PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TAHU
Oleh: Yan Yan Apriyana(@G25-Yan)
Mahasiswa Teknik Industri, Universitas Mercubuana Jakarta
ABSTRAK
Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar
kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar
produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh industri skala kecil yang kebanyakan
terdapat di Pulau Jawa. Industri tersebut berkembang pesat sejalan dengan
peningkatan jumlah penduduk. Namun, di sisi lain industri ini menghasilakan
limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tahu membutuhkan air
untuk pemrosesannya, yaitu untuk prosees sortasi, peredaman, pengupasan kulit,
pencucian, penggilingan, perebusan dan penyaringan.
Kegiatan industri tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala kecil
dengan modal yang terbatas. Dari segi lokasi, usaha ini juga sangat tersebar di
seluruh wilayah Indonesia. Sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya
bertaraf pendidikan yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan
pengolahan limbah.
Kata Kunci:Limbah Tahu, Industri Tahu
Pengolahan Limbah
Cair Industri Tahu
Berbagai upaya
untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba dandikembangkan. Secara
umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut dapat digolongkan atas 3
jenis metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia maupun biologis.
1. Cara fisika
Merupakan
metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya padatan tersuspensi
atau koloid dari limbah cair. Dalam pengolahan limbah cair industri tahu secara
fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan
(sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring terutama
untuk menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan
tersuspensi dari limbah cair. Padatan tersuspensi yang lolos dari penyaringan
selanjutnya disisihkan dalam unit sedimentasi dengan menambahkan koagulan
sehinggga terbentuk flok. Proses ini termasuk proses kimia. Dalam sedimentasi,
flokflok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi.
2. Cara kimia
Merupakan
metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa polutan dalam limbah cair dengan
penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia lainnya. Beberapa proses yang
dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair industri tahu diantaranya
termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi. Dalam proses koagulasi-flokulasi,
partikel-partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan
negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid tersebut, sehingga
partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini
melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ionion bermuatan berlawanan dan
membentuk lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi partikel inti.
Selanjutnya lapisan kokoh (stern) yang bermuatan positif menarik ion-ion
negatif lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus).
Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel koloid dan
membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil
menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama
lainnya membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat
dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi.
Koagulasi pada
dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan cara
penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid, dengan
demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain
membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflokmikroflok yang telah terbentuk dengan
dibantu pengadukan lambat mengalami penggabungan menghasilkan makroflok
(flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara
pengendapan atau filtrasi.
Koagulan yang
biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan garam-garam
besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya endapan
lumpur yang dihasilkan , sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut. (Rahman.
2010)
3. Cara biologi
Dapat
menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan mikroorganisme atau
tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul kompleks
menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisme. Proses ini sangat peka terhadap
faktor suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat
beracun. Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri,
algae, atau protozoa Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat digunakan
termasuk gulma air (aquatic weeds).
Metode biologis
lainnya dapat dilakukan dengan Anaerobik, Anaerobik-Biogas, Aerobik, Kombinasi
Anaerobik dan Aerobik.
a. Pengolahan Limbah
Cair Anaerobik
Proses anaerobik
pada hakikatnya adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang
dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen bebas. Proses anaerobik dapat
digunakan untuk mengolah berbagai jenis limbah yang bersifat biodegradable,
termasuk limbah industri makanan salah satunya adalah limbah tahu.
Proses biologi
anaerobik merupakan sistem pengolahan air limbah tahu yang banyak digunakan.
Pertimbangan yang dilakukan adalah mudah, murah dan hasilnya bagus. Proses
biologi anaerobik merupakan salah satu sistem pengolahan air limbah dengan
memanfaatkan mikroorganisme yang bekerja pada kondisi anaerob. Kumpulan
mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek
organik menjadi metana. Selebihnya terdapat interaksi sinergis antara
bermacammacam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah.
Kelompok
bakteri non metanogen yang bertanggung jawab untuk proses hidrolisis dan
fermentasi tardiri dari bakteri anaerob fakultatif dan obligat. Mikroorganisme
yang diisolasi dari digester anaerobik adalah Clostridium spp., Peptococcus
anaerobus, Bifidobacterium spp., Desulphovibrio spp., Corynebacterium
spp., Lactobacillus, Actonomyces, Staphylococcus, and Eschericia
coli (Metcalf and Eddy, 2003).
