.

Senin, 11 November 2019

Pencemaran Air Pada Lingkungan


OLEH : FIRSTA FAUZYAH (@P23-FIRSTA)


Istilah pencemaran air atau polusi air dapat dipersepsikan berbeda oleh satu orang dengan orang lainnya mengingat banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undang-undang. Dalam praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hiduptidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan sebagai pencemaraan dari komponen-komponen lingkungan hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dengan demikian, definisi pencemaran air mengacu pada definisi lingkungan hidup yang ditetapkan dalam UU tentang lingkungan hidup yaitu UU No. 32/2009.

Pencemaran air adalah masuknya polutan ke dalam air atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya PP RI No. 82 tahun 2001 (Sulistyorini, 2009).
Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat yang disebabkan oleh alam, atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi Pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah sampaike batas atau melewati batas). Ada standar baku mutu tertentu untuk peruntukan air. Yang  dimaksud  dengan  “baku  mutu  air” berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 pasal 20 ayat 2 huruf a adalah ukuran  batas  atau  kadar  makhluk  hidup,  zat, energi,  atau  komponen  yang  ada  atau  harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Parameter kualitas air minum/air bersih yang terdiri dari parameter kimiawi, fisik, radioaktif dan mikrobiologi, ditetapkan dalam PERMENKES 416/1990 Achmadi (Lina, 2004). Air yang aman adalah air yang sesuai dengan kriteria bagi peruntukan air tersebut. 


2. INDIKATOR PENCEMARAN AIR
Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati dan dapat digolongkan menjadi :
a) Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa 
b) Pengamatan secara kimiawiyaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH 
c) Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen.

Indikator yang umum diketahui pada pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemiycal Oxygen Demand, BOD)serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD).
Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di bawah pH normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. 
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah.

Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun ada sejenis algae yaitu Chlamydomonas acidophilamampu bertahan pada pH =1 dan algae Euglenapada pH 1,6.

b) Oksigen terlarut (DO)
Tanpa adanya oksegen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air tidak dapat hidup karena oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organic dalam air. Oksigen dapat dihasilkan dari atmosfir ataudari reaksi fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak efisien, karena oksigenyang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25oC dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L Warlina (dalam Lina, 2004). 

Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidakmenimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen terlarut dengan jumlah cukup banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi antar organisme. Keberadaan logam berta yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi system respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita Effendi (dalam Lina, 2004).

Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi. Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus berlangsung. Polaperubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari.

c) Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)
Dekomposisi bahan organik terdiri atas 2 tahap, yaitu terurainya bahan organic menjadi anorganik dan bahan anorganik yang tidak stabil berubah menjadi bahan anorganik yang stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit atau nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai zat pengganggu. 

Dengan demikian, BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organic yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Pada dasarnya, proses oksidasi bahan organik berlangsung cukup lama. Menurut Effendi (dalam Lina, 2004) proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme atau oleh bakteri aerobik adalah :


Jumlah mikroorganisme dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih relatif mengandung mikroorganisme lebih sedikit dibandingkan yang tercemar. Air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat antiseptik atau bersifat racun, seperti fenol, kreolin, detergen, asam cianida, insektisida dan sebagainya, jumlah mikroorganismenya juga relatif sedikit. Sehingga makin besar kadar BOD nya, maka merupakan indikasi bahwa perairan tersebut telah tercemar. 

d) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Bahan buangan organik tersebut akan dioksidasi oleh kalium bichromat yang digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent) menjadi gas CO2dan gas H2O serta sejumlah ion chrom. Reaksinya sebagai berikut :

Jika pada perairan terdapat bahan organic yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya tannin, fenol, polisacharida dan sebagainya, maka lebih cocok dilakukan pengukuran COD daripada BOD. Kenyataannya hampir semua zat organic dapat dioksidasi oleh oksidator  kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi.

3. SUMBER PENCEMARAN AIR
Banyak penyebab sumber pencemaran air, tetapi secara umum dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu sumber kontaminan langsung dan tidak langsung. Sumber langsung meliputi efluen yang keluar dari industri, TPA sampah, rumah tangga dan sebagainya. Sumber tak langsung adalah kontaminan yang memasuki badan air dari tanah, air tanah atau atmosfir berupa hujan. Pengaruh bahan pencemar yang berupa gas, bahan terlarut, dan partikulat terhadap lingkungan perairan dan kesehatan manusia dapat ditunjukkan secara skematik sebagai berikut :

Gambar: Bagan Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Pencemar terhadap Lingkungan Perairan
Pada dasarnya sumber pencemaran air berasal dari industri, rumah tangga (pemukiman) dan pertanian. Tanah dan air tanah mengandung sisa dari aktivitas pertanian misalnya pupuk dan pestisida. Kontaminan dari atmosfir juga berasal dari aktifitas manusia yaitu pencemaran udara yang menghasilkan hujan asam. 

a) Limbah rumah tangga
Limbah rumah tangga seperti detergen, sampah dan kotoran memberikan andil cukup besar dalam pencemaran air sungai, terutama di daerah perkotaan. Sungai yang tercemar kotoran dan sampah yang mengandung bakteri dan virus dapat menimbulkan penyakit, terutama bagi masyarakat yang menggunakan sungai sebagai sumber dalam kehidupan sehari-hari. Sampah dan kotoran juga memerlukan oksigen untuk proses penguraiannya, sehingga kadar oksigen dalam air dapat berkurang jika terdapat polutan. Jika kadar oksigen suatu perairan turun sampai kurang dari 5 mg per liter, air tersebut tidak sehat bagi kehidupan biota air seperti ikan.

b) Limbah Industri
Limbah industri yang mencemarkan air dapat berupa polutan sampah dan kotoran. Polutan tersebut berasal dari pabrik pengolahan hasil ternak, polutan logam berat, dan polutan panas yang antara lain berasal dari air pendingin industry.

Daftar Pustaka:
Ardhana, Made M., 1994, Mikrobiologi Air, Universitas Udayana, Bali.
Michael, P., 1990, Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium, UI, Jakarta.
Solihin dan Darsati S., 1993, Air, Jurusan Pendidikan FPMIPA, IKIP Bandung.
Syah, A., 1995, Menulis dan Lingkungan Hidup, Proyek Perguruan Tinggi (P2T) Dip. Suleman, 0 dan M, Unhalu, Kendari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.