Penyebab
Tambang Emas Freeport Merusak Lingkungan
Dapat dilihat dari ciri-ciri
pertambangan emas :
Pertama,
pertambangan emas membutuhkan lahan sangat luas untuk digali. Semua proyek
pertambangan, terutama pertambangan terbuka, memerlukan lahan dalam jumlah luas
untuk membangun lubang tambang, pabrik pengolah bijih, fasilitas penunjang
seperti pelabuhan dan jalan, serta fasilitas lain seperti perumahan pekerja. Untuk keperluan
itu maka terjadi pembukaan hutan, lapis tanah dikupas dan digerus dari
permukaan hingga kedalaman tertentu, tata air pun dirombak. Kegiatan ini
menyebabkan terganggunya tata air setempat, risiko bencana longsor serta
banjir. Biasanya, dengan cara apa pun, penduduk akan dipaksa merelakan lahannya
untuk ditambang. Hanya dua pilihan yang tersedia, warga menyerahkan lahan
dengan ganti rugi sepihak atau tidak dapat apa-apa. Konflik tanah dengan warga
sekitar terjadi hampir di semua lokasi tambang, mulai Aceh hingga Papua.
Kedua, pertambangan
emas butuh air dan menghasilkan limbah yang jumahnya luar biasa besar. Hampir 98
persen batuan yang digali akan dibuang menjadi limbah. Ada beberapa jenis
limbah utama, yakni limbah batuan permukaan atas yang dikupas untuk mendapatkan
batuan bijih atau batuan yang mengandung emas. Selanjutnya ada tailing bijih
emas yang sudah diambil emasnya menggunakan bahan kimia, di antaranya merkuri atau sianida.
Terakhir, air asam tambang, limbah yang menyebabkan kondisi
keasaman tanah, yang berpotensi melarutkan unsur mikro berbahaya dalam tanah,
sehingga berpotensi meracuni tanaman dan mahkluk hidup sekitarnya. Pertambangan
merupakan industri rakus air, yakni penggunaan air dari sumber-sumbernya dengan
skala besar untuk menjalankan proses pengolahan batuan menjadi bijih logam.
Luar biasa tingginya kebutuhan air untuk operasi industri tambang menyebabkan
pemenuhan air warga setempat dikalahkan, sering mereka harus rela mencari mata
air baru atau harus berhadapan dengan kekerasan untuk mempertahankan sumber air
mereka. pada saat pembuatan lobang (pit) penambangan dan pembangunan pabrik
serta instalasi lainnya, kegiatan pengupasan tanah, peledakan, serta
pengoperasian alat-alat berat pengangkut tanah, dan lalu lalang kendaraan berat
dengan intensitas tinggi menjadi sumber pencemaran udara, terutama karena
peningkatan volume debu. akibatnya Penduduk lokal harus berhadapan dengan
perusakan lingkungan yang luar biasa karena limbah tambang.
B.
PENCEMARAN TANAH FREEPORT
1. Perusakan
Lingkungan
Sumbangan Freeport terhadap
bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut
perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan
PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4
milyar ton. Masih ditambah lagi,buangan limbah tambang (tailing) ke sungai
Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport
mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Prediksi
buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga
10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan
produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5
milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1
gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan
kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika
Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan
kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu
tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
2.
Pembuangan Limbah Batuan di Freeport
Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di
sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200
meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan
dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah
penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang
dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas
35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000
hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara
dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari
pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi.
Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat
diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara
sungai.Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi
sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa
sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya
bertentangan dengan hukum di Indonesia.
C.
PENCEMARAN AIR FREEPORT
1.
Kerusakan Danau Wanagon
Danau Wanagon merupakan sumber air
yang mengalir menjadi Sungai Wanagon, dan dipergunakan oleh penduduk desa di
sekitarnya untuk kehidupan sehari-hari seperti minum, mencuci, memasak, mandi,
dsb. Tetapi sejak dipakainya Danau Wanagon untuk pembuangan limbah batuan
Sungai Wanagon ini tidak dapat digunakan lagi oleh penduduk. Danau Wanagon
bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin
(kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT Freeport Indonesia
(FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi
pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi mineralnya (ore).FI juga
harus terus menambahkan gamping karena batuan itu bersifat sangat asam. Dengan
gamping hasil akhirnya adalah kalsium sulfat dan asam karbonat yang mudah menguap.
Teorinya bisa saja begitu, tetapi penimbunan ke Danau Wanagon akan menyebabkan
endapan lumpur di dasar danau. Endapan itu mengandung gipsum yang bisa larut
kembali kalau hujan deras. Aliran asam tambang (acid rock drainage) dapat
terjadi sewaktu-waktu kalau logam-logam berat dalam endapan lumpur itu larut
kembali karena hujan atau banjir. Lumpur ini menurut PP 85/1999 termasuk limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3). FI sendiri tidak dapat menjelaskan dengan
memuaskan, penanganan batuan asam ke Wanagon ini. Bulan Juli 1998 Wanagon jebol
karena over dumping, sehingga menyebabkan aliran air asam tambang melalui
sungai. Menurut Bapedal, sesudah kejadian itu, pH air sungai sangat asam, yaitu
sekitar 3,67. Dengan pH sangat asam itu, air sungai tidak layak untuk kehidupan
apapun.
