Investasi Sektor Manufaktur Diarahkan ke Indonesia Timur
Sejumlah investor dari luar
negeri mengaku akan berinvestasi di sektor manufaktur. Namun Kementerian
Perindustrian akan mengarahkan investasi tersebut ke arah Indonesia bagian
timur. Saat ini, Kemenperin menyiapkan 6 kawasan industri di Jawa dan, Indonesia
bagian timur serta Sumatera untuk mengantisipasi meningkatnya investasi di
sektor manufaktur.
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin, Dedi Mulyadi, mengungkapkan, beberapa investor telah menyatakan minatnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Evaluasi kesiapan kawasan industri, menurut Dedi, sudah dimulai pada awal bulan ini. "6 kawasan industri baru yang disiapkan berada di wilayah Bintuni (Papua), Pomalaa (Sulawesi Selatan), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Kuala Tanjung (Sumatera Utara), Bojonegara (Banten), dan Purwakarta (Jawa Barat)., Selain itu, PT Pupuk Indonesia akan mendirikan pabrik di Bintuni dan di wilayah Pomalaa PT Aneka Tambang Tbk akan berekspansi," paparnya di Jakarta, Senin (8/10).
Sampai dengan 2014, lanjut Dedi, pemerintah menargetkan bisa membuat 18 kawasan industri baru. "Setiap tahunnya kami proyeksikan 6 kawasan industri baru siap dioperasikan. Namun, pengembangan kawasan industri baru terkendala harga tanah yang semakin mahal," ujarnya.
Dedi menambahkan, Harga tanah di Indonesia rata-rata US$200 per meter persegi lebih mahal dibandingkan Malaysia maupun China. "Kawasan di Purwakarta akan dikembangkan untuk menampung kelebihan permintaan investor yang mengingirikan lahan di Karawang atau Bekasi. Mahalnya harga tanah membuat daya saing industri semakin menurun," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kemenperin Harris Munandar mengungkapkan, realisasi investasi pada 12 sektor industri manufaktur di Indonesia selama semester I-2012 melonjak 56,94% menjadi Rp 72,57 triliun dibandingkan periode sama tahun 2011 sebesar Rp
46,24 triliun.
"Rangkuman data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi sama bagusnya baik pada penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN)," ujar Harris.
Pada semester I-2012, nilai PMA tercatat sebesar US$ 5,45 miliar, atau setara Rp 51,77 triliun dengan asumsi kurs Rp 9.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan nilai PMDN mencapai Rp 20,80 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode sama 2011, realisasi investasi PMA US$ 3,25 miliar, atau setara Rp 27,62 triliun dengan asumsi kurs Rp 6.500 per dolar AS. Sedangkan PMDN-nya sebesar Rp 18,62 triliun.
Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin, Dedi Mulyadi, mengungkapkan, beberapa investor telah menyatakan minatnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Evaluasi kesiapan kawasan industri, menurut Dedi, sudah dimulai pada awal bulan ini. "6 kawasan industri baru yang disiapkan berada di wilayah Bintuni (Papua), Pomalaa (Sulawesi Selatan), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Kuala Tanjung (Sumatera Utara), Bojonegara (Banten), dan Purwakarta (Jawa Barat)., Selain itu, PT Pupuk Indonesia akan mendirikan pabrik di Bintuni dan di wilayah Pomalaa PT Aneka Tambang Tbk akan berekspansi," paparnya di Jakarta, Senin (8/10).
Sampai dengan 2014, lanjut Dedi, pemerintah menargetkan bisa membuat 18 kawasan industri baru. "Setiap tahunnya kami proyeksikan 6 kawasan industri baru siap dioperasikan. Namun, pengembangan kawasan industri baru terkendala harga tanah yang semakin mahal," ujarnya.
Dedi menambahkan, Harga tanah di Indonesia rata-rata US$200 per meter persegi lebih mahal dibandingkan Malaysia maupun China. "Kawasan di Purwakarta akan dikembangkan untuk menampung kelebihan permintaan investor yang mengingirikan lahan di Karawang atau Bekasi. Mahalnya harga tanah membuat daya saing industri semakin menurun," tandasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri (BPKIMI) Kemenperin Harris Munandar mengungkapkan, realisasi investasi pada 12 sektor industri manufaktur di Indonesia selama semester I-2012 melonjak 56,94% menjadi Rp 72,57 triliun dibandingkan periode sama tahun 2011 sebesar Rp
46,24 triliun.
"Rangkuman data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa pertumbuhan investasi sama bagusnya baik pada penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN)," ujar Harris.
