Smart
City dalam Industri Hijau
Oleh
: arisa savitri eka pratiwi (G21-Arisa)
Abstrak
Industri
hijau dapat didefinisikan sebagai industri berwawasan lingkungan yang
menyelaraskan pertumbuhan dengan kelestarian lingkungan hidup, yang mengutamakan
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumberdaya alam serta bermanfaat bagi
masyarakat. Industry hijau dikaitkan dengan aktivitas perusahaan industry yang
merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industry yang
berbentuk perorangan, badan usaha, atau badan hokum dan berkedudukan di
Indonesia.
Kata
kunci : industri hijau, smart city, pengolahan air, membrane
Isi
Menurut Mustafa,
Visi Kota Cerdas/Smart City, adalah perkotaan masa depan, yang dikembangkan
agar memiliki lingkungan yang aman, terjamin, hijau serta efisien. Semua sistem
dan strukturnya – baik sumberdaya listrik dan gas, air, transportasi dan
sebagainya dirancang, dibangun, dan dikelola dengan memanfaatkan kemajuan di
bidang materi terintegrasi, sensor, elektronik, dan jejaring yang dihubungkan
dengan sistem komputer untuk database, pelacakan, dan algoritma untuk
pengambilan keputusan (Calvillo, Sanchez-Miralles, & Viilar, 2016). Untuk
mewujudkan hal ini diperlukan penelitian dan teknologi dari berbagai bidang
seperti Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Ilmu Komputer, serta Teknik-teknik
Sistem, Mekanika, Elektronika dan Sipil (Woinaroschy, 2016). Konsep kota cerdas
diperkenalkan untuk mengusahakan tersedianya kehidupan perkotaan yang baik bagi
penduduknya melalui pengelolaan optimal berbagai sumberdaya yang diperlukan.
Konsep kota cerdas merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk membuat
perkotaan menjadi nyaman untuk kehidupan penduduknya dan siap menghadapi
berbagai tantangan yang mungkin muncul. Tahun 2008 para walikota di Eropa telah
menyepakati kebijakankebijakan pembangunan kota berkelanjutan, yaitu mencapai
tujuan 20-20-20 (20% reduksi gas buang/emisi, 20% energi terbarukan, dan 20%
peningkatan efisiensi energi) pada tahun 2020 (Woinasroschy, 2016).
Kota cerdas
digambarkan dengan atribut kecerdasan dalam hal bangunan, infrastruktur,
teknologi, energi, mobilitas, penduduk, administrasi, dan pendidikan (Albino,
Berardi, & Dangelico, 2015). Atribut-atribut itu secara terintegrasi
diterapkan dalam mengelola sumberdaya, mengendalikan tingkat polusi, dan
mengalokasikan energi. Sebagai penggiat pengembangan ekonomi terutama pada
industri moderen seperti elektronik, teknologi informasi, bio dan
nanoteknologi, yang memainkan peran penting pada struktur dan pengelolaan kota
cerdas, industri kimia yang menerapkan prinsip Kimia Hijau dapat memainkan
peranan penting pada evolusi berkelanjutan kota cerdas. Untuk Indonesia,
standar kota cerdas sedang dikembangkan, yang didasarkan pada standar
internasional (Prihadi, 2016). Smart City atau kota cerdas memiliki 6 (enam)
indikator yaitu smart governance, pemerintahan transparan, informatif, dan
responsif; smart economy, menumbuhkan produktivitas dengan kewirausahaan dan
semangat inovasi; smart people, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
fasilitas hidup layak; smart mobility, penyediaan sistem transportasi dan
infrastruktur; smart environment, manajemen sumber daya alam yang ramah
lingkungan; dan smart living, mewujudkan kota sehat dan layak huni. Menurut
Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Suhono Harso
Supangkat, yang juga adalah inisiator kota cerdas di Indonesia, kota-kota besar
di Indonesia sedang berusaha mencapai standar kota cerdas, yang saat ini baru
