HUJAN ASAM
@D04-Rizky
Oleh : Rizky Aditya Pradana
Kimia Kontekstual atau Kimia Kekinian berkaitan dengan beragam aspek kehidupan manusia. Pengkajian dan pembahasannya sangat tergantung pada isu atau persoalan apa yang sedang menjadi trending topics. Pembelajaran kimia kontekstual bisa berupa mengidentifikasi dan menjelaskan fenomena dan proses kimia yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan industri, lingkungan, energi, pangan, obat, polimer dll. Serta dapat memahami secara teori bahwasanya kimia merupakan ilmu pengetahuan yang sentral dan dapat menunjukkan keterkaitan ilmu kimia terhadap ilmu yang lain. (Hidayat dan Kholil, 2017)
Terdapat beberapa topik mengenai kimia konstektual, sepeti: energi dan minyak bumi, polimer dan plastik, kimia pangan, pencemaran udara, dan hujan asam. Namun seperti judul diatas, artikel ini akan membahas tentang hujan asam.
Hujan asam atau acid rain merupakan hujan yang terjadi secara alami yang bersifat asam (pH hujan norfermal 5,6) karena hasil reaksi dari uap air, karbon dioksida dan nitrogen di atmosfer. Pada kondisi tertentu sulfur oksida (SOx) dan nitrogen oksida (NOx) hasil pembakaran bahan bakar fosil akan bereaksi dengan molekul-molekul uap air di atmosfer menjadi asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3) yang selanjutnya turun ke permukaan bumi bersama air hujan yang dikenal dengan hujan asam.
Hujan asam dilaporkan pertama kali di Manchester, Inggris, yang menjadi kota penting dalam Revolusi Industri. Pada tahun 1852, Robert Angus Smith menemukan hubungan antara hujan asam dengan polusi udara. Istilah hujan asam tersebut mulai digunakannya pada tahun 1872. Ia mengamati bahwa hujan asam dapat mengarah pada kehancuran alam.
Walaupun hujan asam ditemukan pada tahun 1852, baru pada tahun 1970-an para ilmuwan mulai mengadakan banyak melakukan penelitian mengenai fenomena ini. Kesadaran masyarakat akan hujan asam di Amerika Serikat meningkat pada tahun 1990-an setelah di New York Times memuat laporan dari Hubbard Brook Experimental Forest di New Hampshire tentang banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam.
Hujan asam telah menimbulkan masalah besar di daratan Eropa dan Amerika serta di Negara Asia termasuk Indonesia. Dampak negatif dari hujan asam selain rusaknya bangunan dan berkaratnya benda-benda yang terbuat dari logam, juga terjadinya kerusakan lingkungan terutama pengasaman danau sehingga tidak ada lagi kehidupan akuatik, seperti yang terjadi di laut mati (yang sebenarnya adalah danau mati).
Pemakaian batu bara sebagai bahan bakar pada beberapa kegiatan industri seperti yang terjadi di negara Eropa Barat dan Amerika, menyebabkan kadar gas sulfur oksida (SOx) di udara meningkat. Hujan asam sangat merugikan karena dapat merusak tanaman maupun kesuburan tanah. Pada beberapa negara industri, hujan asam sudah banyak menjadi persoalan yang sangat serius karena sifatnya yang merusak. Hutan yang gundul akibat jatuhnya hujan asam akan mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin parah.
Selain tergantung dari pemecahan batu bara yang dipakai sebagai bahan bakar, penyebaran gas sulfur oksida (SOx) ke lingkungan juga tergantung dari keadaan meteorologi dan geografi setempat. Kelembaban udara juga mempengaruhi kecepatan perubahan sulfur oksida (SOx) menjadi asam sulfat maupun asam sulfit yang akan berkumpul bersama awan yang akhirnya akan jatuh sebagai hujan asam. Hujan asam inilah yang menyebabkan kerusakan hutan di Eropa (terutama di Jerman) karena banyak industri peleburan besi dan baja yang melibatkan pemakaian batu bara maupun minyak bumi di negeri itu.
Menurut Yatim, usaha untuk menanggulangi pencemaran dari pembakaran BBF (bahan bakar fosil) di pabrik dan instalasi listrik adalah dengan membangun cerobong asap yang tinggi. Dengan cerobong yang tinggi itu daerah sekitar pabrik dan pusat pembangkit listrik menderita sedikit atau bahkan bebas dari pencemaran. Tetapi, zat pencemar itu terbawa oleh angin ke tempat yang jauh. Jika jumlah zat pencemarnya sedikit, cara ini baik karena dengan penyebaran itu terjadi pengenceran zat pencemar. Akan tetapi, dengan makin banyaknya zat pencemar yang diproduksi, efek pengenceran tidak lagi cukup sehingga daerah yang jauh akhirnya menderita juga. Jadi, cerobong tinggi sebenarnya mempunyai efek membuang zat pencemar ke halaman tetangga.
Lalu bagaimana cara untuk menanggulangi hujan asam yang sebenarnya?
1. Gunakan bahan bakar dengan kandungan belerang rendah
Penggunaan gas alam akan mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini melalui pipa dan tempat lain menambah emisi metan, yang merupakan gas rumah kaca yang kuat. Usaha lain lagi ialah untuk menggunakan bahan bakar alternatif yang tidak mengandung belerang dan nitrogen, antara lain, metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi, penggantian haruslah dilakukan dengan hati-hati, karena penggantian itu dapat memecahkan satu masalah, tetapi menimbulkan masalah lain. Contohnya ialah metanol yang pada pembakaran menghasilkan dua sampai lima kali lebih banyak formaldehide daripada pembakaran bensin. Zat ini diketahui mempunyai sifat karsinogenik (penyebab kanker). Apabila metanol itu diproduksi dari batu bara, proses produksi dan pembakaran metanol menghasilkan 20% - 160% lebih banyak CO2 daripada bensin, yang juga merupakan gas rumah kaca.
2. Mengurangi kandungan belerang sebelum pembakaran
Kadar belerang dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi tertentu. Dalam proses produksi batubara, batubara biasa dicuci. Proses pencucian itu, yang bertujuan untuk membersihkan batubara dari pasir, tanah dan kotoran lain, juga mengurangi kadar belerang yang berupa pirit (belerang dalam bentuk besi sulfida) sampai 50% - 90%. Untuk mengurangi kadar belerang organik dalam batubara lebih sulit dan memerlukan teknologi yang lebih canggih.
3. Pengendalian pencemaran selama pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan NOx pada waktu pembakaran telah dikembangkan. Salah satu teknologi itu ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2007, II (1) 150 Dalam teknologi ini, kapur diinjeksikan ke dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan dengan menggunakan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk gypsum (kalsium sulfrat dihidrat). Penurunan suhu mengakibatkan penurunan pembentukan NOx, baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi hijau. Jakarta: Pantona Media
Yatim, M. Erni. 2007. Dampak dan Pengendalian Hujan Asam di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2007, II (1). Padang.
Pohan, Nurhasmawaty. 2002. Pencemaran Udara dan Hujan Asam. http://library.usu.ac.id/download/ft/kimia-nurhasmawaty2.pdf. Di akses tanggal 7 September 2017.
DAFTAR LINK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.