Bahaya
kimia pada
konsumen ikan asin
oleh ; hizra fazly *)
konsumen ikan asin
oleh ; hizra fazly *)
Abstrak
Ikan
asin di Indonesia masih menjadi lauk yang banyak digemari oleh masyarakat.
Pengolahan ikan asin secara tradisional sangat
bergantung pada intensitas sinar matahari. Tujuan penelitian ini adalah
mengidentikasi tingkat penggunaan bahan kimia
berbahaya dalam pengolahan ikan asin. Rancangan penelitian adalah explanatory research design. Populasi dalam penelitian adalah semua pengolah
ikan asin di Muara Angke dan Cilincing, Jakarta. Responden dipilih secara acak sebanyak 73 orang pengolah, 55 orang
dari Muara Angke dan 18 orang pengolah dari Cilincing. Data yang dikumpulkan
adalah data primer, dikumpulkan dengan menggungakan metode survei. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bahan kimia berbahaya (formalin dan pemutih) masih
digunakan oleh pengolah ikan asin. Tingkat penggunaan bahan
kimia berbahaya berkorelasi signikan dengan persepsi pengolah terhadap tingkat pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen tentang
bahan kimia berbahaya harus ditingkatkan agar mereka tidak bersedia membeli
ikan asin yang mengandung bahan kimia, sehingga dapat mengurangi penggunaan
bahan kimia berbahaya dalam pengolahan ikan asin. Pengawasan pemerintah
terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengolahan ikan asin masih
relatif rendah, sehingga perlu ditingkatkan agar pengolah bersedia mengolah
ikan asin secara alami dan meninggalkan bahan kimia berbahaya.
Kata
kunci: bahan kimia, ikan asin, pengawasan pemerintah, pengolah ikan asin
PENDAHULUAN
Ikan merupakan salah satu sumber
kalsium di samping susu dan sayuran (Trilaksani et al. 2006). Salah satu produk olahan ikan, yaitu ikan asin masih
menjadi lauk yang digemari oleh masyarakat. Produksi ikan asin sampai saat ini
masih bergantung pada sinar matahari dalam proses pengeringannya. Menurut
Suprihatin dan Romli (2009), pengeringan dengan penjemuran sangat tergantung pada
kondisi cuaca. Pengeringan
menjadi tertunda dan proses pembusukan ikan akan terjadi. apabila hujan turun. Beberapa pengolah ikan asin mengatasi hal tersebut dengan cara menggunakan bahan kimia sebagai pengawet untuk menghindari kebusukan.
menjadi tertunda dan proses pembusukan ikan akan terjadi. apabila hujan turun. Beberapa pengolah ikan asin mengatasi hal tersebut dengan cara menggunakan bahan kimia sebagai pengawet untuk menghindari kebusukan.
Bahan kimia digunakan oleh para
pengolah ikan asin untuk meningkatkan mutu produknya, baik dari segi penampilan
maupun daya awetnya. Penggunaan formalin sebagai pengawet kimia sudah dilarang
oleh pemerintah sejak tahun 2005. Hasil survei tentang kebiasaan pengolah ikan
dalam menggunakan bahan kimia menunjukkan bahwa 53,3% pengolah pernah
menggunakan pemutih dan formalin. Pemutih digunakan oleh pengolah untuk
menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh ikan asin (Yuliana 2009).
Permasalahan
tingkat penggunaan bahan kimia pada
pengolahan ikan asin yang diduga berhubungan dengan karakteristik individu dan
sosial pengolah, karakteristik unit pengolahan, dan persepsi pengolah terhadap
bahaya bahan kimia dan pengetahuan konsumen.
PEMBAHASAN
Pengolahan Ikan Asin di Muara Angke dan Cilincing
Muara
Angke dan Cilincing adalah sentra pengolahan ikan asin di Jakarta. Para
pengolah ikan asin di Muara Angke dikoordinir oleh pemerintah DKI dalam suatu
unit yaitu unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke, sedangkan
di Cilincing belum terkoordinir dan umumnya masih berskala rumah tangga.
