Raka Himawan, [Ir. Atep Afia
Hidayat, MP]
NIM :
41618110027 ( @L09-Raka )
Abstrak
Kondisi kualitas air suatu
perairan yang baik sangat penting untuk mendukung kelulus hidupan organisme
yang hidup di dalamnya. Penentuan status mutu air perlu dilakukan sebagai acuan
dalam melakukan pemantauan pencemaran kualitas air itu sendiri. Menteri Kelautan dan Perikanan
Susi Pudjiastuti menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik
terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut. Sampah plastik yang sangat berbahaya.
BPS mencatat, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milyar
lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik. Beberapa bulan yang
lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di
laut akibat air laut yang tercemar oleh sampah-sampah plastik. Budaya buruk
masyarakat yang membuang sampah ke laut ini tidak hanya mengancam manusia
melainkan hewan-hewan laut.
Sampah plastik tersebut bila tidak dikumpulkan dengan benar akan terbawa ke sungai bahkan sampai ke laut dan pada akhirnya menumpuk. Karena massanya yang ringan, sampah plastik akan berada di permukaan laut sehingga dapat menutupi permukaan laut. Sampah yang terbuang ke laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ekosistem laut dan membahayakan populasi yang ada di laut.
Sampah plastik tersebut bila tidak dikumpulkan dengan benar akan terbawa ke sungai bahkan sampai ke laut dan pada akhirnya menumpuk. Karena massanya yang ringan, sampah plastik akan berada di permukaan laut sehingga dapat menutupi permukaan laut. Sampah yang terbuang ke laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ekosistem laut dan membahayakan populasi yang ada di laut.
Kata kunci: Sampah Plastik, Kualitas Air, Ekosistem Laut.
I.
PENDAHULUAN
I. I. Latar Belakang
Menurut Atep Afia & M. Kholil (2018) Permukaan Planet Bumi meliputi dua
pertiga bagian ditutupi oleh perairan dan sepertiga oleh daratan. Jumlah penduduk
Planet Bumi terus meningkat, saat ini sudah melampaui tujuh milyar jiwa, hal
itu membuat kebutuhan terhadap sumberdaya alam termasuk air terus meningkat. Disisi
lainnya kebutuhan ruang yang terus meningkat justru mengancam keberadaan sumber
daya air. Kualitas dan kuantitas sumberdaya perairan terus mengalami degradasi,
makin banyak penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air yang sehat. Pencemaran
air terjadi dimana- mana , baik air tanah , sungai , danau bahkan sampai lautan
sekalipun.
Penelitian
yang dilakukan oleh University of Georgia di 192 negara yang memiliki garis
pantai, termasuk Indonesia menyebutkan bahwa sebesar 2,5 miliar metrik ton
sampah dihasilkan oleh negara-negara tersebut, dengan 275 juta metrik tonnya
(10%) adalah plastik. Sebanyak 8 juta metrik ton sampah plastik tersebut telah
mencemari laut. Hal yang mengejutkan adalah Indonesia dinyatakan sebagai
kontributor sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia, setelah Tiongkok,
dengan estimasi 0.48–1.29 juta metrik ton per tahun (Jambeck, 2015) dalam Teddy, 2018 .
Menurut Lutfi (2009) dalam Alex, 2011 , pada dasarnya bahan pencemar yang
mencemari perairan dapat dikelompokan menjadi : bahan pencemar organik, bahan
pencemar anorganik/mineral , bahan pencemar radioaktif dan bahan pencemar endapan/sedimen.
Dampak pencemaran tidak hanya membahayakan kehidupan biota dan lingkungan
laut, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia atau bahkan menyebabkan
kematian, mengurangi atau merusak nilai
estetika lingkungan pesisir, serta dapat merugikan secara sosial ekonomi ( Dahuri
dkk, 2001 ) dalam Alex, 2011. Dikemukakan lebih lanjut , dampak pencemaran
perairan daerah pesisir adalah sedimentasi, eutofrication,
anoxia, masalah kesehatan umum, pengaruh terhadap perikanan, kontaminasi trace element dalam rantai makanan serta
keberadaan spesies asing.
II.
PERMASALAHAN
Dari latar belakang yang sudah kita paparkan diatas , permasalahan yang
harus kita benahi adalah Langkah kita dan upaya kita untuk mengidentifikasi apa
saja permasalahan yang terjadi atas penurunan kualitas air di Indonesia semakin
berkurang serta penanggulangan pencemaran air yang mengakibatkan ekosistem laut
mengalami kerusakan dan pentingnya mengetahui bahaya sampah plastik untuk
generasi mendatang.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dampak Dari Bahaya Sampah Plastik
Baru-baru ini Indonesia digegerkan
oleh seekor paus sperma yang mati dan membusuk di Laut Wakatobi, Sulawesi
Tenggara pada November lalu. Sekitar 5,9 kg sampah plastik ditemukan di dalam
tubuh paus tersebut. Lokasi kematian mamalia laut yang berukuran 9,5 meter
tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi
yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut.
