.

Sabtu, 31 Agustus 2019

PENGARUH SAMPAH PLASTIK TERHADAP KUALITAS AIR DAN EKOSISTEM LAUT INDONESIA

Oleh : Raka Himawan

Raka Himawan, [Ir. Atep Afia Hidayat, MP]
Program Studi Teknik Industri Universitas Mercu Buana
NIM : 41618110027 ( @L09-Raka )


Abstrak

Kondisi kualitas air suatu perairan yang baik sangat penting untuk mendukung kelulus hidupan organisme yang hidup di dalamnya. Penentuan status mutu air perlu dilakukan sebagai acuan dalam melakukan pemantauan pencemaran kualitas air itu sendiri. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut. Sampah plastik yang sangat berbahaya. BPS mencatat, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milyar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di laut akibat air laut yang tercemar oleh sampah-sampah plastik. Budaya buruk masyarakat yang membuang sampah ke laut ini tidak hanya mengancam manusia melainkan hewan-hewan laut.
Sampah plastik tersebut bila tidak dikumpulkan dengan benar akan terbawa ke sungai bahkan sampai ke laut dan pada akhirnya menumpuk. Karena massanya yang ringan, sampah plastik akan berada di permukaan laut sehingga dapat menutupi permukaan laut. Sampah yang terbuang ke laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ekosistem laut dan membahayakan populasi yang ada di laut.

Kata kunci: Sampah Plastik, Kualitas Air, Ekosistem Laut.




I.            PENDAHULUAN  

I. I.  Latar Belakang

Menurut Atep Afia & M. Kholil (2018) Permukaan Planet Bumi meliputi dua pertiga bagian ditutupi oleh perairan dan sepertiga oleh daratan. Jumlah penduduk Planet Bumi terus meningkat, saat ini sudah melampaui tujuh milyar jiwa, hal itu membuat kebutuhan terhadap sumberdaya alam termasuk air terus meningkat. Disisi lainnya kebutuhan ruang yang terus meningkat justru mengancam keberadaan sumber daya air. Kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan terus mengalami degradasi, makin banyak penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air yang sehat. Pencemaran air terjadi dimana- mana , baik air tanah , sungai , danau bahkan sampai lautan sekalipun.

Penelitian yang dilakukan oleh University of Georgia di 192 negara yang memiliki garis pantai, termasuk Indonesia menyebutkan bahwa sebesar 2,5 miliar metrik ton sampah dihasilkan oleh negara-negara tersebut, dengan 275 juta metrik tonnya (10%) adalah plastik. Sebanyak 8 juta metrik ton sampah plastik tersebut telah mencemari laut. Hal yang mengejutkan adalah Indonesia dinyatakan sebagai kontributor sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok, dengan estimasi 0.48–1.29 juta metrik ton per tahun (Jambeck, 2015) dalam Teddy, 2018 .

Menurut Lutfi (2009) dalam Alex, 2011 , pada dasarnya bahan pencemar yang mencemari perairan dapat dikelompokan menjadi : bahan pencemar organik, bahan pencemar anorganik/mineral , bahan pencemar radioaktif  dan bahan pencemar endapan/sedimen.

Dampak pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan kematian,  mengurangi atau merusak nilai estetika lingkungan pesisir, serta dapat merugikan secara sosial ekonomi ( Dahuri dkk, 2001 ) dalam Alex, 2011. Dikemukakan lebih lanjut , dampak pencemaran perairan daerah pesisir adalah sedimentasi, eutofrication, anoxia, masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace element dalam rantai makanan serta keberadaan spesies asing.


II.            PERMASALAHAN

Dari latar belakang yang sudah kita paparkan diatas , permasalahan yang harus kita benahi adalah Langkah kita dan upaya kita untuk mengidentifikasi apa saja permasalahan yang terjadi atas penurunan kualitas air di Indonesia semakin berkurang serta penanggulangan pencemaran air yang mengakibatkan ekosistem laut mengalami kerusakan dan pentingnya mengetahui bahaya sampah plastik untuk generasi mendatang.



III.            HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dampak Dari Bahaya Sampah Plastik

Baru-baru ini Indonesia digegerkan oleh seekor paus sperma yang mati dan membusuk di Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November lalu. Sekitar 5,9 kg sampah plastik ditemukan di dalam tubuh paus tersebut. Lokasi kematian mamalia laut yang berukuran 9,5 meter tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut.