Ikan
asin yang diproduksi di Muara Angke adalah tembang, lesi, cucut, layang, cumi,
pari, dan ikan asap. Rata-rata jumlah produksi pengolahan tembang asin adalah
101.830 kg/tahun, lesi 21.600 kg/tahun, cucut 66.000 kg/tahun, layang 162.750
kg/tahun, cumi 123.750 kg/tahun, pari 36.000 kg/ tahun, dan ikan asap 21.600
kg/tahun. Produk terbesar yang banyak diolah adalah layang asin, disusul cumi
asin dan tembang asin. Jumlah bahan baku untuk ikan layang adalah 277.500
kg/tahun, cumi 247.500 kg/tahun dan tembang 169.714,28 kg/tahun. Rata-rata
rendemen dari ketiga jenis ikan ini adalah 0,6 (Yuliana et al. 2007).
Unit
pengolahan ikan asin di Cilincing hanya berjumlah 30 unit. Pengelolaan unit
pengolahannya lebih bersifat rumah tangga dan skalanya lebih kecil jika
dibandingkan dengan Muara Angke. Komoditas olahan di Cilincing kebanyakan
adalah jenis ikan asin kecil, yaitu tembang, teri, dan layang. Proses
pengolahan masih dilakukan secara tradisional pada kedua lokas tersebut. Secara
umum, proses pengolahannya adalah pencucian ikan basah, penyortiran, perendaman
dengan garam, dan penjemuran. Ada juga proses pengolahan ikan asin yang
menggunakan proses perebusan untuk produk tertentu.
Tingkat Penggunaan Bahan Kimia
Pengolah ikan asin secara
tradisional mempunyai ketergantungan yang tinggi pada sinar matahari. Beberapa
pengolah menggunakan jalan pintas dengan memanfaatkan bahan kimia sebagai
sebagai pengawet, yaitu formalin dan pemutih (H2O2).
Penggunaan formalin biasanya
dilakukan pada proses sebelum penjemuran. Pemutih biasanya digunakan pada saat
pencucian dan perendaman dengan garam. Ikan yang sudah dicuci dan direndam
dengan pemutih akan berpenampilan bersih, karena pemutih berfungsi untuk
membersihkan kotoran yang menempel pada ikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengolah ikan asin masih ada yang menggunakan bahan kimia sebagai pengawet
(47%), dengan distribusi 22% pengolah menggunakannya pada proses pencucian
ikan, 25% pengolah menggunakannya pada proses penggaraman ikan, dan 15%
pengolah menggunakannya pada proses perebusan ikan. Persentase jumlah pengolah
ikan asin yang menggunakan bahan kimia kurang dari 50% tetapi akibat yang
ditimbulkannya akan berbahaya bagi konsumen, yaitu tersebarnya produk ikan asin
yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pemerintah sudah jelas melarang
penggunaan bahan kimia berbahaya pada pengolahan ikan asin dengan denda 1
milyar rupiah jika ada pengolah yang ketahuan menggunakan formalin. Tingkat
penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin disajikan padaTabel 1.
Tabel
1 Tingkat penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin
Aktivitas
|
Kategori
|
%
|
|
Proses pencucian ikan
|
Tidak
|
68
|
|
Ya
|
22
|
||
Proses penggaraman ikan
|
Tidak
|
75
|
|
Ya
|
25
|
||
Proses perebusan ikan
|
Tidak
|
85
|
|
Ya
|
15
|
||
Proses pencucian ikan sebelum
diasinkan merupakan proses yang penting, karena pencucian ikan bertujuan untuk
membuang semua kotoran yang ada pada ikan, di luar atau di dalam tubuh ikan.
Kotoran yang ada pada tubuh ikan merupakan tempat tinggal yang disenangi oleh
bakteri pembusuk. Proses pembusukan akan terhambat, jika kotoran tersebut
dihilangkan. Proses pencucian juga akan menentukan penampilan produk ikan asin,
terutama dari segi kebersihannya. Pengolah sebanyak 22% menggunakan pemutih
untuk membersihkan tubuh ikan yang menjadi bahan baku ikan asin. Bahan baku
ikan asin yang dicuci dengan pemutih akan berwarna mengkilap dan putih bersih.
