Oleh : Nuriel
Hanifan (@F25-Nuriel)
Kata Kunci :
Industri hijau, kebijakan industri hijau,
Pendahuluan
Pembangunan sektor
industri di Indonesia telah berjalan sekitar empat puluh lima tahun terhitung
sejak lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan
Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968. Selama 10 tahun
terakhir, industri memberikan kontribusi 25,45-28,96 persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan kecenderungan meningkat.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperkuat pendapatan dari sektor non-migas dan pertumbuhan sektor industri didorong hingga mencapai 8,5 persen pada tahun 2014 dan harus terus naik hingga rata-rata sebesar 9,75 persen pada periode 2020-2025.
Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperkuat pendapatan dari sektor non-migas dan pertumbuhan sektor industri didorong hingga mencapai 8,5 persen pada tahun 2014 dan harus terus naik hingga rata-rata sebesar 9,75 persen pada periode 2020-2025.
Namun untuk
mencapai target pembangunan ekonomi tersebut tidaklah mudah. Terdapat berbagai
tantangan bagi industri nasional untuk lebih berdaya saing seperti masalah
ketersediaan sumber daya yang semakin menipis juga ketergantungan terhadap
bahan baku impor hingga masalah timbulan limbah. Di tingkat global, tuntutan
agar diterapkannya standar industri yang menitikberatkan pada upaya efisiensi
bahan baku, air dan energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi
rendah karbon dengan sasaran peningkatan produktivitas dan minimalisasi limbah
semakin tinggi. Issue lingkungan saat ini menjadi salah satu hambatan
perdagangan (barriers to trade) untuk penetrasi pasar suatu negara. Barrier
tersebut dilaksanakan dengan cara menerapkan berbagai macam standar, baik itu
standar international (ISO, ekolabel) maupun persyaratan pembeli (buyer
requirement). Oleh karena itu dunia usaha perlu mengantisipasi hambatan yang
diterapkan oleh beberapa negara tujuan ekspor produk Indonesia.
Pembahasan
Industri Hijau
dapat didefinisikan sebagai industri berwawasan lingkungan yang menyelaraskan
pertumbuhan dengan kelestarian lingkungan hidup, mengutamakan efisiensi dan
efektivitas penggunaan sumberdaya alam serta bermanfaat bagi masyarakat
(Permenperin, 2011). Industri hijau dikaitkan dengan aktivitas perusahaan
industri yang merupakan perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha
industri yang berbentuk perorangan, badan usaha atau badan hukum dan
berkedudukan di Indonesia. Sementara dalam UU Perindustrian (2014) Pasal 1,
Ayat 3, dijelaskan bahwa Industri Hijau adalah Industri yang dalam proses
produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan sumber daya secara
berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan
kelestarian fungsi lingkungan hdup serta dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat (Hidayat, Atep Afia dan M. Kholil, 2017).
Penerapan industri
hijau dilakukan melalui konsep produksi bersih (cleaner production) melalui
aplikasi 4R, yaitu Reduce (pengurangan limbah pada sumbernya), Reuse
(penggunaan kembali limbah), dan Recycle (daur ulang limbah), dan Recovery
(pemisahan suatu bahan atau energi dari suatu limbah). Untuk lebih mengefektifkan
aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip Rethink (konsep pemikiran pada awal
operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi 5R. Disamping itu,
produksi bersih juga melibatkan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan bahan baku, bahan penunjang dan energi di seluruh tahapan produksi.
Dengan menerapkan konsep produksi bersih, diharapkan sumber daya alam dapat
lebih dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Secara singkat,
produksi bersih memberikan dua keuntungan, pertama efisiensi dalam proses
produksi; dan kedua adalah meminimisasi terbentuknya limbah, sehingga dapat
melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Berbagai program
terus dikembangkan untuk mendukung terwujudnya industri hijau, diantaranya :
1. Menyusun rencana induk pengembangan
industri hijau.
Rencana induk
merupakan arahan kebijakan dan panduan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
mengembangkan industri hijau di Indonesia. Dokumen ini memuat visi, misi,
roadmap dan rencana aksi pengembangan industri hijau sampai tahun 2030.
2. Konservasi energi dan pengurangan emisi CO2
di sektor industri.