Disamping itu kitapun dikejutkan oleh sebuah sampah plastik mie instant yang ditemukan di Pantai Sendang Biru di selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ironisnya, sampah tersebut telah berusia 19 tahun yang ditemukan oleh seorang mahasiswi, Fianisa Tiara Pradani saat ia sedang melakukan penelitian tentang Ilmu Kelautan di pantai tersebut. Foto sampah bertuliskan "Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku" tersebut diunggahnya melalui akun media sosial twitter-nya dan berhasil menyorot perhatian Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti.


Tepatnya  pada tahun 2018, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di laut akibat air laut yang tercemar oleh sampah-sampah plastic Penny (2019).  Kualitas Air pun menurun, daerah pesisir seakan sangat sulit untuk  mendapatkan air bersih dan sehat pada musim kemarau datang,

Tidak dapat disangkal bahwa kehidupan manusia sangat bergantung dengan material plastik. Sifatnya yang kuat, elastis, tahan lama, dan murah menjadikan penggunaan material plastic melampaui sebagian besar materi buatan manusia lainnya. Kurang lebih 8,3 miliar ton plastik telah diproduksi secara massal sejak tahun 1950. Saat ini laut diperkirakan sudah menampung 150 juta ton sampah plastik dengan 250 ribu tonnya terfragmentasi menjadi 5 triliun potongan plastik. Laut diprediksi akan menampung 250 juta ton sampah plastik pada tahun 2050 (Gallo, 2018) dalam Teddy, 2018.

Dapat dikatakan bahwa saat ini kita telah hidup dengan plastik yang tersebar di seluruh alam. Bentuknya yang telah terfragmentasi menjadi ukuran mikro (bahkan nano) dan menyebar hingga ke dasar laut menyebabkan mustahil bagi kita untuk memungut seluruh sampah plastik yang ada di alam. Mengonsumsi plastik dapat menyebabkan biota laut mengalami gangguan metabolisme, iritasi sistem pencernaan, hingga menyebabkan kematian. Selain itu, sifatnya yang persisten memungkinkan kandungan plastik yang berada lama di dalam tubuh biota laut pindah ke manusia melalui skema rantai makanan. Kajian yang dilakukan lembaga Ocean Conservancy menemukan bahwa 28% ikan di Indonesia mengandung plastik. Di samping itu, plastik juga menyebabkan kematian terumbu karang.

Menurut Pusat Penelitian Terumbu Karang Australia (ARC), terumbu yang terpapar limbah plastik berpotensi 89% terkena penyakit, dibandingkan 4% yang tidak terkena dampak limbah. Teori tersebut dibuktikan sekelompok peneliti asal Indonesia, Amerika Serikat, Australia, dan Kanada yang mengamati kondisi 159 terumbu karang antara tahun 2011-2014. Hasilnya, paparan limbah plastik pada terumbu karang paling banyak muncul di Indonesia, yakni 26 bagian per 100 meter persegi. Lebih luas lagi, sampah plastik di laut pada akhirnya menimbulkan kerugian ekonomi secara global pada bidang perikanan, perkapalan, 14 pariwisata, dan bisnis asuransi hingga mencapai 1,2 miliar dolar Amerika. Hal ini tentunya berdampak besar bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang sangat bergantung pada keberadaan laut dan hasil laut dalam (Teddy, 2018).

B. Faktor Tingginya Sampah Plastik

Menurut Penny (2019) Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya sampah plastik yang tidak dikelola. Pertama, terkait sistem yang tidak memadai untuk proses pengumpulan sampah. Proses ini hanya dilakukan para pemulung di jalanan, atau petugas kebersihan yang mengangkat sampah-sampah dari tiap rumah tangga dengan menggunakan truk. Pengumpulan sampah dengan cara ini belum bisa menjangkau semua sampah. Ada 400 kabupaten di Indonesia yang tidak semuanya dilengkapi dengan truk sampah.

Kedua, budaya masyarakat yang memprihatinkan, membuang sampah sembarangan secara langsung ke laut atau sungai. Kebiasaan masyarakat Indonesia itu sendirilah yang semakin memperparah alam. Sampah tak terurai ini tidak masuk ke dalam proses pengumpulan yang dilakukan para pemulung maupun petugas kebersihan, dan akhirnya mengotori ekosistem alam.

