.

Kamis, 01 Desember 2016

Ada perusak di Timur Indonesia



    Penyebab            




                               Tambang Emas Freeport Merusak Lingkungan
Dapat dilihat dari ciri-ciri pertambangan emas :
         Pertama, pertambangan emas membutuhkan lahan sangat luas untuk digali. Semua proyek pertambangan, terutama pertambangan terbuka, memerlukan lahan dalam jumlah luas untuk membangun lubang tambang, pabrik pengolah bijih, fasilitas penunjang seperti pelabuhan dan jalan, serta fasilitas lain seperti perumahan pekerja. Untuk keperluan itu maka terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air pun dirombak. Kegiatan ini menyebabkan terganggunya tata air setempat, risiko bencana longsor serta banjir. Biasanya, dengan cara apa pun, penduduk akan dipaksa merelakan lahannya untuk ditambang. Hanya dua pilihan yang tersedia, warga menyerahkan lahan dengan ganti rugi sepihak atau tidak dapat apa-apa. Konflik tanah dengan warga sekitar terjadi hampir di semua lokasi tambang, mulai Aceh hingga Papua.
         Kedua, pertambangan emas butuh air dan menghasilkan limbah yang jumahnya luar biasa besar. Hampir 98 persen batuan yang digali akan dibuang menjadi limbah. Ada beberapa jenis limbah utama, yakni limbah batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan batuan bijih atau batuan yang mengandung emas. Selanjutnya ada tailing bijih emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan kimia, di antaranya merkuri atau sianida.
Terakhir, air asam tambang, limbah yang menyebabkan kondisi keasaman tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah, sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahkluk hidup sekitarnya. Pertambangan merupakan industri rakus air, yakni penggunaan air dari sumber-sumbernya dengan skala besar untuk menjalankan proses pengolahan batuan menjadi bijih logam. Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang menyebabkan pemenuhan air warga setempat dikalahkan, sering mereka harus rela mencari mata air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan untuk mempertahankan sumber air mereka. pada saat pembuatan lobang (pit) penambangan dan pembangunan pabrik serta instalasi lainnya, kegiatan pengupasan tanah, peledakan, serta pengoperasian alat-alat berat pengangkut tanah, dan lalu lalang kendaraan berat dengan intensitas tinggi menjadi sumber pencemaran udara, terutama karena peningkatan volume debu. akibatnya Penduduk lokal harus berhadapan dengan perusakan lingkungan yang luar biasa karena limbah tambang.

B.     PENCEMARAN TANAH FREEPORT

1. Perusakan Lingkungan
Sumbangan  Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah  besar. Menurut perhitungan WALHI pada  tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi,buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar  536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Prediksi  buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10  tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di  wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah  batuan dan tailing.  Untuk menghasilkan 1  gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang  lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun  mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.

2. Pembuangan Limbah Batuan di Freeport
Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian  4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke  Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Berdasarkan  analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar  seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan  setara dengan Jabodetabek.  Total sebaran  tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini  sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun  muara sungai.Freeport  tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan  tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport  bahkan  menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai  sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.


