Abstrak
Relatif cepatnya pertambahan jumlah
penduduk dibarengi dengan perubahan dinamika sosial budaya masyarakat yang
cenderung bersifat materialistik dan konsumtif serta perkembangan ipteks dan
politik yang relatif cepat, telah banyak memunculkan kota-kota baru dan
mendorong kota-kota yang sudah ada berkembang secara ekonomis dengan berbagai
fasilitas infrastruktur fisik kota yang umumnya mengabaikan faktor lingkungan
kota tersebut.
Hal tersebut telah mengakibatkan ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) di banyak wilayah perkotaan dialihfungsikan menjadi lahan terbangun (kawasan perkantoran, pemukiman, industri, dan sarana-prasarana kota lainnya). Fenomena tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan kota yang menyebabkan tidak terwujudnya suatu ekosistem kota hijau, tetapi menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kota yang tidak nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat untuk ditinggali oleh penghuninya. Dalam hal ini, secara teoritis suatu ekosistem kota hijau (green urban) dapat dicapai dengan menerapkan konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan. Secara konseptual, Pembangunan Kota Berkelanjutan memerlukan berbagai upaya untuk melestarikan daya dukung lingkungan ekosistem kota yang dapat menopang secara berlanjut terhadap berbagai aktivitas pembangunan kota yang direncanakan dan menggeser keserasian/keseimbangan serta daya lenting lingkungan ke kondisi lingkungan yang kondusif untuk menopang ekosistem kota yang diharapkan (dalam hal ini kota hijau). Inti dari ekosistem kota hijau tersebut adalah keanekaragaman hayati (tingkat genetik, spesies, dan ekosistem) yang menyebabkan suatu ekosistem kota berfungsi optimal secara berkelanjutan didalam menghasilkan beragam jenis produk dan jasa lingkungan yang penting untuk menunjang perikehidupan makhluk hidup, khususnya masyarakat kota tersebut. Elemen penggerak dalam tatanan suatu keanekaragaman hayati adalah vegetasi yang dalam suatu tata ruang kota menempati elemen RTH, baik berupa RTH alami maupun RTH binaan yang dibangun di lahan publik maupun lahan non-publik di kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya. Suatu RTH kota diarahkan untuk berperan sebagai fungsi ekologis yang merupakan fungsi utama dan fungsi keindahan/arsitektur, sosial budaya, dan ekonomi sebagai fungsi penunjang untuk mengoptimalkan fungsi suatu kota hijau. Secara maknawiah, pengelolaan keanekaragaman hayati (PKH) berkaitan erat dengan pengelolaan suatu RTH kota yang ditumbuhi oleh masyarakat tumbuhan (terutama pepohonan) yang dapat berperan sebagai habitat beragam jenis fauna yang saling berinteraksi diantara keduanya dan dengan fisik lingkungannya membentuk suatu persekutuan hidup yang utuh sebagai suatu ekosistem kota. Spektrum PKH di suatu wilayah perkotaan meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum untuk melestarikan fungsi ekologis, sosial budaya, ekonomi, dan estetika dari suatu ekosistem kota hijau yang diharapkan.
