Laman

Sabtu, 17 Februari 2018

Pengolahan Air Limbah Industri Tahu

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TAHU

Oleh: Yan Yan Apriyana(@G25-Yan)
Mahasiswa Teknik Industri, Universitas Mercubuana Jakarta


ABSTRAK
Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar produk tahu di Indonesia dihasilkan oleh industri skala kecil yang kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. Industri tersebut berkembang pesat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, di sisi lain industri ini menghasilakan limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tahu membutuhkan air untuk pemrosesannya, yaitu untuk prosees sortasi, peredaman, pengupasan kulit, pencucian, penggilingan, perebusan dan penyaringan.

Kegiatan industri tahu di Indonesia didominasi oleh usaha-usaha skala kecil dengan modal yang terbatas. Dari segi lokasi, usaha ini juga sangat tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sumber daya manusia yang terlibat pada umumnya bertaraf pendidikan yang relatif rendah, serta belum banyak yang melakukan pengolahan limbah. 
Kata Kunci:Limbah Tahu, Industri Tahu


  Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu

Berbagai upaya untuk mengolah limbah cair industri tahu telah dicoba dandikembangkan. Secara umum, metode pengolahan yang dikembangkan tersebut dapat digolongkan atas 3 jenis metode pengolahan, yaitu secara fisika, kimia maupun biologis.

1.    Cara fisika

Merupakan metode pemisahan sebagian dari beban pencemaran khususnya padatan tersuspensi atau koloid dari limbah cair. Dalam pengolahan limbah cair industri tahu secara fisika, proses yang dapat digunakan antara lain adalah filtrasi dan pengendapan (sedimentasi). Filtrasi (penyaringan) menggunakan media penyaring terutama untuk menjernihkan dan memisahkan partikel-partikel kasar dan padatan tersuspensi dari limbah cair. Padatan tersuspensi yang lolos dari penyaringan selanjutnya disisihkan dalam unit sedimentasi dengan menambahkan koagulan sehinggga terbentuk flok. Proses ini termasuk proses kimia. Dalam sedimentasi, flokflok padatan dipisahkan dari aliran dengan memanfaatkan gaya gravitasi.

2.    Cara kimia

Merupakan metode penghilangan atau konversi senyawa-senyawa polutan dalam limbah cair dengan penambahan bahan-bahan kimia atau reaksi kimia lainnya. Beberapa proses yang dapat diterapkan dalam pengolahan limbah cair industri tahu diantaranya termasuk koagulasi-flokulasi dan netralisasi. Dalam proses koagulasi-flokulasi, partikel-partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui sifat adsorpsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ionion bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh (lapisan stern) mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan kokoh (stern) yang bermuatan positif menarik ion-ion negatif lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua (lapisan difus). Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel koloid dan membuatnya menjadi stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil menurut Davis dan Cornwell (1991) cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya membentuk flok-flok berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi.

Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan (koagulan) ke dalam koloid, dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat beraglomerasi satu sama lain membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflokmikroflok yang telah terbentuk dengan dibantu pengadukan lambat mengalami penggabungan menghasilkan makroflok (flokulasi), sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan dengan cara pengendapan atau filtrasi.

Koagulan yang biasa digunakan antara lain polielektrolit, aluminium, kapur, dan garam-garam besi. Masalah dalam pengolahan limbah secara kimiawi adalah banyaknya endapan lumpur yang dihasilkan , sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut. (Rahman. 2010)

3.    Cara biologi

Dapat menurunkan kadar zat organik terlarut dengan memanfaatkan mikroorganisme atau tumbuhan air. Pada dasarnya cara biologi adalah pemutusan molekul kompleks menjadi molekul sederhana oleh mikroorganisme. Proses ini sangat peka terhadap faktor suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan zat-zat inhibitor terutama zat-zat beracun. Mikroorganisme yang digunakan untuk pengolahan limbah adalah bakteri, algae, atau protozoa Sedangkan tumbuhan air yang mungkin dapat digunakan termasuk gulma air (aquatic weeds).

Metode biologis lainnya dapat dilakukan dengan Anaerobik, Anaerobik-Biogas, Aerobik, Kombinasi Anaerobik dan Aerobik.

a.    Pengolahan Limbah Cair Anaerobik

Proses anaerobik pada hakikatnya adalah proses yang terjadi karena aktivitas mikroba yang dilakukan pada saat tidak terdapat oksigen bebas. Proses anaerobik dapat digunakan untuk mengolah berbagai jenis limbah yang bersifat biodegradable, termasuk limbah industri makanan salah satunya adalah limbah tahu.