Walaupun menurut laporan pemantauan berkala FI, pH Wanagon
harus dipertahankan minimal 6, tetapi tampaknya usaha itu sering menemui
kegagalan. FI juga melakukan upaya pengelolaan dengan cara mengalirkan batuan
lewat stacker sehingga jatuhnya bisa diatur lalu dipadatkan dengan buldozer
untuk mencegah runtuhnya tumpukan karena gempa atau banjir. Tetapi pada akhir
masa tambang, tidak ada yang bisa menjamin tumpukan setinggi 400 meter itu akan
tetap aman. Freeport, menurut manajer lingkungannya, Dr. Wisnu Susetyo, tidak
ingin membangun bendungan di Wanagon, karena resiko bobolnya tinggi seperti
yang terjadi di tambang Ok Te di Papua Nugini. Sampai saat sebelum tanggul itu
jebol, FI membendung Wanagon dengan tanggul beton, tetapi rupanya tak kuat
menahan runtuhnya tumpukan batuan. Kemungkinan dipakainya metode back filling
(penutupan kembali dengan batuan penutupnya) pada tambang Grasberg, dinyatakan
tidak mungkin dilakukan, karena luasnya Grasberg yang 2 km persegi dan dapat
menyebabkan keruntuhan batuan sehingga menutup tambang bawah tanah yang saat
ini mulai beroperasi.
Dilihat dari keekonomian dan kemudahannya, Wanagon adalah
pilihan paling baik untuk limbah Freeport. Lokasinya ada di perbatasan barat
laut open pit Grasberg dan lembahnya dalam. Di daerah konsesi Freeport terdapat
11 danau besar dan kecil dan Wanagon mempunyai topografi paling baik sebagai
tempat pembuangan. Sebutan danau oleh Freeport dianggap kurang tepat, karena
umumnya berupa cekungan dan airnya berasal dari air hujan (basin). Sebelumnya,
pembuangan dilakukan dengan truk sehingga tidak merata dan menyebabkan jebolnya
Wanagon pada bulan Juli 1998. Warna air Wanagon biasanya hijau kebiruan yang
menandakan tingginya kandungan tembaga. Tidak ada yang bisa dilakukan, atau
sangat terlambat untuk mengembalikan Wanagon, karena saat ini aliran air
Wanagon hampir semua telah dipompakan keluar dan hanya tinggal pasir dan lumpur
saja yang siap dipadatkan. Masalah yang paling berat dari penimbunan Wanagon
adalah kestabilan tumpukan overburden itu dan daerah sekitarnya.
2.
Bendungan Limbah di Freeport Tidak
Penuhi Standar
Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang
sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan
tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin
yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem
sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing.
D.
Peraturan yang dilanggar Freeport dan
Pemerintah RI sehubungan dengan Pembuangan Limbah Batuan .
Penggunaan
Danau Wanagon sebagai tempat penimbunan limbah batuan telah melanggar :
a UU no. 4 tahun 1982 yang telah
dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam UU no. 23 tahun 1997 pasal 1 poin 12 menyatakan bahwa "Pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
b.
PP no. 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Pencemaran air
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen
lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukkannya.
c.
PP no. 35 tahun 1991 tentang
Sungai, pasal 2; menyatakan bahwa "Lingkup pengaturan sungai berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini mencakup perlindungan, pengembangan, penggunaan dan
pengendalian sungai termasuk danau atau waduk". Sehingga jelas bahwa
lingkup PP ini berlaku juga untuk danau. Dalam ps. 27 jelas dikatakan bahwa
"Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun
yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau
patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga
membahayakan dan/atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan".
d.
PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85
tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Dari penjelasan di atas jelas
dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3 karena mengandung
logam berat. Dalam ps. 3 menyatakan "Setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang
dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa pengolahan
terlebih dahulu" dan ps. 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat
penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat :
a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di
luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang. B). rancangan
bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya
pengendalian pencemaran lingkungan".
Dari perundangan di atas jelas bahwa penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat
penimbunan limbah batuan telah merupakan pencemaran air dan merubah fungsi
danau yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitarnya, seperti dari Desa
Banti/Waa. Kemudian berdasarkan PP 18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas
pembuangan limbah batuan yang merupakan limbah B3 secara langsung ke Danau
Wanagon merupakan pelanggaran hukum.
E.
DAMPAK PERTAMBANGAN FREEPORT
1.
Dampak Fisik
a.
Sungai Ajkwa
Dimulai
dengan digusurnya ruang penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua.
Tanah-tanah adat tujuh suku, yaitu suku Kamoro, Amungme, Damal, Dani, Nduga,
Mee dan Ngalum dirampas awal masuknya PT Freeport Indonesia dan dihancurkan
saat operasi tambang berlangsung. Limbah tailing PT Freeport telah menimbun
sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai
Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang,
kawasan-kawasan suburpun tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan
banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang
semula kering menjadi rawa. Selain itu para ibu tak lagi bisa mencari siput di
sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Sistem pembuangan
limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal
ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke
muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan
rusak.