tercapai pada level 60 (Prihadi, 2016). Belum sempurnanya kota cerdas di
Indonesia, menurut beliau, karena belum adanya sumber daya manusia yang
mencukupi yang menguasai berbagai teknologi pengeloaan kota cerdas dan belum
adanya satu kesatuan soal standar nasional pengelolaan kota cerdas (Prihadi,
2016). Dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 50 yang ditargetkan
oleh Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) dapat
memenuhi kriteria kota cerdas (Windhi, 2016). Pemerintah juga menunjuk lima
universitas untuk membuat kriteria nasional dan melakukan sosialisai mengenai
kota cerdas ini. Enam kriteria yang telah didefinisikan sebelumnya juga menjadi
pertimbangan tim Wantiknas ini. Indonesia telah mencanangkan kriteria kota
cerdas dengan menerbitkan Perpres Nomor 96 tahun 2014, yang mermuat Rencana
Pita Lebar Indonesia atau RPI, yang diharapkan dapat bermanfaat, terjangkau,
dan memberdayakan warga kota (Windhi, 2016). Indonesia telah merencanakan
tercapainya prinsip kota cerdas yang layak huni, aman dan nyaman pada 2025,
tercapainya kota hijau dan ketahanan terhadap perubahan iklim dan kejadian
bencana pada 2035, dan terciptanya kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis
teknologi pada 2045 (Barus, 2017). Peranan Ilmu dan Teknologi Kimia dalam
pembentukan kota cerdas, antara lain, dengan diperkenalkannya konsep Kimia
Hijau/Green Chemistry untuk pengelolaan pembangunan berkelanjutan.Kimia
Hijau/Green Chemistry, yang berfokus pada produksi dan teknologi penerapan Ilmu
Kimia yang ramah lingkungan, diperkenalkan pada awal 1990-an (Anastas &
Warner, 1998). Kimia hijau ini merupakan pendekatan untuk mengatasi masalah
lingkungan baik dari segi bahan kimia yang dihasilkan, proses, ataupun tahapan
reaksi yang digunakan. Konsep ini menegaskan tentang suatu metode yang
didasarkan pada pengurangan penggunaan dan pembuatan bahan kimia berbahaya baik
itu dari segi perancangan maupun proses. Bahaya bahan kimia yang dimaksudkan
dalam konsep Kimia Hijau ini meliputi berbagai ancaman terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan, termasuk toksisitas, bahaya fisik, perubahan iklim
global, dan penipisan sumber daya alam. Anastas dan Warner (1998) menguraikan
tentang konsep Kimia Hijau sebagai gabungan dari 12 prinsip. Prinsip pertama
menggambarkan ide dasar dari Kimia Hijau, yaitu pencegahan. Prinsip pertama ini
menegaskan bahwa pencegahan limbah lebih diutamakan daripada perlakuan terhadap
limbah. Selanjutnya prinsip pertama ini diikuti oleh prinsip-prinsip berikutnya
yang memandu pelaksanaan prinsip pertama. Prinsip-prinsip Kimia Hijau yang
dapat diterapkan untuk pembentukan dan pengelolaan kota cerdas, adalah atom
economy, penghindaran toksisitas, pemanfaatan solven dan media lainnya dengan
konsumsi energi seminimal mungkin, pemanfaatan bahan mentah dari sumber
terbarukan, serta penguraian produk kimia menjadi zat-zat nontoksik sederhana
yang ramah lingkungan (Dhage, 2013). Definisi aspek pengelolaan kota cerdas
adalah terdiri dari sistem pengelolaan air, infrastruktur, transportasi,
energi, pengelolaan limbah, dan konsumsi bahan mentah (Albino, Berardi, &
Dangelico, 2015). Dengan demikian Ilmu dan teknologi Kimia, melalui pendekatan
kimia hijau dapat membuat aspek-aspek ini dikembangkan dan dikelola dengan
lebih berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan efisiensi energi dan anggaran yang
lebih efektif dan pemanfaatan materi yang ramah lingkungan. Selanjutnya uraian
dalam artikel ini akan membahas peranan Ilmu dan Teknologi Kimia Hijau pada-pada
masing-masing aspek yang membangun kota cerdas.
