.

Minggu, 13 November 2022

Pengaplikasian Kimia Hijau Pada Lingkungan Industri

 (X30-Wirawan)

1. Abstrak

      Istilah kimia hijau pertama kali digunakan oleh Paul T. Anastas pada Sebuah program khusus yang diperkenalkan organisasi EPA (Environmental Protection Agency) di Amerika Serikat tahun 1991. Program ini dimaksudkan Untuk menerapkan pengembangan berkelanjutan di bidang kimia dan Teknologi kimia oleh dunia industri, akademi, dan pemerintahan. Konsep Kimia hijau mengintegrasikan pendekatan baru untuk proses sintesa, Pengolahan, dan aplikasi zat-zat kimia sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan ancaman terhadap kesehatan dan lingkungan.

2. Abstract

      The term green chemistry was first used by Paul T. Anastas in a special program introduced by the EPA (Environmental Protection Agency) organization in the United States in 1991. This program is intended to implement sustainable developments in the field of chemistry and chemical technology by industry, academia, and government. The Green Chemistry concept integrates new approaches to the synthesis, processing, and application of chemical substances in such a way as to reduce threats to health and the environment.

3. Pendahuluan

    Perkembangan dan pemanfaatan zat-zat kimia yang tanpa kendali, Menyebabkan tubuh manusia terkontaminasi oleh sejumlah besar zat kimia Sintetis hasil industrialisasi, banyak diantaranya telah diketahui bersifat Racun dan penyebab kanker. Zat-zat tersebut masuk ke tubuh manusia Melalui produk yang tidak disebutkan sebagai komponen penyusun atau Ingredients pada produk-produk makanan atau aditif, makanan yang terkontaminasi zat kimia, udara, air dan debu. Bahkan, janin yang tumbuh di Perut ibu juga sudah terpapar langsung oleh zat kimia melalui makanan dan Obat-obatan yang dikonsumsi oleh ibu. Pada akhirnya banyak zat kimia yang Masuk ke rantai makanan dan tersirkulasi ke seluruh dunia. Telah terbukti bahwa pestisida yang digunakan di daerah tropis ternyata sudah umum Ditemukan di Artika (wilayah di Kutub Utara) sekarang (Clark, 2005). Zat Pencegah api pada mebel dan elektronik saat ini ternyata didapati di tubuh Mamalia yang hidup di lautan.

4. Rumusan Masalah

1) Apa itu Kimia Hijau?
2) Apa saja prinsip Kimia Hijau?
3) Apa itu Manfaat Kimia Hijau?
4) Bagaimana pengaplikasian Kimia Hijau dalam lingkungan industri?

5. Tujuan

1) Mengetahui kimia hijau.
2) Mengetahui prinsip Kimia Hijau
3) Mengetahui manfaat Kimia Hijau.
4) Bisa mengaplikasikan kimia Hijau pada lingkungan Industri

6. Pembahasan

A. Kimia Hijau
    Kimia hijau adalah suatu pendekatan terhadap perancangan, proses pembuatan, dan pemanfaatan produk-produk kimia sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi atau menghilangkan bahaya dampak buruk zat Kimia terhadap lingkungan termasuk manusia. Tujuan utama pendekatan Kimia hijau adalah untuk menciptakan zat-zat kimia yang lebih baik dan aman dan secara bersamaan dapat memilih cara-cara yang paling aman dan efisien n untuk mensintesa zat-zat tersebut dan mengurangi sampah kimia yang dihasilkan.

   Salah satu prinsip dari kimia hijau adalah mengutamakan pemanfaatan zat-zat alternatif dan terbarukan termasuk pemanfaatan limbah pertanian Atau biomass atau produk-produk biologis yang tidak terkait dengan bahan pangan. Secara umum reaksi-reaksi kimia dari bahan-bahan alternatif ini sangat kurang bahayanya dibandingkan jika menggunakan petroleum. Prinsip berikutnya adalah pencegahan limbah, sintesa kimia yang kurang atau tidak berbahaya, dan perancangan zat kimia yang tidak atau kurang berbahaya termasuk pelarut yang lebih aman. Prinsip lain berfokus pada perancangan produk-produk kimia yang mudah dan aman terurai di lingkungan dan efisiensi dan penyederhanaan proses-proses kimia. Lebih jauh lagi, karena proses-proses dalam kimia hijau jauh lebih efisien, maka perusahaan akan menggunakan lebih sedikit bahan mentah dan energi sekaligus menghemat dana untuk pembuangan limbah.