Proses biologi anaerobik merupakan sistem pengolahan air limbah tahu yang banyak digunakan. Pertimbangan yang dilakukan adalah mudah, murah dan hasilnya bagus. Proses biologi anaerobik merupakan salah satu sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme yang bekerja pada kondisi anaerob. Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metana. Selebihnya terdapat interaksi sinergis antara bermacammacam kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah.

Kelompok bakteri non metanogen yang bertanggung jawab untuk proses hidrolisis dan fermentasi tardiri dari bakteri anaerob fakultatif dan obligat. Mikroorganisme yang diisolasi dari digester anaerobik adalah Clostridium spp., Peptococcus anaerobus, Bifidobacterium spp., Desulphovibrio spp., Corynebacterium spp., Lactobacillus, Actonomyces, Staphylococcus, and Eschericia coli (Metcalf and Eddy, 2003).

Ada tiga tahapan dasar yang termasuk dalam keseluruhan proses pengolahan limbah secara oksidasi anaerobik, yaitu : hidrolisis, fermentasi (yang juga dikenal dengan sebutan asidogenesis), dan metanogenesis (Metcalf and Eddy, 2003). Selama proses hidrolsis, bakteri fermentasi merubah materi organik kompleks yang tidak larut, seperti selulosa menjadi molekul-molekul yang dapat larut, seperti asam lemak, asam amino dan gula. Materi polimer komplek dihidrolisa menjadi monomer-monomer, contoh : selulosa menjadi gula atau alkohol. Molekul-molekul monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok bakteri selanjutnya. Hidrolisis molekul kompleks dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti selulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam penguraian limbah selulolitik yang mengandung lignin.

Pada proses fermentasi (asidogenesis), bakteri asidogenik (pembentuk asam) merubah gula, asam amino, dan asam lemak menjadi asam-asam organik (asam asetat, propionate, butirat, laktat, format) alkohol dan keton (etanol, methanol, gliserol dan aseton), asetat, CO2 dan H2. Produk utama dari proses fermentasi ini adalah asetat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti pH dan suhu.

Proses metanogenesis dilaksanakan oleh suatu kelompok mikroorganisme yang dikenal sebagai bakteri metanogen. Ada dua kelompok bakteri metanogen yang dilibatkan dalam proses produksi metan. Kelompok pertama, aceticlastic methanogens, membagi asetat ke dalam metan dan karbondioksida. Kelompok kedua, hidrogen memanfaatkan metanogen, yaitu menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan CO2 sebagai aseptor elektron untuk memproduksi metan. Bakteri di dalam proses anaerobik, yaitu bakteri acetogens, juga mampu menggunakan CO2 untuk mengoksidasi dan bentuk asam asetat. Dimana asam asetat dikonversi menjadi metan. Sekitar 72% metan yang diproduksi dalam digester anaerobik adalah formasi dari asetat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik (Monnet, 2003) yaitu :

·         Suhu.

Proses anaerobik dapat terjadi dibawah dua kisaran kondisi suhu, yaitu kondisi mesopilik, yaitu antara 20-45oC, pada umumnya 35oC dan kondisi thermopilik, yaitu antara 50-65oC, pada umumnya 55oC. Suhu yang optimal dari proses anaerobik bervariasi tergantung pada komposisi nutrient di dalam digester, tetapi kebanyakan proses anaerobik seharusnya dipelihara secara konstan untuk mendukung tingkat produksi gas. Digester termopilik lebih efisien dalam hal waktu tinggal, tingkat kapasitas, dan jumlah produksi gas, tetapi di lain hal membutuhkan input panas yang lebih tinggi dan mempunyai sensitivitas yang tinggi yang membuat proses lebih problematik daripada digesti mesopilik.

·         Waktu Tinggal.

 Waktu tinggal adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai proses degradasi materi-materi organik yang sempurna. Waktu tinggal bervariasi dengan memproses parameter-parameter, seperti memproses suhu dan komposisi limbah. Waktu tinggal untuk limbah yang diperlakukan dalam digester mesopilic dalam kisaran 15-30 hari dan 12-14 hari untuk digester termopilik.

·         pH.

Nilai pH yang optimal untuk proses asidogenesis dan metanogenesis berbedabeda. Selama proses asidogenesis dibentuk asetat, laktat, dan asam propionat, dengan demikian pH turun. pH yang rendah dapat menghambat proses asidogenesis dan nilai pH dibawah 6,4 dapat bersifat racun untuk bakteri pembentuk metan (pH optimal untuk proses metanogenesis adalah antara 6,6-7). Kisaran pH optimal untuk semua yaitu antara 6,4-7,2.

