur Hijau

PENDAHULUAN

Teknologi Hijau adalah Teknologi yang mempertimbangkan penghematan dalam penggunaan sumberdaya alam dan menjaga keberlangsungan ketersediaannya serta meminimalisasi dampak
negatif bahkan berusaha meningkatkan kualitas hidup manusia, oleh sebab itu rancangan arsitektur yang memenuhi kriteria pertimbangan disebut “Arsitektur ber Teknologi Hijau”. Adapun rujukan “Green Concept” yang digunakan sebagai alat ukur tingkatan Hijau diambil dari kriteria BREEAM (Building Research establishment’s Environmental Assessment Method-Inggris-1990) diturunkan oleh GBCI (Green Building Council Indonesia) pada Greeship Home Checklist Assessment atau Sistim Penilaian Hijau untuk Kelompok Bangunan Hunian.



METODOLOGI PENELITIAN

Dasar Kajian tentang kearifan lokal Kampung Naga fokus pada pemanfaatan kembali kearifan lokal sebagai dasar rancangan. Merujuk pada ungkapan Haryanto bahwa Sekelompok pencakar langit yang mendeliniasikan garis langit ruang – ruang kota besar seperti Jakarta; Bentuk, Konstruksi serta Penggunaan bahan bangunan dengan teknologi modern memperlihatkan kemampuan teknologi menantang lingkungan alam yang ada. Dengan adanya teknologi modern, maka kearifan lokal dianggap kuno, lambat dan tidak menarik. Sementara itu Kampung Naga memiliki kearifan lokal, tatacara dan ritual penggunaan material alam dan bahan bangunan sampai dengan ketentuan atau aturan yang harus dilakukan saat pelaksanaan pembangunan serta tatacara penanggulangan jika terjadi kesalahan prosedur (pelanggaran pelaksanaan). Ditanah Parahyangan (masyarakat sunda) bangunan terdiri dari rumah (imah), tempat ibadah (surau atau masjid), balai pertemuan (bale dusun), lumbung padi (leuit),tempat menumbuk padi (saung lisung), kolam ikan (balong), kandang ternak, ruang terbuka (alun-alun), kebun, sawah dan sungai, berdekatan dengan lokasi mata pencaharian kebun,sawah, balong, alun – alun (tempat menjemur padi atau benda anyaman). Adapun Parahyangan sebagai wilayah tataran tanah sunda sesuai ungkapan Hendi A dan Hafiz A. bahwa Keanekaragaman dan keindahan panorama alam yang terdapat di tanah Parahyangan memiliki arti tempat para dewa, tersusun diatas beranekaragam dataran tinggi-rendah.


PENGELOLAAN AIR


Air merupakan sumber daya alam untuk menunjang keberlangsungan hidup dan aktivitas manusia. Air juga menjadi sumber penularan penyakit, sehingga sumber air maupun salurannya harus dikelola, dibedakan dan disesuaikan penggunaannya. Sutrisno(1987) mengatakan bahwa :

1.      Sumber air itu berasal dari: a). Air laut. Maka air ini tidak baik untuk minum, b). Air atmosfir (air hujan mengandung banyak kotoran dan tidak memiliki kadar mineral), c). Air permukaan (air rawa dan air sungai), dan d).Air tanah (air yang digunakan pada umumnya, yaitu air tanah dangkal, air tanah dalam, dan mata air).
2.      Air bersih yang digunakan sebagai air minum ditinjau dari segi standar kualitas fisik air minum, yaitu berdasarkan : warna, bau, rasa, dan kekeruhan, untuk aktivitas lainnya tidak ada standar khusus yang mengikat.

ARSITEK HIJAU


menurut GBCI (Green Building Council Indonesia, 2010), bahwa bangunan hijau (green building) adalah bangunan baru yang direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan sudah terbangun yang dioperasikan dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan/ekosistem dan memenuhi kinerja: bijak guna lahan, hemat air, hemat energi, hemat bahan kurangi limbah, dan kualitas udara dalam ruangan.
Karyono(2010) menjelaskan bahwa arsitektur hijau merupakan suatu rancangan lingkungan binaan, kawasan dan bangunan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, dalam memenuhi kriteria hemat energi dalam menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat menimbulkan dampak negatif.

MANFAAT ARSITEKTUR HIJAU

Seperti yang diutarakan"The US Environmental Protection Agency"
dalam buku The Green Building Handbook mendefinisikan manfaat dari bangunan hijau dalam tiga kategori utama, yaitu :

1.     Manfaat Lingkungan: bangunan hijau melestarikan sumber daya alam, meningkatkan kualitas udara dan air, dan mengurangi limbah.
2.     Manfaat Ekonomi: bangunan hijau mengurangi biaya modal dan operasional, meningkatkan nilai properti, dan meningkatkan produktivitas pekerja.
3.     Kesehatan dan Masyarakat. Manfaat: bangunan hijau meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas hidup bagi penghuni maupun masyarakat sekitarnya

KESIMPULAN

Dari penelitian ini, disimpulkan arsitektur vernakular merupakan turunan dari nenek moyang, secara alamiah telah mengadaptasi “Teknologi Hijau” pada beberapa siklus berkehidupan dan memanfaatkan sumber daya alam. Sistem pembangunan menerapkan sistem daur ulang untuk mempertahankan sumber daya alam.Penerapan “Teknologi Hijau” dibina secara arif dan bijak, seperti reboisasi, pemanfaatan dan pengoptimalan ruang terbuka hijau, sehingga keberlangsungan makhluk hidup dan lingkungan akan terus terjaga.

DAFTAR PUTSAKA

Anwar, Hendi (2013). Rumah Etnik Sunda. Depok : Griya Kreasi.

Setiawan, Haryadi (2010). Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku –  Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Frick, Heinz (2006). Arsitektur Ekologis – Konsep Arsitektur Ekologis di Iklim Tropis, Penghijauan Kota dan Kota Ekologis, serta Energi Terbarukan. Yogyakarta : Kanisius.

Karyono, Harso. T (2010). Green Architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers.

Mulyanto, H.R (2013). Penataan Drainase Perkotaan. Yogyakarta : Graha Ilmu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.