Ada tiga
tahapan dasar yang termasuk dalam keseluruhan proses pengolahan limbah secara
oksidasi anaerobik, yaitu : hidrolisis, fermentasi (yang juga dikenal dengan
sebutan asidogenesis), dan metanogenesis (Metcalf and Eddy, 2003). Selama
proses hidrolsis, bakteri fermentasi merubah materi organik kompleks yang tidak
larut, seperti selulosa menjadi molekul-molekul yang dapat larut, seperti asam
lemak, asam amino dan gula. Materi polimer komplek dihidrolisa menjadi
monomer-monomer, contoh : selulosa menjadi gula atau alkohol. Molekul-molekul
monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok bakteri selanjutnya.
Hidrolisis molekul kompleks dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti
selulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian proses penguraian anaerobik
sangat lambat dan menjadi terbatas dalam penguraian limbah selulolitik yang
mengandung lignin.
Pada proses
fermentasi (asidogenesis), bakteri asidogenik (pembentuk asam) merubah gula,
asam amino, dan asam lemak menjadi asam-asam organik (asam asetat, propionate,
butirat, laktat, format) alkohol dan keton (etanol, methanol, gliserol dan
aseton), asetat, CO2 dan H2. Produk utama dari proses fermentasi ini adalah
asetat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi tergantung jenis bakteri dan
kondisi kultur seperti pH dan suhu.
Proses
metanogenesis dilaksanakan oleh suatu kelompok mikroorganisme yang dikenal
sebagai bakteri metanogen. Ada dua kelompok bakteri metanogen yang dilibatkan
dalam proses produksi metan. Kelompok pertama, aceticlastic methanogens,
membagi asetat ke dalam metan dan karbondioksida. Kelompok kedua, hidrogen
memanfaatkan metanogen, yaitu menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan
CO2 sebagai aseptor elektron untuk memproduksi metan. Bakteri di dalam proses
anaerobik, yaitu bakteri acetogens, juga mampu menggunakan CO2 untuk
mengoksidasi dan bentuk asam asetat. Dimana asam asetat dikonversi menjadi
metan. Sekitar 72% metan yang diproduksi dalam digester anaerobik adalah
formasi dari asetat.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses anaerobik (Monnet, 2003) yaitu :
·
Suhu.
Proses
anaerobik dapat terjadi dibawah dua kisaran kondisi suhu, yaitu kondisi
mesopilik, yaitu antara 20-45oC, pada umumnya 35oC dan kondisi thermopilik,
yaitu antara 50-65oC, pada umumnya 55oC. Suhu yang optimal dari proses
anaerobik bervariasi tergantung pada komposisi nutrient di dalam digester,
tetapi kebanyakan proses anaerobik seharusnya dipelihara secara konstan untuk
mendukung tingkat produksi gas. Digester termopilik lebih efisien dalam hal
waktu tinggal, tingkat kapasitas, dan jumlah produksi gas, tetapi di lain hal
membutuhkan input panas yang lebih tinggi dan mempunyai sensitivitas yang
tinggi yang membuat proses lebih problematik daripada digesti mesopilik.
· Waktu Tinggal.
Waktu tinggal adalah waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai proses degradasi materi-materi organik yang sempurna. Waktu
tinggal bervariasi dengan memproses parameter-parameter, seperti memproses suhu
dan komposisi limbah. Waktu tinggal untuk limbah yang diperlakukan dalam
digester mesopilic dalam kisaran 15-30 hari dan 12-14 hari untuk digester
termopilik.
· pH.
Nilai pH yang
optimal untuk proses asidogenesis dan metanogenesis berbedabeda. Selama proses
asidogenesis dibentuk asetat, laktat, dan asam propionat, dengan demikian pH
turun. pH yang rendah dapat menghambat proses asidogenesis dan nilai pH dibawah
6,4 dapat bersifat racun untuk bakteri pembentuk metan (pH optimal untuk proses
metanogenesis adalah antara 6,6-7). Kisaran pH optimal untuk semua yaitu antara
6,4-7,2.
·
Rasio Karbon
dan Nitrogen (C:N).
Hubungan antara
jumlah karbon dan nitrogen yang hadir dalam materi organik di gambarkan oleh
rasio C : N. Rasio optimal C : N dalam proses anaerobik antara 20 : 30. Rasio C
: N yang tinggi mengidikasikan adanya konsumsi nitrogen yang cepat oleh bakteri
metanogen dan menghasilkan produksi gas yang rendah. Selain itu rasio C : N
yang rendah menyebabkan akumulasi ammonia dan nilai pH yang melebihi 8,5 dan
ini bersifat racun bagi bakteri matanogen.
· Mixing.
