.

Selasa, 17 Mei 2022

Akibat Pencemaran Udara di Indonesia

 Oleh : Umayyah Mita Fadhilah (@V12-Umayyah)

 


Ringkasan

Pencemaran udara telah menjadi salah satu masalah lingkungan global yang menjadi perhatian dunia (Mulyadi, 2015). Survei yang dilakukan oleh World Health Organization - WHO (2002) di 1.600 kota yang tersebar di 91 negara di dunia menunjukkan bahwa hampir 90% orang-orang di pusat perkotaan menghirup udara yang tidak sehat. WHO juga menyatakan bahwa sekitar setengah dari penduduk dunia terkena pencemaran setidaknya dua setengah kali lebih tinggi dari baku mutu kualitas udara yang ditetapkan. Fenomena tersebut terutama dirasakan di negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai dampaknegatif dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (Basri, 2014).

Dari berbagai jenis zat pencemar udara, benda partikulat atau particulate matter berdiameter 10 mikron (PM10) mendapatkan perhatian khusus karena dinilai memiliki pengaruh lebih besar terhadap gangguan kesehatan manusia dibandingkan dengan zatzat pencemar lainnya. PM10 dapat dijadikan sebagai wakil dari zat-zat pencemar lain. Naik turunnya PM10 berasosiasi dengan zatzat pencemar lain yang berada di udara. Oleh karena itu, sebagai prediktor kesehatan PM10 mempunyai cakupan yang lebih luas. Pendapat senada dikemukakan oleh WHO (2011), yang menyatakan bahwa PM10 merupakan prediktor kesehatan yang baik.



Tinjauan

Laporan WHO dan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa penyebab kematian di Indonesia pada tahun 2011 didominasi oleh penyakit Non-Communicable Disease (NCD) atau Penyakit Tidak Menular (PTM) dengan proporsi 71% dari 1.551.000 kasus kematian total. Berdasarkan jenisnya, penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung, stroke, dan infark menjadi penyebab utama dari kematian (37%), kemudian diikuti oleh kanker (13%), penyakit pernapasan (7%), diabetes (6%), dan 10% penyakit PTM lainnya. Fakta tersebut mengindikasikan adanya korelasi yang erat antara tingginya konsentrasi PM10 dengan gangguan kesehatan, terutama PTM.

Strategi 

Dampak dari pencemaran udara terhadap kesehatan pada akhirnya akan menimbulkan beban ekonomi (economic burden) yang harus ditanggung oleh masyarakat. Beban ekonomi dari suatu penyakit meliputi tiga komponen biaya, yaitu: biaya langsung (direct cost), biaya tidak langsung (indirect cost), dan biaya yang bersifat tidak nyata(intangible cost). Biaya langsung berupa penggunaan sumberdaya untuk merawat dan mengobati sakit, yang dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu biaya kesehatan (medical cost), seperti biaya berobat dan jasa konsultasi medis serta biaya non-kesehatan (non-medical cost) seperti transportasi menuju dan akomodasi selama di tempat berobat. Biaya tidak langsung merupakan nilai sumber daya yang hilang, yang meliputi biaya morbiditas dan mortalitas, biaya pengobatan informal, dan biaya kehilangan akibat tindakan kriminal. Sementara itu, intangible cost merupakan jenis biaya yang sulit diukur karena terkait dengan perasaan, baik fisik dan psikologi, seperti sakit, menderita, dan tidak nyaman (Sangkey, 2011).

Penilaian dampak ekonomi dari pencemaran udara terhadap kesehatan seringkali dihindari karena dua kesulitan yang sekaligus menjadi masalah utama, yaitu: (1) menetapkan hubungan sebab-akibat secara langsung antara pencemaran dan gangguan kesehatan; (2) mengestimasi nilai moneter pada dampak kesehatan akibat pencemaran. Masalah pertama merupakan bagian dari studi tentang penilaian risiko epidemiologi (epidemiological risk assessment), terutama terkait dengan penentuan ada tidaknya hubungan sebabakibat (cause-effect relationship) (WHO, 2002). Studi ini melibatkan beberapa tahap penilaian, yaitu identifikasi risiko kesehatan, penilaian eksposur (paparan pencemar), penilaian doseresponse, dan yang terakhir adalah identifikasi karakter dari masing-masing risiko kesehatan.

Masalah kedua, yaitu estimasi nilai ekonomi dalam satuan moneter(sering disebut valuasi ekonomi) dari dampak kesehatan akibat pencemaran merupakan sesuatu yang cukup kompleks karena kesehatan bukanlah suatu komoditas pasar yang sederhana.Konsep ini didasarkan pada teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yang mengasumsikan bahwa kesehatan memiliki nilai selayaknya barang ekonomi lainnya, dan nilai tersebut dapat diperbandingkan. Secara lebih spesifik, teori tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat cukup rasional dalam mengambil keputusan yang bersifat ‘trade-off’antara risiko kesehatan (health risks) dan barang ekonomi lainnya (Septiyantie, 2013).

Daftar Pustaka

Septiyantie, UP., & Cahyadin. 2013. Hubungan Antara Realisasi Dana Bantuan Operasional Kesehatan dengan Indikator Gizi KIA di Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 2 (4).

Sengkey,SL., Jansen, F., Wallah, S., 2011. Tingkat Pencemaran Udara CO Akibat Lalu Lintas dengan Model Prediksi Polusi Udara Skala Mikro. Jurnal Kemas 1 (2): 119-126.

Mulyadi. 2015. Paparan Timbal Udara terhdap Timbal Darah, Hemoglabin, Cystatin C Serum Pekerja Pengecatan Mobil. Jurnal Kemas. 11 (1).

Basri, S. dkk. 2015. Analisis Risiko KEsehatan Lingkungan (Mdel Pengukuran Risiko Pencemaran Udara terhadap Kesehatan). Jurnal Kesehatan 7 (2).

http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=399



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.