Pada semester I-2012, nilai PMA tercatat sebesar US$ 5,45 miliar, atau setara Rp 51,77 triliun dengan asumsi kurs Rp 9.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Sedangkan nilai PMDN mencapai Rp 20,80 triliun. Sebagai perbandingan, pada periode sama 2011, realisasi investasi PMA US$ 3,25 miliar, atau setara Rp 27,62 triliun dengan asumsi kurs Rp 6.500 per dolar AS. Sedangkan PMDN-nya sebesar Rp 18,62 triliun.
Kontribusi Industri Manufaktur
Melesat
Kinerja industri manufaktur
sepanjang 2015 mencapai Rp2.097,71 triliun atau berkontribusi 18,1% terhadap
PDB nasional, dengan sokongan terbesar dari sektor makanan dan minuman, barang
logam, alat angkutan serta industri kimia, farmasi, dan obat tradisional.
Raihan tersebut meningkat di
bandingkan dengan tahun sebelumnya yakni senilai Rp1.884 triliun atau
memberikan kontribusi 17,8% terhadap PDB nasional.
Sekretaris Jenderal Kementerian
Perindustrian (Kemenperin) Syarif Hidayat mengatakan kenaikan porsi tersebut
disebabkan oleh turunnya kontribusi dari beberapa sektor lain seperti minyak
dan gas (migas), komoditas perkebunan, dan pertambangan.
“Kalau
melihat dari sisi kontribusi terhadap PDB, itu tidak hanya mutlak dari
pencapaian industri. Memang ada kenaikan sedikit, tapi ada juga faktor karena
sektor lain turun,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (22/2).
Sektor
industri pengolahan secara umum berkontribusi 20,84% atau mencapai Rp2.405,4
triliun dari PDB nasional senilai Rp11.540,79 triliun.
Adapun
dari capaian sektor pengolahan nonmigas, kontribusi terbesar masih disokong
oleh industri makanan dan minuman sebesar 30,84%. Selanjutnya disusul oleh
industri barang logam, barang elektronik dan peralatan listrik (10,81%),
industri alat angkutan (10,5%) serta industri kimia, farmasi dan obat
tradisional (9,98%).
Kendati
kondisi perekonomian pada 2015 lebih sulit ketimbang tahun sebelumnya, secara
nilai industrinya, manufaktur nasional masih mengalami pertumbuhan.
Hal
tersebut disebabkan oleh meningkatnya investasi, baik dari investor baru maupun
pelaku usaha yang melakukan ekspansi. “Intinya investasi bertambah. Kemudian
ekspor produk manu faktur meningkat menjadi 70,9% dari total ekspor nasional,”
katanya.
Dia
menjelaskan, pihaknya menargetkan kontribusi sektor manufaktur dapat meningkat
menjadi 18,5% pada 2016, dengan laju pertumbuhan industri sebesar 5,7%.
“Idealnya negara maju itu kontribusi sektor manufakturnya di atas 30%. Itu
cita-cita kita pada 2035.
Sektor
Manufaktur Harus Ditingkatkan
Pemerintah diminta menggenjot
pertumbuhan sektor manufaktur untuk mendorongpertumbuhan ekonomi. Sektor
manufaktur dapat memberikan nilai tambah sekaligus mendorongproduktivitas.
Senior
Advisor Ekonomi Transformasi Jonathan Pincus mengatakan, sejak tahun 2000 nilai
tambah sektor manufaktur di Indonesia telah meningkat sekitar 4,9% per tahun.
Namun, angka tersebut masih kalah jauh dibandingkandengannegaralain di kawasan
ASEAN seperti Vietnam yang pertumbuhan manufakturnya mencapai 10,1%.
"Negara
lainnya, Bangladesh, juga termasuk tinggi, 7,9%. Untuk mendorong pertumbuhan,
Indonesia harus menyamai catatan Vietnam yang tumbuh dua digit setiap
tahunnya," ujar Jonathan kepada KORANSINDO kemarin.
Dia
menambahkan, pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia kurang dari yang
dicatatkan Vietnam, maka bukan mustahil akan berdampak pada melambatnya
pertumbuhan ekonomi.Dengankata lain, manufaktur adalah sektor terdepan, berbeda
dengan sektor jasa yang dinilai lebih lambat pertumbuhannya karena tidak
diperdagangkan.
Berdasarkan
kajian Transformasi, hambatan utama pengembangan industri adalah kurangnya
infrastruktur, kurangnya pasokan buruh teram-pil, birokrasi yang rumit, dan
terlalu banyak korupsi.