Mixing di dalam
digester, meningkatkan kontak antara mikroorganisme dengan substrat dan
meningkatkan kemampuan populasi bakteri untuk memperoleh nutrisi. Mixing juga
membangun gradien suhu di dalam digester. Mixing yang berlebihan dapat merusak
mikroorganisme dan oleh karena itu mixing yang lambat lebih disukai.
b. Anaerobik – Biogas
Secara umum
proses anaerobik akan menghasilkan gas Methana (Biogas). Biogas (gas
bio) adalah gas yang dihasilkan dari pembusukan bahan-bahan organik oleh
bakteri pada kondisi anaerob (tanpa ada oksigen bebas). Biogas tersebut
merupakan campuran dari berbagai macam gas antara lain : CH4 (54%-70%), CO2
(27%-45%), O2 (1%-4%), N2 (0,5%-3%), CO (1%), dan H2 <<<<< (KLH,
2006). Sifat penting dari gas metan ini adalah tidak berbau, tidak berwarna,
beracun dan mudah terbakar. Karena sifat gas tersebut, maka gas metan ini
termasuk membahayakan bagi keselamatan manusia (Sugiharto, 2005).
Penggunaan
biogas ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi pencemaran lingkungan,
karena dengan fermentasi bakteri anaerob (bakteri metan) maka tingkat
pengurangan pencemaran lingkungan dengan parameter BOD, COD akan berkurang
sampai 90%. Sistem ini banyak dipakai dengan pertimbangan ada manfaat yang bisa
diambil yaitu pemanfaatan biogas yang sangat memungkinkan digunakan sebagai
bahan sumber energi karena gas metan sama dengan gas elpiji (liquid petroleum
gas/LPG), perbedaannya adalah gas metan mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji
lebih banyak. Contoh pemanfaatan biogas misalnya untuk memasak, lampu
penerangan, listrik generator, dan dapat menggantikan bahan bakar yang lain,
dsb (KLH, 2006).
Ada dua tipe
alat pembangkit biogas atau digester (LIPI, 2006), yaitu:
·
Tipe Terapung
(Floating Type)
Tipe terapung
ini banyak dikembangkan di India yang terdiri atas sumur pencerna dan diatasnya
ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas
yang dihasilkan oleh digester. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan
yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan
semen. Karena banyak dikembangkan di India, maka digester ini disebut juga
dengan tipe India.
· Tipe Kubah (Fixed
Dome Digester)
Tipe ini
merupakan tipe yang paling banyak dipakai di Indonesia. Tipe kubah adalah
berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat dengan
bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan
berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Tipe ini dikembangkan di
Cina sehingga disebut juga tipe kubah atau tipe Cina.
Dengan sistem
anaerobik-biogas, gas yang dihasilkan tergantung pada kandungan protein, lemak
dan karbohidrat yang terkandung dalam limbah, lamanya waktu pembusukan minimal
30 hari karena semakin lama pembusukan semakin sempurna prosesnya, suhu di
dalam digester yaitu 15oC-35oC, kapasitas kedelai minimal untuk dapat
menghasilkan biogas adalah ± 400 kg, untuk produksi tahu dengan kapasitas
kedelai 700 kg/hari dihasilkan tidak kurang dari 10.500 liter gas bio per hari,
kebutuhan satu rumah tangga dengan 4-5 orang anggota ± 1.200 – 2.000 liter gas
bio per hari (KLH, 2006).
Adapun sistem
pengolahan biogas meliputi inlet (masuknya air limbah), bak equalisasi, bak
pengendapan, bak Anaerobik Filter, bak peluapan, bak pengurasan, dan
outlet (keluarnya air limbah yang telah diolah) (KLH, 2006).
Keuntungan atau
keunggulan dari sistem anaerobik-biogas adalah mengurangi potensi kerusakan
hutan yaitu mengurangi penebangan pohon yang digunakan untuk kayu bakar,
mencegah erosi tanah, dan menghemat pemakaian bahan bakar minyak.
Biogas
merupakan energi yang ramah lingkungan dan merupakan cara yang aman untuk
menempatkan bahan organik jika dikelola dengan baik, sehingga meningkatkan
sanitasi dan kesehatan lokal. Sisa padatan dari produksi biogas (lumpur hasil
pembangkitan biogas) dapat digunakan untuk pembuatan pupuk kompos. Ini dapat
mengurangi polusi air tanah dan meningkatkan kualitas udara. Gas metan termasuk
gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas karbon dioksida CO2
memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan
global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam
upaya penyelesaian permasalahan global (efek rumah kaca), sehingga upaya ini
dapat diusulkan sebagai bagian dari program internasional Mekanisme Pembangunan
Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) (Inforce, 2006).