B. Mengetahui Prinsip Kimia Hijau
i. Prinsip 1-3 Kimia Hijau
1. Pencegahan limbah: Lebih baik untuk mencegah sedini mungkin terjadinya limbah daripada menanggulangi dan mengelola limbah yang sudah terlanjur terbentuk. Bagaimanapun pengelolaan limbah yang muncul sebagai bagian dari proses produksi akan menimbulkan biaya ekonomi tinggi. Berbagai teknologi pengelolaan limbah sudah diterapkan, mulai dari sanitary landfill, incinerator dan land treatment (land farming). Namun ketiga jenis teknologi tersebut tetap saja dianggap sangat mahal, sulit diterapkan, memerlukan standar operasi yang tinggi dan efektivitasnya diragukan. Jadi sekali lagi lebih baik mencegah limbah daripada mengelolanya. Hal itu sejalan dengan pendapat Wang dkk (2006).
    Teknologi pemusnahan sampah dengan metode Sanitary Landrill ialah dengan cara membuang dan menumpuk limbah (sampah) ke suatu titik lokasi yang cekung, kemudian dipadatkan dan menutupnya dengan tanah. Sedangkan incinerator (insinerator) ialah teknologi pengelolaan limbah (sampah) dengan proses pembakaran.

2. Memaksimalkan ekonomi atom: Perancangan sintesis sedemikian rupa sehingga produk akhir mengandung proporsi maksimum dari bahan awal. Dalam hal ini hanya sedikit atom yang terbuang, dan kalau bisa nihil. Menurut Santosa (2008) metode sintesis harus dirancang dengan memaksimalkan semua reaktan menjadi produk akhir yang diinginkan.
     Konsep ekonomi atom dikembangkan oleh Barry Trost dari Stanford University (AS), merupakan penerima Presidential Green Chemistry Challenge Award tahun 1998. Konsep ekonomi atom merupakan metode yang mengungkapkan seberapa efusien reaksi tertentu yang menggunakan atom reaktan. Ekonomi atom merupakan nisbah antara masa atom produk yang diinginkan dengan masa atom dalam reaktan dikalikan 100 persen (GI, 2015).
3. Perancangan sintesis dengan bahan kimia yang.d tida: berbahaya: Dalam praktek metode sintesis seharusnya di desain untuk menggunakan dan menghasilkan zat yang paling sedikit atau sama sekali ridak menimbulkan toksnsutas pada manusua dan lingkungan.