Disamping itu
kitapun dikejutkan oleh sebuah sampah
plastik mie instant yang ditemukan di Pantai Sendang Biru di selatan Kabupaten
Malang, Jawa Timur. Ironisnya, sampah tersebut telah berusia 19 tahun yang
ditemukan oleh seorang mahasiswi, Fianisa Tiara Pradani saat ia sedang
melakukan penelitian tentang Ilmu Kelautan di pantai tersebut. Foto sampah
bertuliskan "Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku" tersebut diunggahnya
melalui akun media sosial twitter-nya dan berhasil menyorot perhatian Menteri
Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti.
Tepatnya pada tahun 2018, masyarakat Indonesia
dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di laut akibat air laut yang
tercemar oleh sampah-sampah plastic Penny (2019).
Kualitas Air pun
menurun, daerah pesisir seakan sangat sulit untuk mendapatkan air bersih dan sehat pada musim
kemarau datang,
Tidak
dapat disangkal bahwa kehidupan manusia sangat bergantung dengan material
plastik. Sifatnya yang kuat, elastis, tahan lama, dan murah menjadikan
penggunaan material plastic melampaui sebagian besar materi buatan manusia
lainnya. Kurang lebih 8,3 miliar ton plastik telah diproduksi secara massal
sejak tahun 1950. Saat ini laut diperkirakan sudah menampung 150 juta ton
sampah plastik dengan 250 ribu tonnya terfragmentasi menjadi 5 triliun potongan
plastik. Laut diprediksi akan menampung 250 juta ton sampah plastik pada tahun
2050 (Gallo, 2018) dalam Teddy,
2018.
Dapat
dikatakan bahwa saat ini kita telah hidup dengan plastik yang tersebar di
seluruh alam. Bentuknya yang telah terfragmentasi menjadi ukuran mikro (bahkan
nano) dan menyebar hingga ke dasar laut menyebabkan mustahil bagi kita untuk
memungut seluruh sampah plastik yang ada di alam. Mengonsumsi plastik dapat
menyebabkan biota laut mengalami gangguan metabolisme, iritasi sistem
pencernaan, hingga menyebabkan kematian. Selain itu, sifatnya yang persisten
memungkinkan kandungan plastik yang berada lama di dalam tubuh biota laut
pindah ke manusia melalui skema rantai makanan. Kajian yang dilakukan lembaga
Ocean Conservancy menemukan bahwa 28% ikan di Indonesia mengandung plastik. Di
samping itu, plastik juga menyebabkan kematian terumbu karang.
Menurut
Pusat Penelitian Terumbu Karang Australia (ARC), terumbu yang terpapar limbah
plastik berpotensi 89% terkena penyakit, dibandingkan 4% yang tidak terkena
dampak limbah. Teori tersebut dibuktikan sekelompok peneliti asal Indonesia,
Amerika Serikat, Australia, dan Kanada yang mengamati kondisi 159 terumbu
karang antara tahun 2011-2014. Hasilnya, paparan limbah plastik pada terumbu
karang paling banyak muncul di Indonesia, yakni 26 bagian per 100 meter
persegi. Lebih luas lagi, sampah plastik di laut pada akhirnya menimbulkan
kerugian ekonomi secara global pada bidang perikanan, perkapalan, 14 pariwisata,
dan bisnis asuransi hingga mencapai 1,2 miliar dolar Amerika. Hal ini tentunya
berdampak besar bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang sangat
bergantung pada keberadaan laut dan hasil laut dalam (Teddy, 2018).
B. Faktor Tingginya Sampah Plastik
Menurut Penny (2019) Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya sampah
plastik yang tidak dikelola. Pertama, terkait sistem yang tidak memadai untuk
proses pengumpulan sampah. Proses ini hanya dilakukan para pemulung di jalanan,
atau petugas kebersihan yang mengangkat sampah-sampah dari tiap rumah tangga
dengan menggunakan truk. Pengumpulan sampah dengan cara ini belum bisa menjangkau
semua sampah. Ada 400 kabupaten di Indonesia yang tidak semuanya dilengkapi
dengan truk sampah.
Kedua, budaya masyarakat yang memprihatinkan, membuang sampah sembarangan
secara langsung ke laut atau sungai. Kebiasaan masyarakat Indonesia itu
sendirilah yang semakin memperparah alam. Sampah tak terurai ini tidak masuk ke
dalam proses pengumpulan yang dilakukan para pemulung maupun petugas
kebersihan, dan akhirnya mengotori ekosistem alam.