Hal tersebut telah mengakibatkan ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) di banyak wilayah perkotaan dialihfungsikan menjadi lahan terbangun (kawasan perkantoran, pemukiman, industri, dan sarana-prasarana kota lainnya). Fenomena tersebut menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan kota yang menyebabkan tidak terwujudnya suatu ekosistem kota hijau, tetapi menyebabkan terbentuknya suatu ekosistem kota yang tidak nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat untuk ditinggali oleh penghuninya. Dalam hal ini, secara teoritis suatu ekosistem kota hijau (green urban) dapat dicapai dengan menerapkan konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan. Secara konseptual, Pembangunan Kota Berkelanjutan memerlukan berbagai upaya untuk melestarikan daya dukung lingkungan ekosistem kota yang dapat menopang secara berlanjut terhadap berbagai aktivitas pembangunan kota yang direncanakan dan menggeser keserasian/keseimbangan serta daya lenting lingkungan ke kondisi lingkungan yang kondusif untuk menopang ekosistem kota yang diharapkan (dalam hal ini kota hijau). Inti dari ekosistem kota hijau tersebut adalah keanekaragaman hayati (tingkat genetik, spesies, dan ekosistem) yang menyebabkan suatu ekosistem kota berfungsi optimal secara berkelanjutan didalam menghasilkan beragam jenis produk dan jasa lingkungan yang penting untuk menunjang perikehidupan makhluk hidup, khususnya masyarakat kota tersebut. Elemen penggerak dalam tatanan suatu keanekaragaman hayati adalah vegetasi yang dalam suatu tata ruang kota menempati elemen RTH, baik berupa RTH alami maupun RTH binaan yang dibangun di lahan publik maupun lahan non-publik di kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya. Suatu RTH kota diarahkan untuk berperan sebagai fungsi ekologis yang merupakan fungsi utama dan fungsi keindahan/arsitektur, sosial budaya, dan ekonomi sebagai fungsi penunjang untuk mengoptimalkan fungsi suatu kota hijau. Secara maknawiah, pengelolaan keanekaragaman hayati (PKH) berkaitan erat dengan pengelolaan suatu RTH kota yang ditumbuhi oleh masyarakat tumbuhan (terutama pepohonan) yang dapat berperan sebagai habitat beragam jenis fauna yang saling berinteraksi diantara keduanya dan dengan fisik lingkungannya membentuk suatu persekutuan hidup yang utuh sebagai suatu ekosistem kota. Spektrum PKH di suatu wilayah perkotaan meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum untuk melestarikan fungsi ekologis, sosial budaya, ekonomi, dan estetika dari suatu ekosistem kota hijau yang diharapkan.
Kata Kunci: Bangunan Hijau
Keanekaragam hayati
(biological-diversity atau biodiversity) adalah semua makhluk hidup di bumi
(tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme) termasuk keanekaragaman genetik yang
dikandungnya dan keanekaragaman ekosistem yang dibentuknya (DITR 2007).
Keanekaragaman hayati itu sendiri terdiri atas tiga tingkatan (Purvis dan
Hector 2000), yaitu: Keanekaragaman spesies, yaitu keanekaragaman semua spesies
makhluk hidup di bumi, termasuk bakteri dan protista serta spesies dari kingdom
bersel banyak (tumbuhan, jamur, hewan yang bersel banyak atau multiseluler).
Keanekaragaman genetik, yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di
antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara
individuindividu dalam satu populasi. Keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas
biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik (ekosistem)
masing- masing. Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan dasar dari
munculnya beragam jasa ekosistem (ecosystem services), baik dalam bentuk
barang/produk maupun dalam bentuk jasa lingkungan yang sangat diperlukan oleh
perikehidupan makhluk hidup, khususnya manusia. Sejalan dengan pertambahan
jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan di berbagai sektor yang cukup
pesat beberapa dekade terakhir ini, banyak ekosistem alam penyedia berbagai
jasa lingkungan dan produk tersebut di atas mengalami kerusakan karena berbagai
faktor. Jasa-jasa suatu ekosistem sebagai penunjang perikehidupan manusia khususnya
dan makhluk hidup umumnya Tipe jasa ekosistem Bentuk jasa/barang Provisioning
services (produk-produk yang diperoleh dari ekosistem) Makanan Minuman Kayu
Hasil hutan bukan kayu (getah, buah, kopal, daun, obat-obatan, dan lain-lain)
Regulating services (jasa yang diperoleh dari proses pengaturan/ proses
ekologis esensial dalam suatu ekosistem) Pengendalian iklim Pengendalian
hama-penyakit Pengaturan tata air Pemurnian air Pengendalian erosi dan banjir
Penyerbukan Cultural Services (jasa non-materi yang diperoleh dari suatu
ekosistem) Spiritual Rekreasi/ekoturisme Keindahan Inspirasi Pendidikan Warisan
kebudayaan Supporting Services (jasa-jasa pendukung yang diperlukan untuk
memproduksi beragam jasa ekosistem) Siklus hara Formasi tanah Produksi primer
Siklus CO2 , Siklus N2 , dan lainlain. Transformasi habitat Beberapa tahun
terakhir ini cukup banyak tipe-tipe ekosistem bervegetasi yang produktif
terkena gangguan kerusakan akibat pesatnya pembangunan perkebunan,
infrastruktur kota, pemukiman, tambak, dan lain-lain yang menyebabkan
terdegradasinya bahkan lenyapnya ekosistem tersebut. Perubahan iklim Seiring
dengan pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan berbagai barang dan jasa
untuk menunjang kehidupannya, pembangunan di berbagai sektor semakin pesat
untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa bagi penduduk tersebut.
