Oleh: M. Abi Haykal
Mungkin kita
perna mendengar istilah mengenai pencemaran bunyi atau lebih sering polusi
suara (noice pollution). Lalu, mengapa suara/bunyi yang notabene hal sepele
dapat mencemari sebuah lingkungan? Mari bahas lebih jauh lagi.
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982, polusi atau pencemaran lingkungan
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen
lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Atau lebih
singkatnya dalah keadaan di mana masuknya suara yang masuk terlalu banyak
sehingga mengganggu kenyamanan lingkungan manusia.
Banyak
faktor yang melatarbelakangi jenis pencemaran ini namun yang pasti pencemaran suara cukup menjadi
ancaman serius bagi kualitas lingkungan terutama dibagian suasana. Sumber
pencemaran suara adalah kebisingan, yaitu bunyi atau suara yang dapat
mengganggu dan merusak pendengaran manusia. Bunyi disebut bising apabila
inetensitasnya telah melampaui 50 desibel. Suara dengan intensitas tinggi,
seperti yang dikeluarkan oleh banyak mesin industri, kendaraan bermotor, dan
pesawat terbang bila berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
lama dapat mengganggu manusia, bahkan menyebabkan cacat pendengaran yang
permanen (Aryulina
D. et.al., 2004).
Menurut
Agus Supangkat (2006), seperti
halnya di darat, di mana kemajuan setelah revolusi industri meningkatkan
tingkat kebisingan yang cukup mengganggu. Begitu juga terjadi di lautan.
Mungkin manusia tidak begitu merasakannya. Namun dampak dari kebisingan yang
terjadi di laut dapat di lihat perubahan perilaku mamalia laut. Laut sebagai
media, di dalamnya ada suara yang bersumber dari fenomena alam, seperti suara
yang dibangkitkan oleh hujan, gelombang, gempa bumi dll. Selain itu seiring
dengan industrialisasi, pertumbuhan kapal dan anjungan minyak lepas pantai,
serta peningkatan penggunaan sonar dalam navigasi dan riset, sehingga menambah
suara yang ada dalam lingkungan laut.
Sekitar
16,8 persen dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan pendengaran pada
1996. Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia terhadap 20.000 orang di tujuh provinsi itu
mencatat bahwa sekitar 38 juta penduduk Indonesia terganggu pendengarannya.
Sekarang ini sudah dilakukan inovasi baru dengan media pelepah pisang yang
dapat dijadikan material akustik yang mungkin menurunkan sedikit mengenai
resiko polusi bunyi yang berlebihan.
Berikut ini
merupakan dampak-dampak polusi suara bagi manusia
yang mungkin terjadi:
·
Gangguan
Fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi
sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba.
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi,
konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat
menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Bising dengan intensitas tinggi dapat
menyebabkan pusing/sakit kepala.
·
Gangguan
Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa
tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan
diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa
gastritis, jantung, stres, kelelahan dan lain-lain.
·
Gangguan
Komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya
disebabkan masking effect(bunyi yang menutupi pendengaran yang
kurang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Gangguan ini menyebabkan
terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena
tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. Gangguan komunikasi ini secara tidak
langsung membahayakan keselamatan seseorang.
·
Efek pada
pendengaran
Pengaruh utama dari bising pada
kesehatan adalah kerusakan pada indera pendengaran, yang menyebabkan tuli
progresif dan efek ini telah diketahui dan diterima secara umum dari zaman
dulu. Mula-mula efek bising pada pendengaran adalah sementara dan pemuliahan
terjadi secara cepat sesudah pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi
apabila bekerja terus-menerus di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan
tidak dapat normal kembali.
Berikut ini
adalah upaya apa saja untuk
meminimalisir polusi suara di tempat-tempat yang memiliki potensi
pencemaran suara menurut Y.B Mangunwijaya (1998):
1. Mendesain mesin / peralatan dengan kebisingan rendah.
2. Memberikan penghalang untuk mengontrol kebisingan.
3. Menggunakan alat / perangkat seperti penutup telinga.
4. Melindungi reseptor suara seperti membuat bangunan
yang bisa mengisolasi kebisingan dan membuatnya kedap suara.
Daftar
Pustaka
Aryulina D. et.al.
2004. Biologi SMA untuk Kelas X. Jakarta: Esis.
Supangkat, Agus. Maret 2006. Pencemaran Suara di
Laut. Majalah
INOVASI Vol.6/XVIII.
Dewi, Adella Kusmala. Januari 2015. Material Akustik
Serat Pelepah Pisang (Musa Acuminax Balbasiana Calla) Sebagai Pengendali Polusi
Bunyi. Jurnal Fisika Unand Vol 4, No. 1.
Khanafiah,
Siti, Upik Nurbaiti, Sukiswo supeni edi. 2004. Fisika lingkungan. Semarang : Badan penerbit
Universitas Diponegoro.
Mangunwijaya
, Y.B, Dipl, Ing. 1998. Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan.
D17-Nabila
BalasHapusapakah intensitas bunyi yang dapet diterima oleh setiap umur berbeda? jika iya coba sebutkan pada fakor apa yang membedakan mereka
@D14-Humairoh
BalasHapusBerapa besar frekuensi bunyi yang tidak menyebabkan polusi bunyi?