ii. Prinsip 4-6 Kimia Hijau
1. Perancangan bahan dan Produk kimia yang aman: Produk kimia seharusnya dirancang sesuai fungsi yang diinginkan dan meminimalkan terjadinya toksisitas bagi manusia dan lingkungan.
Prinsip keempat Kimia Hijau menjadi paradoks bagi sebagian orang, terutama dengan adanya paradigma bahwa semua bahan kimia itu merupakan zat beracun. Tidak heran jika dalam kehidupan sehari-hari istilah bebas bahan kimia menyesatkan banyak masyarakat. Seandainya bebas bahan kimia secara harfiah berarti tidak ada benda apapun. Istilah dalam membuat label konsumen yang sering dipergunakan oleh produsen produk tertentu, sudah pasti menyesatkan. Karena produk atau benda apapun semuanya mengandung unsur kimia. Hal itu sejalan dengan pendapat Reyes (2012).
2. Pelarut dan senyawa pembantu yang ramah lingkungan (Pelarut Hijau): Meskipun termasuk sebagai zat yang tidak berkontribusi langsung terhadap struktur produk, tetapi dipadukan untuk terjadinya reaksi kimia dalam proses produksi. Dengan demikian Pelarut Hijau perlu menjadi pilihan utama, dengan kriteria aman dan penggunaannya sehemat mungkin. Hal itu sejalan dengan pendapat Santosa (2008) dan Reyes (2015).
Reyes (2015) selanjutnya mengemukakan. Bahwa pelarut adalah contoh yang paling umum dari zat tambahan. Biasanya, pelarut sendiri tidak bereaksi dengan reagen namun masih diperlukan dalam reaksi untuk melarutkan reagen, mencampur semua komponen reaksi, dan mengontrol suhu reaksi. Setelah reaksi berlangsung, pelarut sering digunakan untuk memisahkan dan memurnikan produk dari komponen reaksi lainnya.
3. Perancangan untuk efisiensi energi: Penggunaan energi dalam proses kimia perlu senantiasa memperhatikan dampak lingkungan dan nilai ekonominya, dalam hal ini jumlahnya harus diminimalisir. Dalam hal ini jika memungkinkan metode sintesis harus dilaksanakan pada suhu kamar dan tekanan kamar atau Standard Ambient Temperature and Pressure (SATP), yaitu acuan dengan suhu 25 oC (298,15 0K) dan tekanan 101 kPa -1 atm.
Industri kimia selalu berupaya menemukan cara-cara kreatif untuk mengurangi penggunaan energi dan membentuk siklus hidup produk. Sebagai gambaran industri kimia menyumbang 6 persen dari penggunaan energi di Amerika Serikat (Wells, 2008 dalam Patt and Banholzer, 2009). Sekitar setengah dari energi tersebut terkandung dalam bahan-baku terutama hidrokarbon dari minyak dan gas alam. Setengah lainnya digunakan untuk mengubah bahan baku menjadi produk kimia yang berguna melalui reaksi dan proses pemurnian (Neelis et al., 2007 dalam Patt and Banholzer, 2009). Industri kimia meningkatkan efisiensi penggunaan energi melalui lima cara: meningkatkan proses yang ada, mengkomersilkan proses baru, daur ulang limbah. Investasi di bahan baku terbarukan, dan menciptakan produkproduk yang memungkinkan penghematan energi.

iii. Prinsip 7-9 Kimia Hijau
  1. Penggunaan bahan baku (bahan dasar atau bahan mentah) terbarukan: Apabila secara teknis dan ekonomi memungkinkan, maka sebaiknya menggunakan bahan bahan baku yang terbarukan. FSE (2015) mengemukakan, bahwa sekitar 90-95 persen dari produk yang kita gunakan dalam kehidupan sehari hari bersumber dari minyak bumi. Ketergantungan umat manusia terhadap minyak bumi bukan hanya menyangkut transportasi dan energi. Tetapi juga dalam pembuatan berbagai produk. Prinsip Kimia Hijau yang ke tujuh ini bertujuan untuk menggeser ketergantungan pada minyak bumi, sekaligus membuat produk dan bahan terbarukan yang dapat dibudidayakan dan dipanen secara lokal. Sebagai contoh biodiesel merupakan bakar alternatif yang dapat digunakan untuk angkutan dan terbuat dari bahan yang bersumber dari tanaman yang dibudidayakan. Ada juga p|astik berbasis bio, seperti PLA (asam polylactic) merupakan p|astik yang dibuat dari bahan baku terbarukan seperti jagung dan limbah kentang.

 

2. Mengurangi tahapan reaksi atau derivatif: derivatisasi yang tidak dikehendaki harus diminimalkan atau dihindari, karena langkahlangkah tersebut akan membutuhkan tambahan reagen dan dapat menghasilkan limbah. Dengan kata lain (santosa, 2008), tahapan reaksi yang timbul karena penggunaan gugus penutup. Pelindung, pembuka dan modifikasi sementara dalam suatu proses kimia harus dicegah (diminimalisir), karena setiap tambahan reaksi sering memerlukan tambahan pereaksi, energi dan dapat menghasilkan limbah. Menurut fse (2015), prinsip ke delapan dari kimia hijau bertujuan untuk menyederhanakan proses dengan melihat sistem a|ami, sehingga diperoleh perancangan produk yang lebih disederhanakan.
3. Katalisis: reagen katalis seharusnya lebih unggul untuk reagen stoikiometri. Datam hal ini Santosa (2008) menjelaskan, bahwa penggunaan senyawa pemercepat reaksi dapat mengkonsumsi energi, bahan dasar. Pereaksi dan waktu reaksi, namun di sisi lainnya dapat menghasilkan reaksi yang lebih aman. FSE (2015) menjelaskan, bahwa katalis merupakan bahan kimia yang digunakan terutama untuk mengurangi penggunaan energi dan membuat reaksi berlangsung lebih efisien (bahkan lebih cepat). Dalam konsentrasi yang kecil katalis menimbulkan efek yang besar. Dalam hal ini Katalis Hijau hanya menimbulkan sedikit toksisitas (bahkan tidak menimbulkan toksisitas sama sekali) dan dapat dipergunakan secara berulang dalam di proses. Enzim merupakan contoh katalis yang sangat penting dalam berbagai proses biokimia tubuh, dan termasuk Katalis Hijau. Para ahli kimia sedang menyelidiki kemungkinan penggunaan enzim untuk berbagai reaksi kimia dalam menghasi|kan beragam produk yang diinginkan. Daya kerja enzim terbukti dapat mengurangi toksisitas, meningkatkan spesifisitas dan efisiensi.

