.

Sabtu, 31 Agustus 2019

PENCEMARAN LINGKUNGAN PENYEBAB BANJIR SUNGAI DI JAKARTA


Oleh : Terbit K.S

ABSTRAK

Banjir sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Setiap kali musim hujan tiba, Kota Jakarta seolah tidak pernah terlepas dari pemberitaan seputar kejadian banjir yang melanda wilayahnya. Keadaan air sungai sekarang ini sangat memprihatinkan,beberapa masalah yang terjadi karena ulah manusia yaitu menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah rumah tangga dan tempat pembuangan limbah industri yang semakin banyak di jumpai di Seluruh pelosok negeri ini.sehingga

Dapat menyebabkan banjir karena ulah mereka sendiri. Mereka tidak sadar apa yang diperbuat telah merusak lingkungan daerah mereka sendiri, oleh karena itu diperlukan pencegahan dan solusi untuk mencegah terjadinya banjir akibat pencemaran di sungai tersebut .
Kata kunci : limbah pencemaran sungai dan banjir.

I. PENDAHULUAN

Pasca kejadian banjir besar pada tanggal 17 Januari 2013 yang menggenangi hampir seluruh wilayah DKI Jakarta dan sempat melumpuhkan segala aktivitas di ibukota, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan upaya antisipatif dengan menyelenggarakan Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Untuk Redistribusi Curah Hujan Dalam Rangka Tanggap Darurat Banjir di Provinsi DKI Jakarta dan Sekitarnya. Dari hasil evaluasi, pelaksanaan TMC di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang berlangsung selama 33 hari (26 Januari - 27 Februari 2013) dinilai cukup berhasil mengurangi intensitas curah hujan sebagai penyebab banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terlepas dari adanya tanggapan pro dan kontra dari masyarakat luas terkait pelaksanaan TMC untuk redistribusi curah hujan di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, satu hal yang bisa diambil positifnya adalah bahwa teknologi ini mulai dipercaya oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari upaya aksi mitigasi bencana banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang hampir selalu terjadi setiap tahun saat musim hujan tiba. Namun demikian perlu dipahami bersama bahwa upaya TMC dalam skema mitigasi bencana banjir di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya lebih bersifat “mengurangi resiko”, bukan berarti “menghilangkan resiko” banjir, karena bagaimana pun fenomena banjir sudah tidak dapat dipisahkan dengan wilayah DKI Jakarta.

Sejarah Banjir Jakarta 
 Sejarah mencatat banjir sudah mengakrabi Jakarta sejak awal pendirian kota ini oleh Pemerintah Hindia Belanda. Awalnya pada tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran sebagaimana Kota Amsterdam di Belanda. Kota Batavia (sekarang menjadi Jakarta) dibangun dengan dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal. Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda. Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus yang membelah Kota Batavia menjadi dua bagian. Namun demikian, sistem kanal yang telah dibangun ternyata tidak mampu mengatasi banjir besar yang melanda Batavia pada tahun 1932 dan 1933. Contoh bangunan kanal dan pintu air peninggalan jaman Belanda yang dahulu dibangun untuk mengatasi permasalahan banjir di wilayah Jakarta dan masih ada hingga kini antara lain Kanal Banjir Kalimalang, Pintu Air Matraman, dan Pintu Air Karet (sumber : Kompas, 18 Januari 2013).

II. PERMASALAHAN

limbah Manusia
Saat ini Planet bumi di huni oleh lebih dari tujuh miliar penduduk, tentu saja hampir saja setiap hari semua penduduk tersebut harus membuanga limbahnya sebagai sisa dari proses pencernaan makanannya. Pada dasarnya pengolahan limbah manusia masih dilakukan tradisional dan manual, kalau tidak ditimbun di septic tank, maka dibuang dan di alirkan langsung ke perairan. meskipun di beberapa negara saat ini sedang dikembangkan teknologi toilet kompos.prinsip kerja nya ialah perpaduan antara instrument dan bakteri aerob, yang merombak komposisi limbah menjadi sedemikian rupa, hingga terbentuknya kompos yang terbebas dari patogen yang berbahaya.