Sebagian besar kegiatan pembangunan, khususnya di sektor industri dan
transportasi banyak digunakan energi fosil yang mengeluarkan limbah gas rumah
kaca (terutama gas CO2). Selain itu proses pembangunan tersebut juga banyak
mengkonversi lahan bervegetasi yang produktif menjadi bentuk lahan lain yang
tidak bervegetasi, sehingga kapasitas penyerap karbon dari atmosfir semakin
menurun. Fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya pemanasan global yang
memicu terjadinya perubahan iklim. Situasi seperti ini menyebabkan naiknya
permukaan air laut, perubahan pola distribusi dan musim hujan, naiknya
frekuensi kejadian bencana alam (kekeringan, banjir, longsor, dan lain-lain)
yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati
(biodiversity) yang menunjang keberlangsungan perikehidupan manusia Polusi
Semakin pesatnya kegiatan industi untuk memenuhi berbagai barang keperluan
hidup disertai dengan semakin intensifnya kegiatan pertanian untuk meningkatkan
produksi telah menyebabkan pencemaran tanah, air, dan udara. Pencemaran
lingkungan tersebut akan berdampak negatif terhadap biodiversitas, baik dalam
tingkat genetik, spesies, maupun ekosistem. Species invasif Dengan bantuan
manusia berbagai jenis tumbuhan dan hewan dapat tersebar ke suatu daerah,
contohnya pada kegiatan budidaya pertanian yang menggunakan jenis tumbuhan atau
satwa eksotik yang di-import dari negara lain. Jenis-jenis eksotik tersebut
akan tumbuh dan berkembang mengalahkan jenis-jenis asli setempat, merubah
genetic pool, atau menyebarkan hama dan penyakit yang mengancam keanekaragaman
hayati di suatu daerah tertentu. Eksploitasi berlebihan Eksploitasi yang
berlebihan akan menyebabkan menurunnya kelimpahan atau jumlah individu
jenis-jenis yang dieksploitasi yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan atau
kepunahan dari jenis-jenis tersebut. Hal ini dapat terlihat pada kegiatan
intensifikasi pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan yang akan
mengakibatkan berkurang atau hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity)
bahkan rusaknya ekosistem. Skema konservasi biodiversity Sehubungan dengan hal
tersebut, biodiversity harus dikonservasi untuk menjamin kelestarian dan
keberlanjutan pemanfaatan biodiversity tersebut untuk peningkatan kesejahteraan
manusia. Secara garis besar alur pemikiran konservasi biodiversity.
Kota sebagai tempat bermukim penduduk dan pusat kegiatan ekonomi serta berbagai
macam jasa umumnya cenderung dihuni oleh penduduk yang semakin banyak dengan
sarana-prasarana yang semakin beragam dan masif. Sehubungan dengan hal tersebut,
saat ini paling tidak ada 11 permasalahan lingkungan perkotaan yang harus
diatasi untuk menciptakan kota yang nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat.
