Laman

Senin, 29 Januari 2018

Kimia Pangan : Penggunaan Pengawet pada makanan

Oleh : Mochamad Dadan Rhamdani (@G17-Mochamad)

Abstrak
Pembangunan manusia yang sehat dan cerdas tidak terlepas dari bahan makanan yang dikonsumsi. Makanan yang sehat dengan kandungan gizi yang lengkap serta aman merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi pada bahan pangan. Keamanan pangan ditentukan oleh ada tidaknya komponen yang berbahaya baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi. Secara kimiawi dapat berasal dari zat-zat kimia berbahaya yang tidak boleh digunakan sebagai bahan pangan seperti formalin, boraks, dan insektisida serta bahan tambahan pangan (BTP) yang dibatasi penggunaannya seperti asam benzoat, askorbat, laktat sitrat dan bahan tambahan pangan lainnya sesuai dengan SNI 01-0222-1995.

Kata Kunci : Pengawet pada Makanan
       Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, karena dari makanan manusia mendapatkan zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Zat gizi dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam tubuh, dan menyediakan energi bagi fungsi tubuh (Muchtadi, 2010).
       Pada umumnya, bahan makanan berasal dari komoditas pertanian, perikanan dan perkebunan yang rentan mengalami kerusakan dan pembusukan. Kerusakan yang terjadi sering disertai dengan pembentukan senyawa beracun, disamping hilangnya nilai zat gizi bahan pangan (Desrosier, 2008). Oleh karena itu, bahan makanan harus segera diolah setelah panen.
       Pengawetan dan memasak merupakan dua macam pengolahan bahan makanan yang sering dilakukan oleh masyarakat. Pengawetan pada hakikatnya adalah merupakan salah satu usaha untuk menekan, mengurangi atau menghalangi mikroba yang tergolong pathogen dan penghasil racun pada bahan makanan (Supardi dan Sukamto, 1999). Sedangkan, memasak merupakan cara pengolahan agar bahan makanan dapat diterima secara sensori, baik dari penampilan (aroma dan rasa) maupun teksturnya (kekerasan, kelembutan, konsistensi, kekenyalan, kerenyahan) (Apriyantono, 2002).
       Kasus formalin dalam bahan makanan, merupakan salah satu contoh dari sekian banyak penyalahgunaan bahan tambahan yang tidak sesuai dengan peraturan.
       Formalin yang disebut juga formaldehida(juga disebut metanal, atau formalin), merupakan aldehida dengan rumus kimia H2CO, yang berbentuk gas atau cair yang dikenal oleh kita yaitu formalin, dan padatan yang dikenal sebagai paraformaldehyde atau trioxane. Formaldehida ini awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia yaitu Aleksandr Butleroy tahun 1859, tetapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867.

       Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) atau food additives sudah sangat meluas. Hampir semua industri pangan, baik industri besar maupun industri rumah tangga, dipastikan menggunakan BTP. Penggunaan BTP memang tidak dilarang asalkan bahan tersebut benar-benar aman bagi kesehatan manusia dan dalam dosis yang tepat.
      Pengawet merupakan salah satu jenis BTP yang paling banyak digunakan oleh produsen makanan. Penggunaan BTP dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran atau agar produk tahan lama, serta untuk memperbaiki rasa, aroma, penampilan fisik, dan warna. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik akibat perubahan kimiawi. Namun, karena kurangnya pengetahuan tentang bahaya penggunaan BTP, para produsen makanan menggunakan BTP (pengawet) secara berlebihan.
Bahan Tambahan yang Dilarang Digunakan dalam Makanan antara lain :
1.   Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya.
2.   Asam salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its Salt).
3.   Dietilpirokarbonat (Diethylpirocarbonate DEPC).
4.   Dulsin (Dulcin).
5.   Kalium Klorat (Potassium Chlorate).
6.   Khloramfenikol (Chloramphenicol).
7.   Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated Vegetable Oils).
8.   Nitrofurazon (Nitrofurazone).
9.   Formalin (Formaldehyde).
10. Kalium Bromat (Potassium Bromate).
       Kasus pemakaian formalin pada tahu, ikan segar, ikan asin, dan produk makanan lainnya menunjukkan kurangnya pengetahuan produsen serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat dan bahaya bahan aditif. Formalin tidak diperkenankan ada dalam makanan maupun minuman, karena dalam jangka panjang dapat memicu perkembangan sel-sel kanker. Formalin sangat berbahaya jika terhirup, tertelan atau mengenai kulit karena dapat mengakibatkan iritasi pada saluran pernapasan, reaksi alergi serta luka bakar.
       Untuk mencegah masuknya formalin kedalam tubuh, sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan dengan melakukan tindakan pencegahan berupa identifikasi kandungan formalin dalam makanan, yaitu dengan cara sebagai berikut. Sampel sebanyak 20g dimasukan ke dalam labu Kjedhal dan ditambahkan akuades sebanyak 200ml. Kemudian diasamkan dengan larutan asam fosfat 10%. Larutan didestilasi perlahan-lahan. Sebanyak 1-2 ml destilat dimasukan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5ml asam kromatofat 0,5% dan asam sulfat 60%. Larutan dimasukan dalam air yang mendidih selama 15 menit. Larutan akan berubah menjadi ungu apabila terdapat formalin dalam bahan (BPPOM, 2002).


Daftar Pustaka
Hidayat, A.A., dan Kholil, M. 2017. Kimia, Industri dan Teknologi Hijau. Jakarta: Pantona Media.
Rinto, Arafah, E., Utama, S.B. 2009. Kajian keamanan pangan (formalin, garam, dan mikrobia) pada ikan sepat asin produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia, Vol.8(2). Dalam : https://www.researchgate.net/profile/Rinto_Rinto/publication (Diunduh, 28 Januari 2018).
Wikanta, W. 2010. Persepsi masyarakat tentang penggunaan formalin dalam bahan makanan dan pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan. Jurnal Pendidikan Biologi. Vol.1(2). Dalam : http://ojs.fkip.ummetro.ac.id/index.php/biologi/article/view/189/154 (Diunduh, 28 Januari 2018). 
Ningrum, Y.C. 2013. Dalam : https://yenicahyaningrum.wordpress.com/2013/03/06/apa-itu-formalin/ (Diunduh, 28 Januari 2018).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.