Limbah Industri
Limbah padat industri berarti limbah yang dihasilkan oleh proses manufaktur atau industri yang bukan merupakan limbah berbahaya. Limbah industri memiliki banyak sumber. Yang paling mencemari mereka adalah kotoran kota dan limbah industri yang dibuang ke sungai. Limbah industri didefinisikan sebagai limbah yang dihasilkan oleh proses manufaktur atau industri. Jenis limbah industri yang dihasilkan meliputi sampah kafetaria, tanah dan kerikil, batu bata dan beton, logam bekas, sampah, minyak, pelarut, bahan kimia, rumput rumput dan pepohonan, kayu dan kayu bekas dan limbah serupa.
Limbah padat industri – yang mungkin padat, cair atau gas yang tersimpan dalam wadah – terbagi menjadi limbah berbahaya dan tidak berbahaya. Limbah berbahaya dapat terjadi akibat proses manufaktur atau proses industri lainnya. Produk komersial tertentu seperti cairan pembersih, cat atau pestisida yang dibuang oleh perusahaan komersial atau individu juga dapat didefinisikan sebagai limbah berbahaya. Limbah industri yang tidak berbahaya adalah limbah yang tidak sesuai dengan definisi EPA tentang limbah berbahaya dan bukan limbah kota.
Kepadatan penduduk
Jumlah penduduk yang berlebihan yang menetap dalam suatu daerah atau lingkungan juga berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan .karena banyaknya tanah yang dipakai untuk pembangunan rumah dan pohon yang tergusur karena adanya proyek pembangunan sehingga tempat untuk resapan air tidak ada. Dan karena jumlah penduduk yang terlalu berlebihan tersebut membuat populasi sampah juga meningkat dan perilaku membuang sapah sembarangan seperti di sungai atau di selokan menghambat aliran air sehingga menimbulkan banjir.
III. PEMBAHASAN
Mengingat banjir sudah terjadi secara rutin, makin meluas, kerugian makin besar, maka perlu segera dilakukan upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi dampaknya, yang dapat dilakukan secara structural maupun non structural (Grigg, 1996 dalam Kodoatie dan Syarief, 2006). Upaya secara struktural a.l berupa tindakan menormalisasi sungai, pembangunan waduk pengendali banjir, pengurangan debit puncak banjir, dll. Upaya ini telah dilakukan di beberapa daerah. Selain beragam upaya tersebut, juga dilakukan early warning system (peringatan dini) supaya pihak yang terkait dapat melakukan antisipasi sejak dini sehingga dapat meminimalisir dampaknya. Upaya agar setiap rumah membuat sumur resapan untuk menampung air hujan, sehingga dapat mengurangi banjir dan menambah cadangan air tanah. Upaya non-struktural merupakan upaya penyesuaian dan pengaturan kegiatan manusia supaya harmonis dan serasi dengan lingkungan. Contoh upaya non-strktural adalah pengaturan maupun pengendalian penggunaan lahan atau tata ruang, penegakan peraturan/hukum, pengawasan penyuluhan kepada masyarakat, dll. Selain upaya tersebut, upaya pengendalian banjir dan dampaknya dapat dilakukan melalui 3 pendekatan utama yaitu memindahkan penduduk yang biasa atau akan terkena banjir, memindahkan banjirnya, mengkondisikan penduduk hidup bersama dengan banjir (Wisner et al, 2004). Dari 3 pendekatan tersebut yang sering dilakukan adalah mengendalikan banjirnya dan membiasakan penduduk hidup bersama banjir. Berbagai upaya tersebut telah banyak dilakukan di berbagai daerah, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, banjir masih terus terjadi dengan korban dan kerugian yang tidak sedikit. Upaya mengatasi banjir juga kadang-kadang ditentang penduduk karena mereka harus pindah atau direlokasi ke wilayah lain. Di Cieunteung, misalnya, untuk mengatasi banjir yang secara rutin merendam wilayah tersebut maka pemerintah kabupaten Bandung berencana membuat kolam retensi yang berfungsi untuk menampung air banjir. Pembangunan kolam retensi ini memerlukan lahan sehingga harus merelokasi penduduk. Hal ini tidak sepenuhnya disetujui penduduk Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 24/No. 3 Desember 2013 248 karena mereka harus pindah. Selain pembangunan kolam retensi juga dilakukan upaya lain seperti pengerukan sungai untuk normalisasi sungai, pembuatan tanggul penahan banjir, dll (Rosyidie dkk, 2012). Penanganan banjir secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak baik instansi teknis maupun lembaga lain yang terkait serta masyarakat. Kerjasama inter dan antar mereka harus dilakukan agar memperoleh hasil yang optimal. Melalui beragam upaya struktural dan non-struktural yang terpadu serta berkelanjutan maka kejadian banjir di masa mendatang dapat diperkecil baik kejadian maupun dampaknya. Upaya pengendalian banjir melalui pengelolaan DAS selama ini dianggap belum berhasil dengan baik antara lain karena kurangnya koordinasi atau keterpaduan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pengelolaan DAS termasuk dalam hal pembiayaannya. Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan, 2009). Masalah pengelolaan DAS semakin kompleks karena tidak sedikit pemerintah daerah yang belum memahami konsep pengelolaan DAS yang berbasis ekosistem dan lintas batas administrasi. Sikap lebih mengutamakan aspek ekonomi seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyebabkan konsep pengelolaan DAS terpadu yang mementingkan pelestarian ekosistem menjadi terabaikan (Departemen Kehutanan, 2009). 6. Penutup Bila kecenderungan pembangunan dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan masih seperti saat ini maka bencana banjir, dan bencana lain, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, akan lebih sering terjadi di banyak daerah dengan intensitas yang makin tinggi dan dampak yang semakin besar dan luas. Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi, lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata ruang Wilayah dan Kota serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya memperkecil kemungkinan dampak negatip yang terjadi serta memanfaatkan potensi dan peluang yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat setempat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Bila kecenderungan pembangunan dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan masih seperti saat ini maka bencana banjir, dan bencana lain, yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, akan lebih sering terjadi di banyak daerah dengan intensitas yang makin tinggi dan dampak yang semakin besar dan luas. Program pengendalian banjir sudah banyak dilakukan namun banjir (frekuensi, lamanya, intensitas, luas genangan) terus meningkat. Perubahan tata ruang atau guna lahan lebih banyak pengaruh atau kontribusinya terhadap terjadinya banjir dibandingkan dengan pembangunan fisik pengendali banjir. Perencanaan tata ruang Wilayah dan Kota serta upaya kerjasama berbagai pihak dan daerah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengelolaan bencana banjir khususnya memperkecil kemungkinan dampak negatip yang terjadi serta memanfaatkan potensi dan peluang yang tersedia di kawasan bencana banjir dengan tetap memperhatikan kondisi masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Atep Afia Dan M. Kholil. 2018. Kimia dan Pengetahuan Lingkunagan Industri. Penerbit WR. Yogyakarta
http://jurnalilmiahtp2013.blogspot.com/2013/12/pencemaran-sungai.html
http://journals.itb.ac.id/index.php/jpwk/article/viewFile/4110/2196


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.