 

iv. Prinsip 10-12 Kimia Hijau

1. Rancangan untuk degradasi (peruraian): Produk kimia seharusnya dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat terurai menjadi produk yang tidak berbahaya. Prinsip ke 10 Kimia Hijau bukan hanya menginginkan bahan dan produk berasal dari sumber terbarukan, namun juga dikehendaki supaya mudah mengalami degradasi dalam lingkungan (FSE, 2015). Sebagai gambaran plastik yang dibuang ke tempat sampau sulit mengalami penguraian, begitu pula obat farmasi seperti antibiotik dapat bertahan dalam aliran air. Dengan demikian prinsip ini bertujuan untuk merancang produk sedemikian rupa, sehingga berfungsi sebagaimana mestinya, dan ketika sudah tidak dipergunakan bersifat aman dan tidak membahayakan Hngkungan.
2. Analisis seketika (real time) untuk pencegahan polusi: Metodologi Analitik perlu dikembangkan lebih lanjut untuk memungkinkan kontrol proses dan monitoring seketika, hal itu untuk mengantisipasi terbentuknya zat berbahaya. Dalam hal ini FSE (2015) memberikan ilustrasi dengan seorang yang harus membuat kue, padahal sebelumnya belum punya pengalaman. Kondisinya tidak ada buku resep yang menjadi rujukan, tidak ada pengetahuan tentang penggunaan oven, berapa lama waktu pemanggangan, dan berapa suhu yang diperlukan. Apa yang terjadi jika memasaknya terlalu lama atau sebaliknva waktunya kurang? Dalam hal ini ahli kimia seperti pembuat kue, harus secara real time mengetahui, memahami dan dapat menegapkan berbagai prosedur
3. Minimalisir potensi kecelakaan: Rancangan kimia dan bentuk fisik (padat, cair dan gas) harus sedemikian rupa, sehingga potensi kecelakaan seperti iedakan, kebakaran dan kontaminasi terhadap lingkungan menjadi sangat minimal.
Dalam hal ini FSE (2015) mengemukakan, bahwa prinsip ke 12 ini lebih berfokus pada keselamatan pekerja dan masyarakat di sekitar lokasi atau kawasan industri. Lebih aman dan lebih baik menggunakan bahan kimia yang tidak menimbulkan ledakan, percikan api dan terbakar di udara dalam melakukan proses produksi.

C. Manfaat Kimia Hijau

      Manfaat kimia hijau adalah mengusahakan proses-proses kimia yang Lebih ekonomis karena biaya produksi dan regulasi yang lebih rendah, efisien dalam penggunaan energi, pengurangan limbah produksi, pengurangan kecelakaan, produk yang lebih aman, tempat kerja dan komunitas yang lebih sehat, perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, dan mendapatkan keunggulan yang kompetitif atas produk yang dihasilkan. Dengan memperhatikan dan menerapkan pendekatan atau teknologi Kimia Hijau akan menghasilkan tempat kerja yang lebih aman bagi para pekerja Industri, risiko-risiko yang jauh lebih sedikit bagi komunitas di sekitar lingkungan pabrik dan produk yang lebih aman bagi pengguna/pembeli.

