Pemanasan global semakin hari semakin meningkat,gelombang air laut kian besar/tinggi,serta pertambahan penduduk yang semakin besar.Maka banyak sekali limbah industri,rumah tangga yang di buang ke lingkungan tanpa pengolahan atau penetralisiran terlebih dahulu.Maka dari itu,Tanpa adanya suatu hutan bakau(hutan mangrove) mungkin akan terjadi abrasi besar dan parahnya air laut yang tercemar.Disini saya akan membahas tentang hutan mengrove itu sendiri.
Hutan
bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air
payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di
tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di
teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai
di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.Ekosistem
hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan
kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur
penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang
bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat
khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Gambar:https://images.search.yahoo.com/search/images;_ylt=AwrSbm5GdKZXmcUAyx9XNyoA;_ylu=X3oDMTE0M2RuZmtkBGNvbG8DZ3ExBHBvcwMxBHZ0aWQDQjIzNzFfMQRzZWMDcGl2cw--?p=hutan+mangrove&fr=tightropetb&fr2=piv-web#id=15&iurl=https%3A%2F%2Ffarm4.staticflickr.com%2F3170%2F2892287420_4f50c2e259_z.jpg&action=close
Hutan
bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling
khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.Luas hutan bakau di
Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di
dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97
ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Jenis
tumbuhan hutan bakau ini berbeda-beda, karena bereaksi terhadap variasi
(perubahan) lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi
tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah sebagai berikut :
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan,
substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau
tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di
beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada
pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah gambut.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan
hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan
ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang
lebih tenang.
Yang agak serupa adalah
bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni
yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak
begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau
juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami
genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan
kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di
pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang
tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi kondisi lingkungan
seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove; yang biasanya
berlapis-lapis, mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga
ke pedalaman yang relatif kering.
Adaptasi
lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan
yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian
berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang
ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji
sukar mempertahankan daya hidupnya.Hampir semua jenis flora hutan bakau
memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan
mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat
vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari
pohon.
Contoh yang paling dikenal
barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops)
atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan
mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada
tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di
lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada
bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke
tempat-tempat jauh.
Buah nipah (Nypa fruticans) telah
muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api,
kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula
berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya.
Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup
dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan
istilah propagul.
Propagul-propagul seperti ini
dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya,
bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut
lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama
perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa
jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya,
sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air.
Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang
berlumpur.
Berkembangnya
suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest succession atau sere).
Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah (disebut
hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi
hutan bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan
bergeser.
Suksesi dimulai dengan
terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai
substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh
propagul-propagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir
hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu
tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai,
pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran vegetasi, akan
diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur lambat
laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun
semakin meluas.
Pada saatnya bagian dalam hutan
bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak cocok lagi bagi pertumbuhan
jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora mucronata. Ke bagian
ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah zona yang
baru di bagian belakang.Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu
berpuluh hingga beratus tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan
hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian pedalaman yang
mengering.
Ada beberapa jenis
tumbuhan dijumpai di hutan bakau. Akan tetapi hanya sekitar 54 spesies dari 20
genera, anggota dari sekitar 16 suku, yang dianggap sebagai jenis-jenis
mangrove sejati. Yakni jenis-jenis yang ditemukan hidup terbatas di lingkungan
hutan mangrove dan jarang tumbuh di luarnya.Dari jenis-jenis itu, sekitar 39
jenisnya ditemukan tumbuh di Indonesia; menjadikan hutan bakau Indonesia
sebagai yang paling kaya jenis di lingkungan Samudera Hindia dan Pasifik. Total
jenis keseluruhan yang telah diketahui, termasuk jenis-jenis mangrove ikutan,
adalah 202 spesies.
Fungsi dan manfaat
Dari segi ekonomi, hutan mangrove
menghasilkan beberapa jenis kayu yang berkualitas baik, dan juga hasil-hasil
non-kayu atau yang biasa disebut dengan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), berupa
arang kayu; tanin, bahan pewarna dan kosmetik; serta bahan pangan dan minuman.
Termasuk pula di antaranya adalah hewan-hewan yang biasa ditangkapi seperti
biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang lumpur
(Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai
jenis ikan belodok.
Manfaat yang lebih penting dari
hutan bakau adalah fungsi ekologisnya sebagai pelindung pantai, habitat
berbagai jenis satwa, dan tempat pembesaran (nursery ground) banyak jenis ikan
laut.
Salah satu fungsi utama hutan
bakau adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta
meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu upaya
mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan membangun green belt atau sabuk
hijau berupa hutan mangrove. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah
dikategorikan rawan terkena tsunami karena hutan bakaunya sudah banyak beralih
fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.
Hutan Mangrove
sebagai Spawning Ground (Tempat Pemijahan)
Sebagai salah satu ekosistem
pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini
mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara
lain adalah sebagai spawning ground atau tempat pemijahan bagi organisme yang
hidup di padang lamun ataupun terumbu karang (Rochana, 2011).
Arisandi (1996) melaporkan bahwa
Pantai Timur Surabaya ditumbuhi vegetasi mangrove yang didominasi oleh jenis
pohon api-api (Avicennia marina). Ekosistem mangrove di Pantai Timur Surabaya
berpotensi sebagai bioakumulator logam berat. Dari hasil penelitian terhadap
kandungan logam berat tembaga (Cu) pada mangrove jenis Avicennia marina yang
dilakukan oleh Daru Setyo Rini Ssi (Peneliti Madya Lembaga Kajian dan
Konservasi Lahan Basah-ECOTON) pada tahun 1999 menunjukkan hasil bahwa pohon
api-api (Avicennia marina) di Muara Kali Wonorejo mengandung tembaga (Cu) di
bagian akar sebesar 8,1782 μg/gr, dibagian kulit batang sebesar 3,8844 μg/gr
dan di bagian daun sebesar 2,4649 μg/gr. Sedangkan rata-rata kandungan tembaga
(Cu) dalam sedimen di Muara Kali Wonorejo adalah 12,7277 μg/gr.
Kemampuan vegetasi mangrove dalam
mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan
estuari Pantai Timur Surabaya terhadap pencemaran logam berat. Pantai Timur
Surabaya diberitakan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu). Hal ini
merujuk pada penelitian Anwar (1996) yang menunjukkan bahwa darah masyarakat
nelayan di Kenjeran
mengandung tembaga (Cu) sebesar
2511,07 ppb dan merkuri (Hg) sebesar 2,48 ppb, padahal ambang batas tembaga
dalam darah menurut ketetapan WHO adalah 800-1200 ppb, (Rini, 1999).
Daftar Pustaka:
Erari,samuel sander.Mangimbulude,jubhar.Lewerissa,kirana.vol 8 No 1.2011.seminar nasional VIII pendidikan biologi
Saputro,hendra.Alfianto,tiyan.Arifullah,Dikky
Ristan.2011.Potensi mangrove sebagai penyerap logam berat wilayah pesisir
Annonim.2016.Hutan
mangrove.Ensiklopedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.