Kesebelas permasalahan lingkungan perkotaan tersebut adalah: Tingginya laju
pertambahan penduduk. Tingginya laju pertambahan luas terbangun, Semakin
menurunnya luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Biru (RTB), Pencemaran
lingkungan, baik tanah, air, maupun udara, Banjir, Kemacetan kendaraan
bermotor, Penurunan permukaan tanah, (viii) Kekurangan air bersih, Sanitasi
yang buruk, Penurunan nilai historis kota, Terbentuk pulau bahang kota (urban
heat island). Asal mula permasalahan lingkungan perkotaan pada dasarnya timbul
karena meningkatnya populasi penduduk di wilayah perkotaan tersebut yang
menuntut peningkatan penyediaan infrastruktur perkotaan tersebut. Fenomena
semacam ini pada akhirnya akan berakibat pada perubahan pengembangan lingkungan
fisik dan tata kota yang lebih menekankan pada aspek ekonomi daripada aspek
lingkungannya (termasuk nilai historisnya) yang mengakibatkan kota tersebut
tidak nyaman, aman, indah, bersih, dan sehat untuk ditinggali. Selain itu,
disamping permasalahan banjir yang sering terjadi pada musim penghujan dan
kemacetan kendaraan akibat terlalu banyaknya jumlah kendaraan bermotor, wilayah
perkotaan seperti tersebut di atas sering mengalami suatu permasalahan yang
disebut pulau bahang kota. Pulau bahang kota terjadi ketika udara di atas
wilayah perkotaan membentuk semacam pulau udara dengan permukaan panas yang
terpusat di area kota, dimana suhunya akan semakin menuruh ke arah perbatasan
kota menjauh dari pusat kota. Berdasarkan hasil penelitian Irwan (2008), pulau
bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta mencapai suhu maksimum di Jakarta
Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara semakin menuruh ke arah
selatan (ke arah Bogor). Selanjutnya dilaporkan juga bahwa pola pulau bahang
cenderung melebar ke arah Bekasi dan Tangerang. Dalam hal ini, perbedaan suhu
udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor dilaporkan sekitar 1-3
0C. Untuk Kota Tangerang, fenomena pulau bahang kota disebabkan oleh semakin
menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun
(22%), kepadatan penduduk (19%), dan padatnya kendaraan/kemacetan (17%).
Kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan
penduduk (17%) telah menciptakan pulau bahang kota di Jakarta (Effendy 2007).
Adapun bahwa pulau bahang kota di Bogor dipicu oleh meningkatnya luas ruang
terbangun (15%), menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya
kendaraan (14%), dan semakin padatnya penduduk (13%)
Konsep Pembangunan Kota Berkelanjutan diarahkan untuk membangun Kota Hijau
(Green City, Eco City) yang merupakan suatu ekosistem kota yang bernuansa
nyaman dan ramah lingkungan; aman dan dapat memuaskan aspirasi berbagai level
masyarakat; serta menunjang aktivitas masyarakat yang produktif, efektif, dan
efisien dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan meningkatkan kesejahteraannya,
sehingga penghuni kota tersebut dapat hidup pada kondisi mutu kehidupan yang
baik dalam kondisi kualitas lingkungan kota yang baik pula. Secara konseptual
pembangunan kota berkelanjutan memerlukan berbagai upaya untuk: Melestarikan
daya dukung lingkungan ekosistem kota yang dapat menopang secara berlanjut
terhadap berbagai aktivitas pembangunan/ perubahan terhadap ekosistem kota yang
direncanakan, dan Menggeser keserasian dan keseimbangan lingkungan serta daya
lenting lingkungan ke kondisi lingkungan yang kondusif untuk menopang ekosistem
kota yang diinginkan (dalam hal ini Kota Hijau). Seperti konsep pembangunan
berkelanjutan di sektor lain, konsep pembangunan kota berkelanjutan juga pada
dasarnya mengharuskan adanya integrasi dari tiga pilar pembangunan, yaitu: pilar
ekologi yang menjamin ekosistem kota dapat melakukan proses-proses ekologis
esensialnya (optimasi aliran energi dan siklus materi, mengameliorasi iklim,
mengendalikan pencemaran lingkungan, menyajikan habitat yang kondusif untuk
berbagai jenis flora dan fauna yang sesuai dengan lingkungan kota, plasma
nutfah, bebas banjir, indah, dan lain-lain), pilar ekonomi yang memfasilitasi
penghuninya untuk menjalani kehidupan yang produktif, efektif dan efisien dalam
memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya, dan pilar
sosial-budaya yang memfasilitasi kepuasan dan kebebasan berekspresi secara
berkeadilan dan bertanggung-jawab dari berbagai lapisan masyarakat yang
bermartabat, membentuk masyarakat yang cinta lingkungan/cinta kota serta
memediasi kenyaman/keamanan hidup bersosial, dengan sistem tata kelola
pengurusan yang baik. Pengelolaan yang optimal dari ketiga pilar pembangunan
kota tersebut itulah yang akan mewujudkan Kota Hijau yang diidam-idamkan yang
dapat menjalankan fungsi dan perannya secara optimal berkelanjutan. Faktor
kelembagaan dan inovasi teknologi sangat penting untuk menggulirkan
keberlanjutan dari fungsi dan manfaat ekosistem kota hijau tersebut. Dalam hal
ini, pembangunan kota berkelanjutan bertujuan untuk: Security/safety:
masyarakat dapat menjalankan kegiatannya tanpa takut terhadap gangguan, baik
gangguan buatan manusia maupun alami. Comfortability: menyediakan kesempatan
bagi setiap elemen masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya
dalam keadaan damai. Productivity: menyediakan infrastruktur yang efektif dan
efisien untuk proses produksi dan distribusi dalam rangka meningkatkan nilai
tambah. Sustainability: menyediakan kualitas lingkungan yang lebih baik tidak
hanya bagi generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang.