Menurut Susmarkanto (2002). Ditinjau dari sudut pandang antropologis (sosial budaya), kecenderungan orang atau masyarakat untuk membuang limbah dan kotoran ke sungai telah menjadi adat atau kebiasaan, sejak dahulu kala jauh sebelum adanya sarana dan prasarana sanitasi lingkungan seperti : jamban keluarga (WC) dan Tempat Sampah (TPS dan TPA).

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, dikemukakan bahwa adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengatur kelakuan manusia. Oleh karena sistem kelakuan atau perilaku masyarakat membuang limbah atau sampah tersebut sudah berlangsung lama (turun temurun), maka tindakan atau konsepsi itu telah menjadi sistem nilai budaya (culture value system) yang mempengaruhi pola berpikir mereka dan menjadi pedoman berperilaku.

Ketiga, keterbatasan anggaran pemerintah. Di sisi lain, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Indonesia mempunyai banyak hambatan untuk infrastruktur pelayanan sampah. Masyarakat seringkali membuang sampah sembarangan karena tidak adanya tempat pengumpulan sampah atau TPA khusus di sekitar tempat tinggalnya. Inilah yang menimbulkan perilaku masyarakat yang bingung untuk membuang sampahnya.

Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan sampah di beberapa kabupaten yang tidak di fasilitasi infrastruktur pelayanan sampah. Penny (2019)


IV.  KESIMPULAN DAN SARAN

Semakin bertambah jumlah penduduk, maka semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Semakin banyak sampah yang dihasilkan, berarti semakin banyak pula anggaran pemerintah yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan sampah masyarakatnya. Lalu apa tindakannya? Berikut adalah kesimpulan dan saran yang dapat penulis ambil :


A. Kesimpulan

1) Perilaku masyarakat dan industriawan dalam membuang limbah dan kotorannya ke sungai merupakan sumber/faktor penyebab pencemaran lingkungan perairan sungai, sehingga sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan yang berakibat lebih lanjut penumpukan sampah ke laut

2) Konsepsi sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah telah menjadi adat kebiasaan dan sistem nilai budaya masyarakat di perdesaan maupun di perkotaan. Perilaku menyimpang ini mempunyai andil terhadap ekosistem laut

3) Pencemaran air sungai sangat besar pengaruhnya bagi hajad hidup orang banyak karena berbagai kepentingan terkait di dalamnya, antara lain untuk cuci, mandi, sumber air minum, transportasi, perikanan dan irigasi sawah. Bahkan sungai juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, olah raga dan rekreasi. Namun dalam perkembangan peradapan manusia

Dapat dikatakan bahwa saat ini kita telah hidup dengan plastik yang tersebar di seluruh alam. Bentuknya yang telah terfragmentasi menjadi ukuran mikro (bahkan nano) dan menyebar hingga ke dasar laut menyebabkan mustahil bagi kita untuk memungut seluruh sampah plastik yang ada di alam. Mengonsumsi plastik dapat menyebabkan biota laut mengalami gangguan metabolisme, iritasi sistem pencernaan, hingga menyebabkan kematian.

A. Saran

Pertama, dalam segi pendidikan masyarakatnya , kita harus mengkampanyekan bahwasanya sampah plastik sangat berbahaya bagi pencemaran air , khususnya bagi eksositem laut dan manusia itu sendiri

Kedua, dari segi pemerintah yang harus mengeluarkan dengan tegas kebijakan kebijakan untuk membatasi pengurangan sampah di Indonesia



Daftar Pustaka

[1]
Hidayat, Atep Afia dan M.Kholil. 2018. Kimia dan Pengetahuan Lingkungan Industri. Penerbit WR. Yogyakarta

[2]
Teddy Prasetiawan, 2018, UPAYA MENGATASI SAMPAH PLASTIK DI LAUT, Vol. X, No. 10/II/Puslit/Mei/2018

[3]
Penny Lumbanraja. 2019. Dalam

[4]
Alex Fransisca. 2011. Tingkat Pencemaran Perairan Ditinjau dari Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kota Cilegon Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 22 No. 2, Agustus 2011, hlm.145 - 160

[5]
Susmarkanto. 2002. PENCEMARAN LINGKUNGAN PERAIRAN SUNGAI
SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB BANJIR DI JAKARTA .Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3, No. 1 Januari 2002 : 13-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.