Produk ikan asin yang dihasilkan akan berpenampilan menarik dan bersih,
sehingga konsumen akan lebih tertarik dengan penampilan ikan asin tersebut.
Bahan
kimia yang umum digunakan pada proses penggaraman ikan oleh pengolah (25%)
adalah formalin. Proses penggaraman yang dicampur dengan formalin tidak
memerlukan proses pengeringan dalam waktu yang lama. Pengolah tidak terlalu
bergantung pada sinar matahari dengan menggunakan formalin. Para pengolah
mengesampingkan bahaya yang mengancam konsumen jika mengonsumsi ikan asin yang
berformalin. Persentase pengolah yang menggunakan formalin (25%) tergolong
tinggi, karena penggunaan formalin sudah dilarang oleh pemerintah, seharusnya
tidak ada lagi pengolah yang menggunakan formalin.
Bahan
kimia yang digunakan pada proses perebusan ikan umumnya adalah pemutih.
Pengolah yang menggunakan pemutih adalah 15%, meskipun pemutih belum secara
resmi dilarang oleh pemerintah, tetapi tetap saja ada bahaya di balik
penggunaannya, karena fungsi pemutih bukan untuk bahan pangan.
Kadar
bahan kimia yang digunakan pada pengolahan ikan asin tidak diukur pada
penelitian ini., Uji formalin dilakukan untuk menguatkan data penggunaan bahan
kimia pada pengolahan ikan asin terhadap beberapa sampel ikan asin. Kandungan
formalin pada beberapa sampel ikan asin yang diambil secara acak dari Muara
Angke dan Cilincing disajikan pada Tabel 2. Produk ikan asin dari Muara Angke
yaitu ikan layang kecil, ikan jambal, dan cumi mengandung formalin dengan kadar
lebih dari 500 ppm. Ikan asin kering
produksi
Cilincing tidak mengandung formalin.
KESIMPULAN
Bahan
kimia berbahaya (formalin dan pemutih) masih digunakan oleh sebagian pengolah
ikan asin. Beberapa produk ikan asin positif mengandung formalin. Faktor yang
berhubungan secara signikan (α = 0,05) dengan tingkat penggunaan bahan kimia adalah persepsi pengolah terhadap pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen tentang bahaya bahan kimia pada produksi ikan asin seharusnya dapat menjadi kekuatan bagi konsumen untuk menolak ikan asin yang mengandung bahan kimia. Pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia tergolong rendah, ditunjukkan dengan data kunjungan dan penyuluhan staf pemerintah
berhubungan secara signikan (α = 0,05) dengan tingkat penggunaan bahan kimia adalah persepsi pengolah terhadap pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen tentang bahaya bahan kimia pada produksi ikan asin seharusnya dapat menjadi kekuatan bagi konsumen untuk menolak ikan asin yang mengandung bahan kimia. Pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia tergolong rendah, ditunjukkan dengan data kunjungan dan penyuluhan staf pemerintah
kepada pengolah yang termasuk kategori jarang. Dengan
penyuluhan yang intensif, diharapkan pengolah berhenti menggunakan bahan kimia,
dan akhirnya bersedia mengolah ikan asin secara alami. Persepsi pengolah
terhadap pengetahuan konsumen
berkorelasi signifikan terhadap tingkat penggunaan bahan kimia. Pengetahuan konsumen ikan asin
tentang bahan kimia berbahaya sangat menentukan pengolah dalam menentukan cara
produksi.
Daftar pustaka
Jurnal Matematika, Sains, &
Teknologi 11(1):
65-77.
Kurnianingtyas R. 2009. Penerimaan
Diri pada Wanita Bekerja Usia Dewasa Dini Ditinjau dari Status Pernikahan
[Skripsi]. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah.
Pakpahan HT, Lumintang RWE, Susanto
D. 2006. Hubungan motivasi kerja dengan perilaku nelayan pada usaha perikanan
tangkap. Jurnal Penyuluhan 2(1):
26-34.
Permadi A. 2008. Analisis Kebijakan
Pencegahan Penyalahgunaan Formalin pada Produk Perikanan (Kasus di Wilayah
Barat Pantai Utara Jawa) [Disertasi],
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.