D. Pengaplikasian kimia Hijau dalam Lingkungan Industri

  Banyak usaha yang mulai memperhatikan pendekatan kimia hijau. Perusahaan bangunan memanfaatkan bahan bangunan yang ramah lingkungan dan menghindari bahan yang terbukti berbahaya bagi kesehatan seperti ti asbes. Usaha pencucian baju atau laundry juga sudah mengganti pelarut bahan kimia untuk dry cleaning, dari Perchloroethylene (PERC) –Cl2C=CCl2 –, dengan CO2 cair dan surfaktan (Dhage, 2013). PERC terbukti berbahaya bagi air tanah dan diduga bersifat karsinogenik, seperti hampir smua pelarut yang mengandung halogen. Pengantian zat pemutih kertas, yaitu gas klorin (Cl2), untuk menghilangkan zat lignin, dengan peroksida (H2O2) bersama katalisatorTAML (Dhage, 2013). Gas klorin ternyata bereaksi dengan lignin membentuk Dioksin, seperti 2,3,4-tetrachlorodioksin dan furan terklorinasi. Zat tersebut merupakan zat berbahaya bagi kesehatan karena menjadi polutan pada rantai makanan untuk pakan ternak yang menghasilkan daging atau ikan terkontaminasi dioksin. Dengan katalis TAML memungkinkan H2O2 untuk mengurai lebih banyak lignin dalam waktu yang lebih singkat. Sistem pemutihan ini juga digunakan di usaha laundry karena ternyata dapat mengurangi jumlah pemanfaatan air.Bubuk dari biji asam jawa (tamarind seed kernel powder) yang merupakan limbah produk pertanian, dapat dijadikan zat yang efektif untuk menjernihkan air buangan rumah tangga dan industri (Dhage, 2013). Bubuk biji asam jawa bersifat non-toksik, mudah terurai secara alami, hemat biaya, dapat menggantikan garam Al (alumunium) atau alum yang biasa digunakan untuk mengolah air limbah. Zat alum ini terbukti meningkatkan jumlah ion berbahaya dalam air olahan itu dan dapat menyebabkan penyakit seperti alzheimer (pikun/dementia). Hasil penelitian membuktikan bahwa bubuk biji asam jawa cukup ekonomis sebagai flokulan yang kinerjanya setara dengan K2SO4Al2(SO4)3.24H2O (potash alum) yang biasa dipakai pada penjernihan air.

7. Kesimpulan

      Pendekatan kimia hijau adalah usaha penerapan prinsip penghilangan dan pengurangan senyawa berbahaya melalui usaha perancangan, produksi,dan penerapan produk kimia. Pendekatan kimia hijau berusaha meminimalisir zat berbahaya, pemanfaatan katalis yang aman untuk reaksi dan proses kimia, penggunaan reagen yang tidak beracun, penggunaan sumber daya yang dapat diperbaharui, peningkatan efisiensi pada tingkat atom, dan penggunaan pelarut yang ramah lingkungan. Usaha untuk menerapkan kimia hijau untuk menghasilkan produk industri untuk bangunan dan penggantian zat kimia berbahaya yang digunakan pada berbagai industri dan kesehatan telah dilakukan. Berbagai peraturan mengenai penerapan kimia hijau pada tingkat dunia dan Indonesia telah dibuat. Perlu pengawasan ketat untuk penerapan pendekatan kimia hijau ini untuk mencegah bahaya terhadap kesehatan dan lingkungan. Masih banyak usaha yang perlu dilakukan untuk meningkatkan penelitian, pendidikan, kebijakan, dan penerapan kimia hijau terutama tentang penerapan nanopartikel untuk kesehatan.

8. Daftar Pustaka


Hidayat, Atep Afia. 2022. Kimia dan Pengetahuan Lingkungan Industri. Dasar-dasar Ilmu Kimia (Modul 1). Universitas Mercu Buana. 


Ismunandar. 2013. Kimia Dasar I: Pengenalan Kimia Dasar (Video Youtube). Institut Teknologi Bandung. 


Dina Mustafa,22 08 2016. Kimia Hijau dan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan di perkotaan.pdf

(Diakses pada 11 November 2022)






   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.