Sistem
Pengelolaan Air
Di sebagian
kota-kota besar di Indonesia, pengelolaan air bersih, badan air, serta air
limbah masih belum sempurna. Banyak penduduk kota yang tidak punya akses kepada
air bersih dan sistem sanitasi standar yang sehat. Sebenarnya Indonesia
berkelimpahan air, namun sayangnya pengelolaan air masih belum sistematis.
Indonesia, bersama lima negara lain, yaitu Brazil, Cina,Kanada, Kolombia, dan
Rusia, menguasai 50% cadangan air tawar dunia (Andang, 2011). Namun demikian,
data Bank Dunia menunjukkan, 1 dari 2 orang Indonesia tidak mendapatkan akses
air bersih dan 50 ribu anak indoensia meninggal karena kurangnya air bersih.
Terbatasnya akses kepada air bersih karena tidak sistematisnya tata kelola
daerah aliran sungai/DAS dan pencemaran badan air air oleh kegiatan pertambangan,
antara lain emas, yang menimbulkan pencemaran logam berat merkuri, dan oleh
kegiatan industri yang membuang air limbah ke badan air tanpa menghilangkan zat
polutan yang terkandung dalam air limbah berbagai industri itu. Masyarakat yang
bermukim di pinggiran sungai juga membuang limbah rumah tangga mereka ke badan
air (sungai atau air tanah).
Masalah air
makin diperumit karena adanya masalah privatisasi air yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang menguasai mata air
sebagai sumber air perusahaan (Andang, 2011). Air yang mengalir di
sungai-sungai di perkotaan sudah sangat tercemar dengan berbagai limbah
sehingga airnya berwarna kehitaman. Penyedotan airtanah oleh penduduk dan oleh
industri sertagedung-gedung juga menyebabkan menurunnya ketersediaan dan
kualitas air tanah, terutama kota yang dekat dengan laut.
Pemerintah
Indonesia sudah mengusahakan perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi
(International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, 2015).
Sejak 2011 sekitar 55% penduduk Indonesia memiliki akses kepada perbaikan
pelayanan penyediaan air bersih dan 56% penduduk pada perbaikan pelayanan
sanitasi. Ini merupakan peningkatan sebanyak 17% untuk ketersediaan air bersih
dan 31% untuk ketersediaan sanitasi yang memadai sejak tahun 1993. Pemerintah
terus berusaha untuk mencapai tujuan penyediaan air bersih dan sanitasi yang
memadai bagi seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019.
Selanjutnya ada
hubungan yang erat antara pengelolaan air dan kebutuhan energi, yaitu air
diperlukan untuk menghasilkan energi seperti pada pembangkit listrik tenaga
air, dan air memerlukan jumlah energi yang besar untuk sistem penyediaan dan
distribusinya. Masalah diperberat dengan masih dimanfaatkannya sistem perlakuan
terhadap air limbah yang tidak ramah lingkungan. Lebih jauh lagi, dengan
berkembangnya Konsep Ekonomi Hijau, menyebabkan makin meningkatnya kebutuhan
akan air untuk menghidupi hijauan. Konsep ekonomi hijau muncul karena
kepedulian untuk mengurangi ketergantungan pada fossil-based economy, untuk
energi, transportasi, produksi materi dan berbagai zat kimia (Eickhout, 2012).