C.    PENCEMARAN AIR  FREEPORT

1.                Kerusakan Danau Wanagon
            Danau Wanagon merupakan sumber air yang mengalir menjadi Sungai Wanagon, dan dipergunakan oleh penduduk desa di sekitarnya untuk kehidupan sehari-hari seperti minum, mencuci, memasak, mandi, dsb. Tetapi sejak dipakainya Danau Wanagon untuk pembuangan limbah batuan Sungai Wanagon ini tidak dapat digunakan lagi oleh penduduk. Danau Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi mineralnya (ore).FI juga harus terus menambahkan gamping karena batuan itu bersifat sangat asam. Dengan gamping hasil akhirnya adalah kalsium sulfat dan asam karbonat yang mudah menguap. Teorinya bisa saja begitu, tetapi penimbunan ke Danau Wanagon akan menyebabkan endapan lumpur di dasar danau. Endapan itu mengandung gipsum yang bisa larut kembali kalau hujan deras. Aliran asam tambang (acid rock drainage) dapat terjadi sewaktu-waktu kalau logam-logam berat dalam endapan lumpur itu larut kembali karena hujan atau banjir. Lumpur ini menurut PP 85/1999 termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). FI sendiri tidak dapat menjelaskan dengan memuaskan, penanganan batuan asam ke Wanagon ini. Bulan Juli 1998 Wanagon jebol karena over dumping, sehingga menyebabkan aliran air asam tambang melalui sungai. Menurut Bapedal, sesudah kejadian itu, pH air sungai sangat asam, yaitu sekitar 3,67. Dengan pH sangat asam itu, air sungai tidak layak untuk kehidupan apapun.
Walaupun menurut laporan pemantauan berkala FI, pH Wanagon harus dipertahankan minimal 6, tetapi tampaknya usaha itu sering menemui kegagalan. FI juga melakukan upaya pengelolaan dengan cara mengalirkan batuan lewat stacker sehingga jatuhnya bisa diatur lalu dipadatkan dengan buldozer untuk mencegah runtuhnya tumpukan karena gempa atau banjir. Tetapi pada akhir masa tambang, tidak ada yang bisa menjamin tumpukan setinggi 400 meter itu akan tetap aman. Freeport, menurut manajer lingkungannya, Dr. Wisnu Susetyo, tidak ingin membangun bendungan di Wanagon, karena resiko bobolnya tinggi seperti yang terjadi di tambang Ok Te di Papua Nugini. Sampai saat sebelum tanggul itu jebol, FI membendung Wanagon dengan tanggul beton, tetapi rupanya tak kuat menahan runtuhnya tumpukan batuan. Kemungkinan dipakainya metode back filling (penutupan kembali dengan batuan penutupnya) pada tambang Grasberg, dinyatakan tidak mungkin dilakukan, karena luasnya Grasberg yang 2 km persegi dan dapat menyebabkan keruntuhan batuan sehingga menutup tambang bawah tanah yang saat ini mulai beroperasi.
Dilihat dari keekonomian dan kemudahannya, Wanagon adalah pilihan paling baik untuk limbah Freeport. Lokasinya ada di perbatasan barat laut open pit Grasberg dan lembahnya dalam. Di daerah konsesi Freeport terdapat 11 danau besar dan kecil dan Wanagon mempunyai topografi paling baik sebagai tempat pembuangan. Sebutan danau oleh Freeport dianggap kurang tepat, karena umumnya berupa cekungan dan airnya berasal dari air hujan (basin). Sebelumnya, pembuangan dilakukan dengan truk sehingga tidak merata dan menyebabkan jebolnya Wanagon pada bulan Juli 1998. Warna air Wanagon biasanya hijau kebiruan yang menandakan tingginya kandungan tembaga. Tidak ada yang bisa dilakukan, atau sangat terlambat untuk mengembalikan Wanagon, karena saat ini aliran air Wanagon hampir semua telah dipompakan keluar dan hanya tinggal pasir dan lumpur saja yang siap dipadatkan. Masalah yang paling berat dari penimbunan Wanagon adalah kestabilan tumpukan overburden itu dan daerah sekitarnya.

   2.      Bendungan Limbah di Freeport Tidak Penuhi Standar
               Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing.


  D.    Peraturan yang dilanggar Freeport dan Pemerintah RI sehubungan dengan Pembuangan Limbah Batuan .

Penggunaan Danau Wanagon sebagai tempat penimbunan limbah batuan telah melanggar :
  a UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU no. 23 tahun 1997 pasal 1 poin 12 menyatakan bahwa "Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
b.   PP no. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya.
c.     PP no. 35 tahun 1991 tentang Sungai, pasal 2; menyatakan bahwa "Lingkup pengaturan sungai berdasarkan Peraturan Pemerintah ini mencakup perlindungan, pengembangan, penggunaan dan pengendalian sungai termasuk danau atau waduk". Sehingga jelas bahwa lingkup PP ini berlaku juga untuk danau. Dalam ps. 27 jelas dikatakan bahwa "Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan dan/atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan".
d.         PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Dari penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3 karena mengandung logam berat. Dalam ps. 3 menyatakan "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa pengolahan terlebih dahulu" dan ps. 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat : a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang. B). rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan".
            Dari perundangan di atas jelas bahwa penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah batuan telah merupakan pencemaran air dan merubah fungsi danau yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitarnya, seperti dari Desa Banti/Waa. Kemudian berdasarkan PP 18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas pembuangan limbah batuan yang merupakan limbah B3 secara langsung ke Danau Wanagon merupakan pelanggaran hukum.