·         Rasio Karbon dan Nitrogen (C:N).

Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang hadir dalam materi organik di gambarkan oleh rasio C : N. Rasio optimal C : N dalam proses anaerobik antara 20 : 30. Rasio C : N yang tinggi mengidikasikan adanya konsumsi nitrogen yang cepat oleh bakteri metanogen dan menghasilkan produksi gas yang rendah. Selain itu rasio C : N yang rendah menyebabkan akumulasi ammonia dan nilai pH yang melebihi 8,5 dan ini bersifat racun bagi bakteri matanogen.

·         Mixing.

Mixing di dalam digester, meningkatkan kontak antara mikroorganisme dengan substrat dan meningkatkan kemampuan populasi bakteri untuk memperoleh nutrisi. Mixing juga membangun gradien suhu di dalam digester. Mixing yang berlebihan dapat merusak mikroorganisme dan oleh karena itu mixing yang lambat lebih disukai.

b.    Anaerobik – Biogas

Secara umum proses anaerobik akan menghasilkan gas Methana (Biogas). Biogas (gas bio) adalah gas yang dihasilkan dari pembusukan bahan-bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob (tanpa ada oksigen bebas). Biogas tersebut merupakan campuran dari berbagai macam gas antara lain : CH4 (54%-70%), CO2 (27%-45%), O2 (1%-4%), N2 (0,5%-3%), CO (1%), dan H2 <<<<< (KLH, 2006). Sifat penting dari gas metan ini adalah tidak berbau, tidak berwarna, beracun dan mudah terbakar. Karena sifat gas tersebut, maka gas metan ini termasuk membahayakan bagi keselamatan manusia (Sugiharto, 2005).

Penggunaan biogas ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi pencemaran lingkungan, karena dengan fermentasi bakteri anaerob (bakteri metan) maka tingkat pengurangan pencemaran lingkungan dengan parameter BOD, COD akan berkurang sampai 90%. Sistem ini banyak dipakai dengan pertimbangan ada manfaat yang bisa diambil yaitu pemanfaatan biogas yang sangat memungkinkan digunakan sebagai bahan sumber energi karena gas metan sama dengan gas elpiji (liquid petroleum gas/LPG), perbedaannya adalah gas metan mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak. Contoh pemanfaatan biogas misalnya untuk memasak, lampu penerangan, listrik generator, dan dapat menggantikan bahan bakar yang lain, dsb (KLH, 2006).

Ada dua tipe alat pembangkit biogas atau digester (LIPI, 2006), yaitu:

·         Tipe Terapung (Floating Type)

Tipe terapung ini banyak dikembangkan di India yang terdiri atas sumur pencerna dan diatasnya ditaruh drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah, seperti pasir, batu bata, dan semen. Karena banyak dikembangkan di India, maka digester ini disebut juga dengan tipe India.

·         Tipe Kubah (Fixed Dome Digester)

Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dipakai di Indonesia. Tipe kubah adalah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Tipe ini dikembangkan di Cina sehingga disebut juga tipe kubah atau tipe Cina.

Dengan sistem anaerobik-biogas, gas yang dihasilkan tergantung pada kandungan protein, lemak dan karbohidrat yang terkandung dalam limbah, lamanya waktu pembusukan minimal 30 hari karena semakin lama pembusukan semakin sempurna prosesnya, suhu di dalam digester yaitu 15oC-35oC, kapasitas kedelai minimal untuk dapat menghasilkan biogas adalah ± 400 kg, untuk produksi tahu dengan kapasitas kedelai 700 kg/hari dihasilkan tidak kurang dari 10.500 liter gas bio per hari, kebutuhan satu rumah tangga dengan 4-5 orang anggota ± 1.200 – 2.000 liter gas bio per hari (KLH, 2006).

Adapun sistem pengolahan biogas meliputi inlet (masuknya air limbah), bak equalisasi, bak pengendapan, bak Anaerobik Filter, bak peluapan, bak pengurasan, dan outlet (keluarnya air limbah yang telah diolah) (KLH, 2006).

Keuntungan atau keunggulan dari sistem anaerobik-biogas adalah mengurangi potensi kerusakan hutan yaitu mengurangi penebangan pohon yang digunakan untuk kayu bakar, mencegah erosi tanah, dan menghemat pemakaian bahan bakar minyak.