Sehubungan
dengan pemanfaatan air, kota-kota di Eropa mulai mengurangi konsumsi air
pribadi, meningkatkan efisiensi air pada proses irigasi, mengurangi keperluan
akan air pada berbagai proses pada semua industri, mengurangi air yang hilang
saat pendistribusiannya, dan mengurangi energi yang digunakan pada sektor
perairan. Inovasi-inovasi juga dikembangkan untuk mendaur ulang air yang telah
dimanfaatkan (grey water), mengenalkan prosesproses yang menerapkan pengurangan
konsumsi air di dunia industri dan teknik-teknik baru seperti penyaringan
dengan sistem nanofiltrasi (Woinaroschy, 2016). Keahlian di bidang industri
kimia akan bermanfaat mendapatkan solusi-solusi pengolahan dan daur ulang air
buangan dan pemenuhan konsumsi air 24 jam/hari dan 7 hari/minggu yang
berkelanjutan yang merupakan solusi yang layak secara ekonomi. Untuk
mendapatkan air bersih untuk skala perkotaan, peranan teknologi membran
penyaring air, yang digabungkan dengan dengan teknologi nanofiltrasi (NF) dan
reverse osmosis (RO) menjadi sangat penting.Teknologi pembuatan membran tentu
menerapkan prinsipprinsip kimia hijau, seperti pencegahan terhadap polusi lingkungan
oleh hasil buangan pembuatan membran tersebut. Secara komersial membran yang
tersedia adalah berbasis pada poliamida aromatik yang dibentuk menjadi Thin
Film Composite (TFC). Namun demikian membran yang berasal dari senyawa ini
memiliki kekurangan antara lain daya tahan rendah terhadap pembusukan,
stabilitas rendah terhadap pengaruh zat kimia dan panas, dan toleransi rendah
terhadap klorin. Untuk mengatasi hal ini Chaoyi (2010) mengembangkan membran
untuk RO dan NF. Membran pertama memiliki karakteristik tahan terhadap solven
(zat pelarut) dan bermuatan positif. Daya tahan terhadap solven ini
dikembangkan dengan melakukan cross-linking terhadap membran poliimida
menggunakan polietileninimina, sehingga menghasilkan membran yang tahan
terhadap hampir semua pelarut organik. Membran ini juga bermuatan positif
karena adanya gugus amina yang tersisa di permukaannya, yang berdampak
kemampuannya untuk menghilangkan secara selektif logam berat multivalensi
dengan efisiensi tinggi (95%).
Membran untuk RO
dan NF diharapkan memiliki karakter anti pembusukan, karena pembusukan pada
permukaan membran akan berdampak pada kebutuhan energi yang lebih tinggi, waktu
untuk membersihkan sehingga membran jadi tidak berfungsi sementara, dan
menurunkan umur produktif membran. Untuk pencegahan terhadap pembusukan maka
Chaoyi (2010) juga mengembangkan sistem membran baru dengan menggunakan teknik
pelapisan untuk memodifikasi sifat-sifat permukaan membran untuk menghindari
adsorpsi zat-zat pembusuk seperti humic acid. Satu lapisan dari polimer yang
larut dalam air seperti polivinil alcohol (PVA), poliakrilic acid (PAA),
polivinil sulfat (PVS) atau sulfonated poli (eter-eter-keton) diadsorbsikan ke
permukaan membran yang bermuatan positif. Membran yang dihasilkan memiliki
permukaan yang halus dan bermuatan hampir netral dan menunjukkan daya tahan
terhadap pembusukan yang lebih baik daripada membran NF yang bermuatan positif
dan membran yang tersedia secara komersial yang bermuatan negatif, NTR-7450.
Lebih jauh lagi membran yang dimodifikasi ini memiliki efisiensi tinggi untuk
menghilangkan ion-ion multivalensi (95% untuk kation maupun anion). Dengan
demikian pelapisan anti pembusukan ini sangat baik digunakan untuk penurunan
kesadahan air, untuk desalinasi air, dan perlakuan terhadap air limbah pada
proses membran bioreactor (MBR). Selanjutnya ada teknologi pengembangan membran
RO yang tahan panas. Membran RO yang tersedia secara komersial tidak dapat
digunakan pada temperatur lebih tinggi dari 450 C karena menggunakan senyawa
polisulfonat yang sering membatasi pemanfaatan membran tersebut untuk industri.