Menurut Susmarkanto (2002). Ditinjau dari sudut pandang antropologis
(sosial budaya), kecenderungan orang atau masyarakat untuk membuang limbah dan
kotoran ke sungai telah menjadi adat atau kebiasaan, sejak dahulu kala jauh
sebelum adanya sarana dan prasarana sanitasi lingkungan seperti : jamban
keluarga (WC) dan Tempat Sampah (TPS dan TPA).
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitet
dan Pembangunan, dikemukakan bahwa adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang
berfungsi sebagai pengatur kelakuan manusia. Oleh karena sistem kelakuan atau
perilaku masyarakat membuang limbah atau sampah tersebut sudah berlangsung lama
(turun temurun), maka tindakan atau konsepsi itu telah menjadi sistem nilai
budaya (culture value system) yang mempengaruhi pola berpikir mereka dan
menjadi pedoman berperilaku.
Ketiga, keterbatasan anggaran pemerintah. Di sisi lain, masyarakat tidak
bisa sepenuhnya disalahkan. Indonesia mempunyai banyak hambatan untuk
infrastruktur pelayanan sampah. Masyarakat seringkali membuang sampah
sembarangan karena tidak adanya tempat pengumpulan sampah atau TPA khusus di
sekitar tempat tinggalnya. Inilah yang menimbulkan perilaku masyarakat yang
bingung untuk membuang sampahnya.
Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan
pelayanan sampah di beberapa kabupaten yang tidak di fasilitasi infrastruktur
pelayanan sampah. Penny (2019)
IV. KESIMPULAN DAN
SARAN
Semakin
bertambah jumlah penduduk, maka semakin banyak pula sampah yang dihasilkan.
Semakin banyak sampah yang dihasilkan, berarti semakin banyak pula anggaran
pemerintah yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan sampah masyarakatnya.
Lalu apa tindakannya? Berikut adalah kesimpulan dan saran yang dapat penulis
ambil :
A. Kesimpulan
1) Perilaku
masyarakat dan industriawan dalam membuang limbah dan kotorannya ke sungai
merupakan sumber/faktor penyebab pencemaran lingkungan perairan sungai,
sehingga sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan yang berakibat lebih
lanjut penumpukan sampah ke laut
2) Konsepsi sungai
sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah telah menjadi adat kebiasaan dan
sistem nilai budaya masyarakat di perdesaan maupun di perkotaan. Perilaku
menyimpang ini mempunyai andil terhadap ekosistem laut
3) Pencemaran air
sungai sangat besar pengaruhnya bagi hajad hidup orang banyak karena berbagai
kepentingan terkait di dalamnya, antara lain untuk cuci, mandi, sumber air
minum, transportasi, perikanan dan irigasi sawah. Bahkan sungai juga dapat
dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, olah raga dan rekreasi. Namun dalam
perkembangan peradapan manusia
Dapat dikatakan bahwa saat ini kita
telah hidup dengan plastik yang tersebar di seluruh alam. Bentuknya yang telah
terfragmentasi menjadi ukuran mikro (bahkan nano) dan menyebar hingga ke dasar
laut menyebabkan mustahil bagi kita untuk memungut seluruh sampah plastik yang
ada di alam. Mengonsumsi plastik dapat menyebabkan biota laut mengalami
gangguan metabolisme, iritasi sistem pencernaan, hingga menyebabkan kematian.
A. Saran
Pertama, dalam segi pendidikan masyarakatnya , kita harus mengkampanyekan
bahwasanya sampah plastik sangat berbahaya bagi pencemaran air , khususnya bagi
eksositem laut dan manusia itu sendiri
Kedua, dari segi pemerintah yang harus mengeluarkan dengan tegas
kebijakan kebijakan untuk membatasi pengurangan sampah di Indonesia
Daftar Pustaka
[1]
|
Hidayat, Atep Afia dan M.Kholil. 2018. Kimia dan Pengetahuan
Lingkungan Industri. Penerbit WR. Yogyakarta
|
[2]
|
Teddy Prasetiawan, 2018, UPAYA MENGATASI SAMPAH PLASTIK DI LAUT, Vol. X, No.
10/II/Puslit/Mei/2018
|
[3]
|
Penny Lumbanraja. 2019. Dalam
( https://www.kompasiana.com/pennylraja/5d3e934a0d82302404292872/laut-indonesia-darurat-sampah-kita-harus-bagaimana ) diakses
31 Agustus 2019
|
[4]
|
Alex
Fransisca. 2011. Tingkat Pencemaran Perairan Ditinjau dari Pemanfaatan
Ruang di Wilayah Pesisir Kota Cilegon Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.
22 No. 2, Agustus 2011, hlm.145 - 160
|
[5]
|
Susmarkanto.
2002. PENCEMARAN LINGKUNGAN PERAIRAN
SUNGAI
SALAH SATU FAKTOR PENYEBAB
BANJIR DI JAKARTA .Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3, No. 1 Januari 2002 :
13-16
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.