Sektor industri
merupakan pengguna energi terbesar, dimana ± 47% energi nasional dikonsumsi
oleh kegiatan industri. Kebutuhan energi terus meningkat, sementara cadangan
sumber energi semakin menipis. Oleh sebab itu, harus ditingkatkan upaya
konservasi dan diversifikasi energi sehingga dapat terjaga keberlanjutan sektor
industri, disamping untuk memenuhi komitmen pemerintah Indonesia untuk
penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Sebagaimana diketahui pemerintah
Indonesia di Konvensi G-20 tahun 2009 di Pittsburg telah berkomitmen akan
menurunkan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020 apabila dilaksanakan secara
mandiri (tanpa bantuan donor internasional) dan menjadi 41% apabila dibantu
oleh donor internasional.
3. Penggunaan mesin ramah lingkungan.
Program ini telah
dimulai dengan melakukan restrukturisasi permesinan untuk industri tekstil dan
produk tekstil, alas kaki, dan gula. Kondisi permesinan di beberapa jenis industri
seperti tekstil, alas kaki, dan gula sudah tua sehingga boros dalam penggunaan
sumber daya dan menurunkan tingkat efisiensi produksi. Untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas, Kementerian Perindustrian melakukan program
restrukturisasi permesinan dengan memberi bantuan pembiayaan kepada industri
untuk pembelian mesin-mesin baru. Program yang dimulai sejak tahun 2007 telah
memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas, efisiensi
penggunaan sumber daya (bahan baku, energi dan air) serta mampu meningkatkan
penyerapan tenaga kerja.
4. Menyiapkan standar industri hijau.
Penyusunan standar
industri hijau bertujuan untuk melindungi kepentingan perusahaan industri dan
konsumen serta meningkatkan daya saing industri nasional dalam persaingan
global. Kegiatan ini telah dimulai pada tahun 2012 dengan menyusun standar
industri hijau untuk komoditi industri keramik dan industri tekstil. Penyusunan
standar ini akan dilakukan secara bertahap untuk semua komoditi industri.
Standar industri hijau pada awalnya akan bersifat sukarela (voluntary), tetapi
seiring dengan berkembangnya tuntutan pasar di masa depan dapat juga
diberlakukan secara wajib (mandatory).
5. Menyiapkan lembaga sertifikasi industri
hijau.
Bagi perusahaan
industri yang telah memenuhi standar industri hijau akan diberikan sertifikat
oleh suatu lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi. Saat ini Kementerian
Perindustrian sedang dalam proses penyiapan mekanisme dan lembaga sertifikasi
yang nantinya dapat diakui baik secara nasional maupun internasional.
6. Menyiapkan insentif bagi industri hijau.
Salah satu aspek
penting dalam mendorong pengembangan industri hijau adalah perlunya pemberian
stimulus berupa insentif (fiskal dan non fiskal) bagi pelaku industri untuk
mendorong dan mempromosikan iklim investasi bagi pengembangan industri hijau.
Investasi untuk industri hijau sangat besar, salah satunya adalah karena
diperlukan penggantian mesin produksi dengan teknologi yang ramah lingkungan,
oleh sebab itu diperlukan insentif dari pemerintah agar industri tetap bisa
tumbuh dan berkembang di Indonesia. Tanpa dukungan insentif, dikhawatirkan
industri bakal kalah bersaing, khususnya di pasar dalam negeri.
7. Penerapan produksi bersih.
Penerapan produksi
bersih di sektor industri telah dimulai sejak tahun 1990an. Berbagai program
telah dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian untuk mendorong pelaku
industri menerapkan produksi bersih, terutama untuk mendorong pelaku IKM agar
menerapkan produksi bersih. Program-program yang telah dilakukan diantaranya
adalah menyusun pedoman teknis produksi bersih untuk beberapa komoditi industri
dan memberikan bantuan teknis kepada beberapa industri.
8. Penyusunan katalog material input ramah
lingkungan
Penyusunan katalog
ini bertujuan untuk menyediakan informasi bagi pelaku industri dalam memilih
bahan baku dan bahan penolong yang lebih ramah lingkungan. Pada tahun 2012
telah disusun katalog untuk komoditi industri tekstil, keramik dan makanan.
Penyusunan katalog ini akan terus dilakukan dalam rangka mendorong pelaku
industri menuju industri hijau.