E.  DAMPAK PERTAMBANGAN  FREEPORT
1.      Dampak Fisik
a.       Sungai Ajkwa
Dimulai dengan digusurnya ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua. Tanah-tanah adat tujuh suku, yaitu suku Kamoro, Amungme, Damal, Dani, Nduga, Mee dan Ngalum dirampas awal masuknya PT Freeport Indonesia dan dihancurkan saat operasi tambang berlangsung. Limbah tailing PT Freeport telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Selain itu para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Sistem pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan rusak.
            PT FreePort mengklaim diri bahwa segala kerusakan akibat tambang ditanggulangi secara profesional dan tidak merugikan penduduk setempat, dalam kenyataan ribuan hektar hutan telah tertutup oleh limbah Tailing, dan pastinya secara tidak langsung mengakibatkan dampak terhadap ekositem dunia dalam sekala kecil.Limbah tailing Freeport yang mengandung logam berat ini pun sudah menghilangkan 35% total populasi ikan, kepiting, dan kerang yang hidup di Muara. Sementara itu 30-90% dari total spesies yang ada di Muara terancam terkontaminasi racun dan punah. Sedimentasi yang terjadi di Muara mengancam wilayah Taman Nasional Lorentz terutama di daerah pesisir. Ancaman pokok selain limbah adalah kontaminasi logam berat pada tumbuhan bakau dan spesies-spesies yanga da di pesisir Taman Nasional Lorentz. Kawasan ADA (Ajkwa Deposition Area) seluas 230 km persegi yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing takkan pernah bisa kembali ke komposisi spesies semula meski pembuangan tailing berhenti. Diperlukan intervensi teknologi irigasi yang rumit dan asupan pupuk, kompos atau tanah subur yang lar biasa banyaknya untuk bisa membuat kawasan ini bisa ditanami kembali.

B.  Longsor
            Longsor yang terjadi di sekitar areal tambang emas PT Freeport Indonesia di Mimika, Provinsi  tidak semata-mata karena  kawasan tersebut terjal ataupun karena timpaan hujan deras. Tetapi ini bukti bahwa daya dukung kawasan tersebut tak mampu menanggung beban kerusakan lingkungan karena penambangan PT FI., Jatam menyampaikan bahwa longsor di kawasan tambang emas yang mengorbankan sekitar 20 pendulang emas tradisional di kawasan itu tidak hanya sekali ini. Tercatat longsor di kawasan Freeport terjadi pada 2000, tiga kali pada 2003 dan paling akhir 2006.

F.     Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi Pencemaran Akibat Pertambangan Freeport
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran akibat pertambangan Freeport antara lain :
a.       Limbah tambang yang menjadi persoalan besar ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemanfaatan tailing sebagai bahan bangunan. Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini selain dapat menunjang kebutuhan pembangunan juga dapat memecahkan masalah lingkungan yang selanjutnya produk ini dapat dikategorikan sebagai bahan bangunan ekologis. Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau konstruksi, telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui penelitian-penelitian. Namun pemanfaatan tailing yang telah dilaksanakan dalam bentuk proyek tidak nampakkan mutu/ kualitas yang baik, sehingga ini berdampak buruk terhadap penilaian masyarakat akan upaya memanfaatkan tailing sebagai material bekas. Sesungguhnya bila benar limbah pasir ini dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, maka masyarakat adat setempat juga bisa mendapatkan keuntungan keuntungan secara ekonomis. Pendapatan keluarga bisa meningkat. Yang penting diperhatikan bahwa pengelolaan limbah pasir dari Freeport itu diserahkan kepada masyarakat. Pemerintah cukup mengatur dan memfasilitasi masyarakat.
b.       Perkembangan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan sistem pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang masih terjadi hingga saat ini. Kecenderungan tersebut diantaranya adalah: Sistem ekonomi yang masih berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar melanggengkan profit sektor privat. Sementara itu sistem pengembangan sosial berupaya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraa (ekonomi), dan menciptakan kemandirian masyarakat. Sedangkan sistem pengembangan ekologis bersandar pada nilai-nilai, dimana manusia dapat melestarikan alam melalui pembatasan tingkat konsumsi yang masih dapat ditopang oleh kemampuan alam dalam melakukan pemulihan dan penyerapan limbah kegiatan konsumsi.Tidak jarang ketiga butir diatas sering bersinggungan dan bahkan bertabrakan. Misalkan upaya mengabaikan eksternalitas sebagai upaya melanggengkan profit sektor privat sangat kontradiktif dengan sistem pengembangan ekologi yang sangat menghargai nilai pada lingkungan dan sumberdaya.

DAFTAR PUSTAKA
-Suci, Dewi.2011. pencemaran lingkungan akibat pertambangan pt freeport  kawasan    tembagapura kabupaten mimika provinsi  papua.blogspot.http://dewimoe.blogspot.co.id/2011/10/freeport.html
-anonym.2012.kebobrokan Freeport- pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM perusahaan emas di Indonesia.kompasiana. http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.