PT FreePort mengklaim diri bahwa segala kerusakan akibat tambang ditanggulangi
secara profesional dan tidak merugikan penduduk setempat, dalam kenyataan
ribuan hektar hutan telah tertutup oleh limbah Tailing, dan pastinya secara
tidak langsung mengakibatkan dampak terhadap ekositem dunia dalam sekala
kecil.Limbah tailing Freeport yang mengandung logam berat ini pun sudah
menghilangkan 35% total populasi ikan, kepiting, dan kerang yang hidup di
Muara. Sementara itu 30-90% dari total spesies yang ada di Muara terancam
terkontaminasi racun dan punah. Sedimentasi yang terjadi di Muara mengancam
wilayah Taman Nasional Lorentz terutama di daerah pesisir. Ancaman pokok selain
limbah adalah kontaminasi logam berat pada tumbuhan bakau dan spesies-spesies
yanga da di pesisir Taman Nasional Lorentz. Kawasan ADA (Ajkwa Deposition Area)
seluas 230 km persegi yang telah mengalami kematian tumbuhan akibat tailing
takkan pernah bisa kembali ke komposisi spesies semula meski pembuangan tailing
berhenti. Diperlukan intervensi teknologi irigasi yang rumit dan asupan pupuk,
kompos atau tanah subur yang lar biasa banyaknya untuk bisa membuat kawasan ini
bisa ditanami kembali.
B. Longsor
Longsor yang terjadi di sekitar areal tambang emas PT Freeport Indonesia di
Mimika, Provinsi tidak semata-mata karena kawasan tersebut terjal
ataupun karena timpaan hujan deras. Tetapi ini bukti bahwa daya dukung kawasan
tersebut tak mampu menanggung beban kerusakan lingkungan karena penambangan PT
FI., Jatam menyampaikan bahwa longsor di kawasan tambang emas yang
mengorbankan sekitar 20 pendulang emas tradisional di kawasan itu tidak hanya sekali
ini. Tercatat longsor di kawasan Freeport terjadi pada 2000, tiga kali pada
2003 dan paling akhir 2006.
F.
Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi
Pencemaran Akibat Pertambangan Freeport
Upaya
yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran akibat pertambangan Freeport antara
lain :
a.
Limbah tambang yang menjadi
persoalan besar ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pemanfaatan
tailing sebagai bahan bangunan. Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini
selain dapat menunjang kebutuhan pembangunan juga dapat memecahkan masalah
lingkungan yang selanjutnya produk ini dapat dikategorikan sebagai bahan
bangunan ekologis. Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau konstruksi,
telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui penelitian-penelitian.
Namun pemanfaatan tailing yang telah dilaksanakan dalam bentuk proyek tidak
nampakkan mutu/ kualitas yang baik, sehingga ini berdampak buruk terhadap
penilaian masyarakat akan upaya memanfaatkan tailing sebagai material bekas.
Sesungguhnya bila benar limbah pasir ini dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan
baik, maka masyarakat adat setempat juga bisa mendapatkan keuntungan keuntungan
secara ekonomis. Pendapatan keluarga bisa meningkat. Yang penting diperhatikan
bahwa pengelolaan limbah pasir dari Freeport itu diserahkan kepada masyarakat.
Pemerintah cukup mengatur dan memfasilitasi masyarakat.
b.
Perkembangan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan
sistem pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang masih terjadi hingga
saat ini. Kecenderungan tersebut diantaranya adalah: Sistem ekonomi yang masih
berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya
eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar melanggengkan profit sektor
privat. Sementara itu sistem pengembangan sosial berupaya untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat, meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraa
(ekonomi), dan menciptakan kemandirian masyarakat. Sedangkan sistem
pengembangan ekologis bersandar pada nilai-nilai, dimana manusia dapat
melestarikan alam melalui pembatasan tingkat konsumsi yang masih dapat ditopang
oleh kemampuan alam dalam melakukan pemulihan dan penyerapan limbah kegiatan
konsumsi.Tidak jarang ketiga butir diatas sering bersinggungan dan bahkan
bertabrakan. Misalkan upaya mengabaikan eksternalitas sebagai upaya
melanggengkan profit sektor privat sangat kontradiktif dengan sistem
pengembangan ekologi yang sangat menghargai nilai pada lingkungan dan
sumberdaya.
DAFTAR
PUSTAKA
-Suci, Dewi.2011. pencemaran
lingkungan akibat pertambangan pt freeport kawasan tembagapura kabupaten mimika provinsi papua.blogspot.http://dewimoe.blogspot.co.id/2011/10/freeport.html
-anonym.2012.kebobrokan Freeport- pencemaran lingkungan dan
pelanggaran HAM perusahaan emas di Indonesia.kompasiana. http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia
-Moti,Apit.pertambangan Freeport dan kerusakan
lingkungan.blogspot. http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkungan-pelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia
Haryanto,BD.2011.PT freeport.Portalgaruda. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=69994&val=4879
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.