Untuk mengatasi hal ini Chaoyi (2010) berhasilpula mengembangkan poliimida
sebagai substrat membran untuk RO yang stabil pada lingkungan panas karena daya
tahan terhadap panas tinggi. Membran yang merupakan komposit poliamida berbasis
poliimida menunjukkan kinerja desalinasi yang sebanding dengan membran TFC yang
tersedia secara komersial, dengan kelebihan utama kestabilan pada lingkungan
panas tinggi. Saat diujicoba dengan menaikkan temperatur dari 250o C sampai
dengan 950o C, water flux meningkat 5 – 6 kali, dan penghilangan garam berhasil
dipertahankan konstan. Membran ini dapat menjadi solusi unik bagi desalinasi
air panas dan layak untuk digunakan meningkatkan produktivitas air dengan
meningkatkan temperature operasional tanpa mengurangi kemampuan penyaringan
garam. Selain mengatasi perolehan air bersih dengan menerapkan teknologi
membran untuk NF dan RO, sebaiknya diusahakan untuk penerapan 4 Rs untuk mengembangkan
sistem pengurangan pemakaian air (reduce), penggunaan kembali air untuk
berbagai keperluan sekaligus (reuse), mendaur ulang buangan air bersih
(recycle), dan pengisian kembali air tanah (recharge) (Joga, 2008). Sistem
pengolahan air dalam rumah tangga ini mengolah air limbah bersih dengan cara
mendaur ulang air buangan sehari-hari yang berasal dari air cuci tangan,
peralatan makan dan minum, kendaraan, dan bersuci diri, maupun air limbah yaitu
air buangan dari kamar mandi, sehingga dapat digunakan kembali yang dapat untuk
mencuci kendaraan, membilas kloset, dan menyirami taman. Sistem pengolahan air
ini termasuk juga membuat sumur resapan air (1 x 1 x 2 meter) dan lubang
biopori (10 sentimeter x 1 meter) sesuai kebutuhan untuk menangkap air hujan Selain
menerapkan biopori untuk menangkap air hujan, juga ada teknologi penjernihan
air sederhana. Untuk menjernihkan air sehingga tidak ada partikel halus dalam
air, dapat dilakukan penyaringan dengan melewatkan air itu pada sistem
penyaringan yang berisi karbon aktif dari arang, ijuk, pasir dan kerikil. Arang
dapat menyerap bakteri sehingga dapat sebagai sanitasi. Jika air sangat keruh
dapat ditambah kaporit dalam dosis kecil. Bahan-bahan penjernih air itu harus
secara berkala dibersihkan. Ide pemanfaatan membran dengan teknologi NF dan FO,
penerapan 4 Rs, dan biopori dicoba disatukan dalam pendekatan kolaborasi antar
keahlian, yaitu: Teknik Lingkungan, Teknik Industri, dan Biologi, Institut
Teknologi Sepuluh November, Surabaya, dengan menawarkan konsep Surabaya
Underground Aqua Project (Nurdin dkk, 2015). Inti gagasan ini adalah sebuah
inovasi teknologi pengelolaan air berskala kota yang menggunakan prinsip water
recycle untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan sebagai salah satu prinsip
pengelolaan air. Prinsip water recycle yaitu pengelolaan air di dalam kota
dilakukan dengan mengolah kembali campuran air limbah dan air hujan untuk
kemudian menjadi air minum sehingga akan tercipta kondisi lingkungan yang
berkelanjutan. Perencanaan Surabaya Underground Aqua Projectmembedakan antara
perencanaan instalasi dan jaringan distribusinya. Bagian instalasi terbagi atas
dua area, yaitu 1) area pengolahan air limbah dan air hujan dan 2) area
pengolahan air baku untuk air minum. Sementara itu, untuk bagian jaringan terbagi
atas dua jaringan perpipaan, yaitu 1) Sistem penyediaan air minum dan 2) Sistem
penyaluran air limbah dan air hujan. Seluruh instalasi dan jaringannya berada
di bawah tanah. Sistem ini nantinya menerapkan membran untuk mendapatkan air
berstandar air minum (Nurdin dkk, 2015).
Untuk menghidupkan
sebuah smart city tidak hanya dengan pengolahan air saja namun ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan seperti insfrastruktur, transportasi, energy,
pengolahan limbah, konsumsi bahan mentah.
Daftar
pustaka
Hidayat, Atep
Afia dan M. Kholil. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona
Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.