.

Rabu, 03 Juli 2013

Gula Sebagai Bahan Kaca, Kenapa Tidak?




Kaca adalah salah satu produk industri kimia yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Namun tidak banyak yang kita ketahui mengenai kaca tersebut. Dipandang dari segi fisika kaca merupakan zat cair yang sangat dingin. Disebut demikian karena struktur partikel-partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam zat cair namun dia sendiri berwujud padat.
Ini terjadi akibat proses pendinginan (cooling) yang sangat cepat, sehingga partikel-partikel silika tidak sempat menyusun diri secara teratur.
Dari segi kimia, kaca adalah gabungan dari berbagai oksida anorganik yang tidak mudah menguap , yang dihasilkan dari dekomposisi dan peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya. Kaca memiliki sifat-sifat yang khas dibanding dengan golongan keramik lainnya. Kekhasan sifat-sifat kaca ini terutama dipengaruhi oleh keunikan silika (SiO2) dan proses pembentukannya.
Bahan Baku Pembuatan Kaca
Untuk membuat berbagai jenis kaca, digunakan pasir kaca dalam jumlah yang besar. Sebagai fluks bagi silika ini, dipakai soda abu (Na2CO3), kerak garam, batu gamping dan gamping (CaCO3. MgCO3). Di samping itu, banyak pula dipakai oksida timbal, abu mutiara (kalsium karbonat), saltpeter, boraks, asam borat, asam trioksida, feldspar, dan fluorspar bersama berbagai jenis oksida, karbonat serta garam-garam logam lain untuk membuat kaca berwarna. Dalam operasi penyelesaian, banyak pula dipakai berbagai produk lain seperti abrasif dan asam fluorida.
Kelak di masa depan, polimetil metakrilat (PMMA) yang lebih dikenal sebagai kaca akrilik mungkin akan terbuat dari bahan alami seperti gula, alkohol, bahkan asam lemak. Bila dibandingkan dengan proses produksi kimia sebelumnya, sebuah proses bioteknologi untuk menghasilkan material ini akan jauh lebih ramah lingkungan.
PMMA dibuat dengan cara mempolimerisasi metil metakrilat (MMA). Para ilmuwan di University of Duisburg-Essen and the Helmholtz Centre for Environmental Research (UFZ) telah menemukan suatu enzim dalam strain bakteri yang dapat digunakan untuk produksi prekursor dari MMA secara bioteknologi.
Enzim ini ditemukan oleh Dr. Thore Rohwerder dan Dr. Roland H. Müller. Mereka menamainya 2-hidroksisobutiril-CoA mutase. Enzim ini memungkinkan sebuah pengubahan struktur karbon C4 linear menjadi struktur bercabang. Senyawa dari tipe reaksi ini adalah prekursor untuk MMA. Aspek revolusionernya terletak pada kemampuan enzim ini bilamana diintegrasikan dengan mikrorganisme yang tepat akan mampu mengubah senyawa gula dan senyawa alam lainnya menjadi produk yang diinginkan. Hingga kini, satu-satunya cara untuk menghasilkan prekursor ini, yaitu 2-hidroksibutirat (2-HIBA), adalah dengan proses kimia murni berbahan dasar senyawa petrokimia.
Industri kimia di seluruh dunia telah mencari proses biologis yang tepat, sehingga di masa depan, bahan dasar terbaharukan dapat juga digunakan sebagai dasar dari reaksi sintesis MMA. Mutasi yang disinggung disini memberikan solusinya: sebuah enzim yang mampu mengubah gugus fungsional dari satu posisi ke posisi lain dalam sebuah molekul. Dalam sebuah penelitian pasca-doktoral di UFZ Department of Environmental Microbiology, Dr Thore Rohwerder dan pembimbingnya Dr Roland H. Müller telah menemukan enzim dalam strain baktei yang berhasil diisolasi ketika mereka sedang mencari bakteri yang tepat untuk mendegradasi polutan MTBE (metil tersier butil eter).
PMMA adalah sebuah plastik sintetik dikembangkan di tahun 1928 dan hari ini dihasilkan dalam jumlah yang amat besar. PMMA umumnya dikenal sebagai kaca akrilik, dan digunakan untuk kaca anti-pecah dan alternatif kaca dengan berat ringan, dimana aplikasinya antara lain kacamata pelindung dan lampu kendaraan. PMMA memiliki banyak aplikasi termasuk prostetik, cat, dan perekat. PMMA dijual dengan berbagai nama dagang, diantaranya “Plexiglas®” (Evonik) dan “Altuglas” (Arkema).
Dalam GDR, nama yang dipakai untuk produk ini adalah “O-Glas” atau “Piacryl”. Plastik ini rapuh, namun sangat resistan terhadap sinar UV yang membuatnya tahan terhadap cuaca. Tingkat kejernihan yang tinggi dan berat yang ringan berarti gelas akrilik memiliki kelebihan dibandingkan gelas tradisional. Material ini pun telah digunakan untuk atap dari stadium Olimpiade di Munich pada tahun 1970. Para ahli memperkirakan bahwa permintaan dari gelas akrilik akan berkembang lebih pesat di masa depan, seperti salah satu penggunaannya untuk unit fotovoltaik / sel matahari. (Alfian)



Sumber :


1 komentar:

  1. Ilmu semakin dipelajari semakin kita merasa bodoh.
    begitu luasnya hal hal yang dapat dipelajari di dunia bahkan dari hal yang simpel seperti dalam artikel ini.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.