Oleh : Umayyah Mita Fadhilah (@V12-Umayyah)
Ringkasan
Pencemaran udara telah menjadi salah satu masalah lingkungan
global yang menjadi perhatian dunia (Mulyadi, 2015). Survei yang dilakukan oleh
World Health Organization - WHO (2002) di 1.600 kota yang tersebar di 91 negara
di dunia menunjukkan bahwa hampir 90% orang-orang di pusat perkotaan menghirup
udara yang tidak sehat. WHO juga menyatakan bahwa sekitar setengah dari
penduduk dunia terkena pencemaran setidaknya dua setengah kali lebih tinggi
dari baku mutu kualitas udara yang ditetapkan. Fenomena tersebut terutama
dirasakan di negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai dampaknegatif
dari pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (Basri, 2014).
Dari berbagai jenis zat pencemar udara, benda partikulat
atau particulate matter berdiameter 10 mikron (PM10) mendapatkan perhatian
khusus karena dinilai memiliki pengaruh lebih besar terhadap gangguan kesehatan
manusia dibandingkan dengan zatzat pencemar lainnya. PM10 dapat dijadikan
sebagai wakil dari zat-zat pencemar lain. Naik turunnya PM10 berasosiasi dengan
zatzat pencemar lain yang berada di udara. Oleh karena itu, sebagai prediktor
kesehatan PM10 mempunyai cakupan yang lebih luas. Pendapat senada dikemukakan
oleh WHO (2011), yang menyatakan bahwa PM10 merupakan prediktor kesehatan yang
baik.
Tinjauan
Laporan WHO dan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa
penyebab kematian di Indonesia pada tahun 2011 didominasi oleh penyakit
Non-Communicable Disease (NCD) atau Penyakit Tidak Menular (PTM) dengan
proporsi 71% dari 1.551.000 kasus kematian total. Berdasarkan jenisnya,
penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung, stroke, dan infark menjadi
penyebab utama dari kematian (37%), kemudian diikuti oleh kanker (13%),
penyakit pernapasan (7%), diabetes (6%), dan 10% penyakit PTM lainnya. Fakta
tersebut mengindikasikan adanya korelasi yang erat antara tingginya konsentrasi
PM10 dengan gangguan kesehatan, terutama PTM.
Strategi
Dampak dari pencemaran udara terhadap kesehatan pada
akhirnya akan menimbulkan beban ekonomi (economic burden) yang harus ditanggung
oleh masyarakat. Beban ekonomi dari suatu penyakit meliputi tiga komponen
biaya, yaitu: biaya langsung (direct cost), biaya tidak langsung (indirect
cost), dan biaya yang bersifat tidak nyata(intangible cost). Biaya langsung
berupa penggunaan sumberdaya untuk merawat dan mengobati sakit, yang dibedakan
ke dalam dua jenis, yaitu biaya kesehatan (medical cost), seperti biaya berobat
dan jasa konsultasi medis serta biaya non-kesehatan (non-medical cost) seperti
transportasi menuju dan akomodasi selama di tempat berobat. Biaya tidak
langsung merupakan nilai sumber daya yang hilang, yang meliputi biaya
morbiditas dan mortalitas, biaya pengobatan informal, dan biaya kehilangan
akibat tindakan kriminal. Sementara itu, intangible cost merupakan jenis biaya
yang sulit diukur karena terkait dengan perasaan, baik fisik dan psikologi,
seperti sakit, menderita, dan tidak nyaman (Sangkey, 2011).
Penilaian dampak ekonomi dari pencemaran udara terhadap
kesehatan seringkali dihindari karena dua kesulitan yang sekaligus menjadi
masalah utama, yaitu: (1) menetapkan hubungan sebab-akibat secara langsung
antara pencemaran dan gangguan kesehatan; (2) mengestimasi nilai moneter pada
dampak kesehatan akibat pencemaran. Masalah pertama merupakan bagian dari studi
tentang penilaian risiko epidemiologi (epidemiological risk assessment),
terutama terkait dengan penentuan ada tidaknya hubungan sebabakibat (cause-effect
relationship) (WHO, 2002). Studi ini melibatkan beberapa tahap penilaian, yaitu
identifikasi risiko kesehatan, penilaian eksposur (paparan pencemar), penilaian
doseresponse, dan yang terakhir adalah identifikasi karakter dari masing-masing
risiko kesehatan.
Masalah kedua, yaitu estimasi nilai ekonomi dalam satuan
moneter(sering disebut valuasi ekonomi) dari dampak kesehatan akibat pencemaran
merupakan sesuatu yang cukup kompleks karena kesehatan bukanlah suatu komoditas
pasar yang sederhana.Konsep ini didasarkan pada teori ekonomi kesejahteraan
(welfare economics) yang mengasumsikan bahwa kesehatan memiliki nilai
selayaknya barang ekonomi lainnya, dan nilai tersebut dapat diperbandingkan.
Secara lebih spesifik, teori tersebut mengasumsikan bahwa masyarakat cukup
rasional dalam mengambil keputusan yang bersifat ‘trade-off’antara risiko
kesehatan (health risks) dan barang ekonomi lainnya (Septiyantie, 2013).
Daftar Pustaka
Septiyantie, UP., & Cahyadin. 2013. Hubungan Antara
Realisasi Dana Bantuan Operasional Kesehatan dengan Indikator Gizi KIA di
Provinsi Jawa Tengah pada Tahun 2012. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia 2
(4).
Sengkey,SL., Jansen, F., Wallah, S., 2011. Tingkat
Pencemaran Udara CO Akibat Lalu Lintas dengan Model Prediksi Polusi Udara Skala
Mikro. Jurnal Kemas 1 (2): 119-126.
Mulyadi. 2015. Paparan Timbal Udara terhdap Timbal Darah,
Hemoglabin, Cystatin C Serum Pekerja Pengecatan Mobil. Jurnal Kemas. 11 (1).
Basri, S. dkk. 2015. Analisis Risiko KEsehatan Lingkungan
(Mdel Pengukuran Risiko Pencemaran Udara terhadap Kesehatan). Jurnal Kesehatan
7 (2).
http://pustaka.poltekkes-pdg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=399
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.