"Mengetahui
apa yang salah itu mudah, memperbaikinya yang ternyata sangatlah sulit,"
ujar pria yang juga pakar ekonomi pembangunan dengan spesialisasi Asia Tenggara
ini.
Dia
menambahkan, pengembangan infrastruktur di Tariah Air lamban karena dua masalah
utama yakni pembebasan lahan dan pembiayaan. Untuk itu, dia menyarankan agar
Undang-Undang Pertanahan disederhanakan untuk melindungi publik, meningkatkan
pendapatan pajak dari tanah, dan mempermudah penggunaan tanah atau lahan
sebagai jaminan dan mempercepat pembangunan.
Jonathan
juga berpendapat bahwa realisasi pengembangan belasan kawasan industri yang
direncanakan oleh Kementerian Perindustrian sebaiknya secarabertahap.
"Akanlebih bijak memulai dengan satu atau dua proyek. Setelah itu
dievaluasi secara seksama," kata dia.
Sebelumnya
Kementerian Perindustrian menyatakan akan mengembangkan 14 kawasan industri
baru di Tanah Air, di mana mayoritas berada di luar Pulau Jawa.
Direktur
Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam
Haryono mengatakan, saat ini selain masih mengkaji Kawasan Industri Jorong, di
Kalimantan Selatan, Pemerintah juga telah menyiapkan pembangunan infrastruktur
untuk 13 kawasan industri.
Adapun,
beberapa kawasan industri yang akan dibangun antaralain, Kaula Tanjung dan Sei
Mangke Sumatera Utara; Tanggamus, Lampung; BatuLicin, Kalimantan Selatan;
Ketapang dan Landak, Kalimantan Barat; Palu dan Morowali, Sulawesi Tengah;
Bantaeng, Sulawesi Selatan; Bitung, Sulawesi Utara; Konawe, Sulawesi Tenggara;
Bull Halmahera Timur, Maluku Utara; dan TelukBintuni, Papua.
Empat Industri Prioritas
Terapkan Standar Industri Hijau
Empat industri prioritas akan
mulai menerapkan standar industri hijau tahun ini. Standar industri
hijau adalah standar industri yang mencakup bahan baku,
bahan penolong, energi, proses produksi, serta pengelolaan limbah
yang sudah memakai konsep go green.
“Tahun
ini, kementerian perindustrian akan menerapkan standar industri hijau
pada industri baja, semen, kertas, dan keramik. Industri hijau sangat
penting untuk mewujudkan keberlangsungan lingkungan,” kata Sekretaris
Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Anshari Bukhari di
Jakarta, Rabu (25/2).
Tahap
awal, kata Anshari, standar industri hijau akan
diberlakukan sukarela. Pada tahapan ini, pemerintah akan
memfasilitasi perusahaan industri untuk memenuhi standar industri
hijau melalui pemberian insentif nonfiskal, penguatan kapasitas kelembagaan,
dan fasilitas dalam kegiatan promosi.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014, industri nasional harus menuju
industri hijau dalam proses produksinya. Tujuannya untuk menurunkan
emisi gas rumah kaca. “Jika industri nasional sudah menerapkan
industri hijau, Indonesia akan menjadi negara hijau yang
bebas polusi,” tutur dia.
Untuk
memacu penerapan standar industri hijau, Kemenperin menggelar program
penghargaan industri hijau kepada perusahaan industri yang telah
menerapkan prinsip-prinsip hijau dalam proses produksinya.
“Penghargaan industri hijau merupakan langkah persiapan bagi pelaku
industri untuk menerapkan standar industri hijau,” ujar Anshari.
Pada
2014, penghargaan industri hijau diberikan kepada 101
perusahaan. Tahun ini, jumlah perusahaan yang mendapatkan penghargaan
industri hijau diperkirakan naik 10%
DAFTAR PUSTAKA :
Sumber : Investor Daily by: kemenperin_RI http://www.kemenperin.go.id/artikel/11232/Empat-Industri-Prioritas-Terapkan-Standar-Industri-Hijau
sumber : Harian Ekonomi
Neraca by: kemenperin_RI http://www.kemenperin.go.id/artikel/4692/Investasi-Sektor-Manufaktur-Diarahkan-ke-Indonesia-Timur
Sumber : Bisnis Indonesia by: kemenperin_RI http://www.kemenperin.go.id/artikel/14532/Kontribusi-Industri-Manufaktur-Melesat
Sumber : Koran Sindo by: kemenperin_RI http://kemenperin.go.id/artikel/11696/Sektor-Manufaktur-Harus-Ditingkatkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.