Untuk biogas
ini sistem yang diterapkan harus dirawat dan dibersihkan secara periodik untuk
menghilangkan lumpur (residu padatan) hasil pembangkitan biogas dan tindakan
pencegahan serta keselamatan untuk sistem pendistribusian gas harus terus
diamati.
c. Pengolahan Limbah
Cair Sistem Aerobik
Pada pengolahan
air limbah tahu proses biologi aerobik merupakan proses lanjutan untuk
mendegradasi kandungan senyawa organik air limbah yang masih tersisa setelah
proses anaerobik. Sistem penanganan aerobik digunakan sebagai pencegah
timbulnya masalah bau selama penaganan limbah, agar memenuhi persyaratan
effluent dan untuk stabilisasi limbah sebelum dialirkan ke badan penerima
(Jenie dan Rahayu, 1993).
Proses
pengolahan limbah aerobik berarti proses dimana terdapat oksigen terlarut.
Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan molekul oksigen sebagai aseptor
elektron akhir adalah proses utama yang menghasilkan energi kimia untuk
mikroorganisme dalam proses ini. Mikroba yang menggunakan oksigen sebagai
aseptor elektron akhir adalah mikroorganisme aerobik (Jenie dan Rahayu, 1993).
Pengolahan limbah dengan sistem aerobik yang banyak dipakai antara lain dengan
sistem lumpur aktif, piring biologi berputar (Rotating Biological Contractor =
RBC) dan selokan oksidasi (Oxidation Ditch).
d. Pengolahan Limbah
Sistem Kombinasi Anaerobik-Aerobik
Secara umum
proses pengolahan kombinasi ini dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses
penguraian anaerobik dan yang kedua proses pengolahan lanjut dengan sistem
biofilter anaerobik-aerobik.
·
Penguraian
anaerobik.
Limbah yang
dihasilkan dari proses pembuatan tahu dikumpulkan melalui saluran limbah,
kemudian dialirkan ke bak kontrol untuk memisahkan buangan padat. Selanjutnya
limbah dialirkan ke bak pengurai anaerobik. Di dalam bak pengurai anaerobik
tersebut pencemar organik yang ada dalam limbah akan diuraikan oleh
mikroorganisme secara anaerobik, menghasilkan gas hidrogen sulfida dan metana
yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Pada proses tahap pertama efisiensi
penurunan nilai COD dalam limbah dapat mencapai 80-90%. Air olahan tahap awal
ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem kombinsi
anaerobik-aerobik dengan menggunakan biofilter (Herlambang, 2002).
·
Proses
pengolahan lanjut.
Proses
pengolahan limbah dengan proses biofilter anaerobik-aerobik terdiri dari
beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerobik, biofilter
aerobik, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak klorinasi.
Limbah yang berasal dari proses penguraian anaerobik (pengolahan tahap pertama)
dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan
kotoran lainnva. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak
pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan,
pengurai lumpur dan penampung lumpur (Herlambang, 2002).
Air limpasan
dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak anaerobik dengan arah
aliran dari atas ke bawah (down flow) dan dari bawah ke atas (up flow). Di
dalam bak anaerobik tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil
dan batu pecah. Jumlah bak anaerobik ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai
dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat
organik yang ada dalam limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik. Setelah
beberapa hari, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film
mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang
belum sempat terurai pada bak pengendap awal. Air limpasan dari bak anaerobik
dialirkan ke bak aerobik. Di dalam bak aerobik ini dapat diisi dengan media
dari bahan kerikil atau plastik atau batu apung atau bahan serat sesuai dengan
kebutuhan atau dana yang tersedia, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara,
sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam
air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian
limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang, tersuspensi dalam air maupun
yang menempel pada permukaan media (Herlambang, 2002).
Dari proses
tersebut efisiensi penguraian zat organik dan deterjen dapat ditingkatkan serta
mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan amonia menjadi
lebih besar. Proses ini sering dinamakan aerasi kontak (contact aeration). Dari
bak aerasi, limbah dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini kembali
ke bagian awal bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan
dialirkan ke bak klorinasi (Herlambang, 2002).
Di dalam bak
klorinasi ini limbah direaksikan dengan klor untuk membunuh mikroorganisme
patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses klorinasi dapat
langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses
anaerobik-aerobik tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD) juga
menurunkan amonia, deterjen, muatan padat tersuspensi (MPT) fosfat dan lainnva.
Dengan adanya proses pengolahan lanjut tersebut, nilai COD dalam air olahan
yang nilai COD dalam air olahan yang dihasilkan akan relatif rendah
(Herlambang, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Kaswinarti Fibria. 2007. Studi Kasus Industri Tahu
Tandang Semarang, Sederhana Kendal dan Gagak Sipat Boyolali,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.