Menurut FFS (2016),
berbagai peluang bisnis bidang lingkungan (yang berkaitan dengan penerapan
Industri Hijau) antara lain dalam bidang :
Efisiensi energi,
yaitu dengan pengurangan konsumsi per unit energi melalui peningkatan
efisiensi.
a. Energi Terbarukan, yaitu pembangkit listrik atau panas dengan
menggunakan sumber energi dari mataharim anginm biomassa, panas bumi atau
sumber daya hidro.
b. Produk Cleaner, yaitu meminimalkan limbah dan emisi dari proses
industri dan memaksimalkan keluaran produk.
c. Carbon Finance, yaitu menyangkut keuangan karbon yang menyediakan
sumber daya keuangan untuk proyek-proyek atau program yang berhasil mengurangi
emisi gas rumah kaca (GRK) yang diverifikasi dan dijual dipasar karbon global.
d. Rantai pasok berkelanjutan, yaitu menyangkut pengelolaan isu lingkungan
dan sosial di seluruh rantai pasok dan menggabungkan standar keberlanjutan
antara off-taker dan pemasok, sekaligus memaksimalkan output produk, serta
menyediakan akses untuk membiayai pemasok kecil.
Melalui industri
hijau dapat dikembangkan perushaan-perusahaan yang bergerak dibidang daur ulang
limbah (termasuk pemurnian material), manajemen limbah, konsultan limbah,
penelitian limbah, pengangkutan limbah, peralatan penanganan limbah, penyewaan
lahan untuk mengelola limbah, pengolahan air limbah, dan sebagainnya. Begitu
pula untuk penanganan polusi udara, industri hijau memungkinkan untuk menjadi
inspirasi bagi didirikannya berbagai perusahaan yang bergerak dalam lingkup
tersebut.
Kesimpulan
Sektor industri di
Indonesia semakin tumbuh berkembang dengan pesat setiap tahunnya. Selama 10
tahun terakhir, industri memberikan kontribusi 25,45-28,96 persen terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan kecenderungan meningkat. Hal ini
sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperkuat pendapatan dari sektor
non-migas dan pertumbuhan sektor industri didorong hingga mencapai 8,5 persen
pada tahun 2014 dan harus terus naik hingga rata-rata sebesar 9,75 persen pada
periode 2020-2025. Selain memberikan dampak positif nagi negara, juga
memberikan dampak negatif terhadap permasalahan lingkungan terutama pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri serta pemanfaatan sumber daya
alam yang tidak efisien.
Untuk itu Industri
Hijau terus dikampanyekan untuk mengurangi degrasi lingkungan yang terus
terjadi dengan melalui konsep produksi bersih (cleaner production) melalui
aplikasi 4R, yaitu Reduce (pengurangan limbah pada sumbernya), Reuse
(penggunaan kembali limbah), dan Recycle (daur ulang limbah), dan Recovery
(pemisahan suatu bahan atau energi dari suatu limbah). Untuk lebih
mengefektifkan aplikasi penerapan produksi bersih, prinsip Rethink (konsep
pemikiran pada awal operasional kegiatan) dapat ditambahkan sehingga menjadi 5R.
Selain itu berbagai
program terus dikembangkan pemerintah untuk mendukung Industri Hijau di
Indonesia diantaranya :
1.
Menyusun rencana induk
pengembangan industri hijau.
2.
Konservasi energi dan pengurangan
emisi CO2 di sektor industri
3.
Penggunaan mesin ramah lingkungan.
4.
Menyiapkan standar industri hijau.
5.
Menyiapkan lembaga sertifikasi
industri hijau.
6. Menyiapkan insentif bagi industri hijau.
7.
Penerapan produksi bersih.
8.
Penyusunan katalog material input
ramah lingkungan
Daftar Pustaka
Hidayat, Atep Afia
dan M. Kholil (2017), Kimia Industri dan Teknologi Hijau. Patona Media :
Jakarta
Artikel Kebijakan
Pengembangan Industri Hijau (Green Industry) Kementerian Perindustrian (2013) http://greenlistingindonesia.com/berita-147-kebijakan-pengembangan-industri-hijau-green-industry-kementerian-perindustrian.html
http://recpindonesia.org/sites/default/files/Presentation%20Materials/Nd266%2004%20Standar%20Industri%20Hijau%202017-02-23%20bi.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.