Sejalan dengan konsep Kota Hijau ini, Kamal-Chaoui and Robert (2009) mengemukakan
bahwa ada enam hal yang harus diperhatikan dan dikelola pemerintah kota dalam
mewujudkan Kota Hijau, yaitu: metabolisme lingkungan perkotaan, pengelolaan
limbah, pengelolaan air, kualitas udara, pencemaran, dan energi, perubahan iklim, serta
keamanan lingkungan perkotaan. Menurut Sumner (2011) terdapat 8 indikator kota
berkelanjutan yang ditetapkan oleh Asian Green City Index, yaitu: energi dan CO2,
penggunaan lahan dan bangunan, transportasi, sampah, air, sanitasi, kualitas
udara, dan environmental governance. Secara lebih rinci, kota berkelanjutan
memiliki beberapa indikator dan dirangkum dalam 10 isu utama, yaitu: Akses
penduduk pada ruang terbuka hijau atau green open space, Lingkungan sehat yang
diukur dari air quality (kualitas udara), Penggunaan sumberdaya yang efisien
(energi, air, limbah, dan sampah) atau green energi, green waste, dan green
water. Kualitas lingkungan binaan atau
green building. Aksesibilitas (transportasi umum, jalur sepeda, pejalan kaki)
atau green transportation. Green economy atau ekonomi hijau. Model partisipasi
masyarakat dalam pembangunan kota berkelanjutan atau green community. Social
justice yaitu keadilan sosial berkaitan dengan angka kemiskinan, Kesejahteraan
sosial yang berkaitan dengan kenyamanan hidup, Berbagai aktivitas masyarakat di
bidang sosial dan budaya
Daftar Pustaka
Hidayat, Atep Afia dan M. kholil 2017, Buku Kimia Industri dan Teknologi Hijau, Pantona media, Jakarta
DITR [Department of Industry Tourism and Resources of Australian Government]. 2007. Biodiversity Management: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. Department of Industry, Tourism and Resources, Government of Australia, Canberra
DITR [Department of Industry Tourism and Resources of Australian Government]. 2007. Biodiversity Management: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry. Department of Industry, Tourism and Resources, Government of Australia, Canberra
Effendy S. 2007. Keterkaitan Ruang Terbuka Hijau dan Urban
Heat Island Wilayah JABOTABEK. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Irwan ZD. 2008. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan
Kota. P.T. Bumi Aksara, Jakarta.
Kamal-Chaoui L, Robert A (eds). 2009. Competitive Cities and
Climate Change. OECD Publications, Paris Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 63 Tahun 2002
tentang Hutan Kota. Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta.
Purvis A, Hector A. 2000. Getting the measure of
biodiversity. Nature 405: 212-219
Schaltegger S, Beständig U. 2012. Corporate Biodiversity
Management Handbook: A Guide for Practical Implementation. BMU, Berlin.
Sumner J (ed). 2011. Asian Green City Index; Assessing the
Environmental Performance of Asia’s Major Cities. Siemens AG, München, Germany.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.