Biogas merupakan energi yang ramah lingkungan dan merupakan cara yang aman untuk menempatkan bahan organik jika dikelola dengan baik, sehingga meningkatkan sanitasi dan kesehatan lokal. Sisa padatan dari produksi biogas (lumpur hasil pembangkitan biogas) dapat digunakan untuk pembuatan pupuk kompos. Ini dapat mengurangi polusi air tanah dan meningkatkan kualitas udara. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan gas karbon dioksida CO2 memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan global (efek rumah kaca), sehingga upaya ini dapat diusulkan sebagai bagian dari program internasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) (Inforce, 2006).

Untuk biogas ini sistem yang diterapkan harus dirawat dan dibersihkan secara periodik untuk menghilangkan lumpur (residu padatan) hasil pembangkitan biogas dan tindakan pencegahan serta keselamatan untuk sistem pendistribusian gas harus terus diamati.

c.    Pengolahan Limbah Cair Sistem Aerobik

Pada pengolahan air limbah tahu proses biologi aerobik merupakan proses lanjutan untuk mendegradasi kandungan senyawa organik air limbah yang masih tersisa setelah proses anaerobik. Sistem penanganan aerobik digunakan sebagai pencegah timbulnya masalah bau selama penaganan limbah, agar memenuhi persyaratan effluent dan untuk stabilisasi limbah sebelum dialirkan ke badan penerima (Jenie dan Rahayu, 1993).

Proses pengolahan limbah aerobik berarti proses dimana terdapat oksigen terlarut. Oksidasi bahan-bahan organik menggunakan molekul oksigen sebagai aseptor elektron akhir adalah proses utama yang menghasilkan energi kimia untuk mikroorganisme dalam proses ini. Mikroba yang menggunakan oksigen sebagai aseptor elektron akhir adalah mikroorganisme aerobik (Jenie dan Rahayu, 1993). Pengolahan limbah dengan sistem aerobik yang banyak dipakai antara lain dengan sistem lumpur aktif, piring biologi berputar (Rotating Biological Contractor = RBC) dan selokan oksidasi (Oxidation Ditch).

d.    Pengolahan Limbah Sistem Kombinasi Anaerobik-Aerobik

Secara umum proses pengolahan kombinasi ini dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerobik dan yang kedua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerobik-aerobik.

·         Penguraian anaerobik.

Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu dikumpulkan melalui saluran limbah, kemudian dialirkan ke bak kontrol untuk memisahkan buangan padat. Selanjutnya limbah dialirkan ke bak pengurai anaerobik. Di dalam bak pengurai anaerobik tersebut pencemar organik yang ada dalam limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerobik, menghasilkan gas hidrogen sulfida dan metana yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Pada proses tahap pertama efisiensi penurunan nilai COD dalam limbah dapat mencapai 80-90%. Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem kombinsi anaerobik-aerobik dengan menggunakan biofilter (Herlambang, 2002).

·         Proses pengolahan lanjut.

Proses pengolahan limbah dengan proses biofilter anaerobik-aerobik terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerobik, biofilter aerobik, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak klorinasi. Limbah yang berasal dari proses penguraian anaerobik (pengolahan tahap pertama) dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnva. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungsi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, pengurai lumpur dan penampung lumpur (Herlambang, 2002).

Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak anaerobik dengan arah aliran dari atas ke bawah (down flow) dan dari bawah ke atas (up flow). Di dalam bak anaerobik tersebut diisi dengan media dari bahan plastik atau kerikil dan batu pecah. Jumlah bak anaerobik ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik. Setelah beberapa hari, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap awal. Air limpasan dari bak anaerobik dialirkan ke bak aerobik. Di dalam bak aerobik ini dapat diisi dengan media dari bahan kerikil atau plastik atau batu apung atau bahan serat sesuai dengan kebutuhan atau dana yang tersedia, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara, sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian limbah akan kontak dengan mikroorganisme yang, tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media (Herlambang, 2002).

Dari proses tersebut efisiensi penguraian zat organik dan deterjen dapat ditingkatkan serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan amonia menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan aerasi kontak (contact aeration). Dari bak aerasi, limbah dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini kembali ke bagian awal bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan dialirkan ke bak klorinasi (Herlambang, 2002).

Di dalam bak klorinasi ini limbah direaksikan dengan klor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses klorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerobik-aerobik tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD) juga menurunkan amonia, deterjen, muatan padat tersuspensi (MPT) fosfat dan lainnva. Dengan adanya proses pengolahan lanjut tersebut, nilai COD dalam air olahan yang nilai COD dalam air olahan yang dihasilkan akan relatif rendah (Herlambang, 2002).
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Kaswinarti Fibria. 2007. Studi Kasus Industri Tahu Tandang Semarang, Sederhana Kendal dan Gagak Sipat Boyolali,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.