Laman

Minggu, 08 Oktober 2017

pencemaran lingkungan di aceh



Masalah lingkungan hidup kini bertaburan di sekitar kita, mulai dari pencemaran, konflik lahan, pencurian kayu, pertambangan, perkebunan, mega proyek jalan dalam kawasan hutan hingga energy terbarukan yang akan di bangun diberbagai wilayah Aceh. Lalu mengapa menjadi masalah lingkungan hidup, tidak lain adalah karena terjadi berbagai dampak akibat dari seluruh kegiatan.
Lahan kritis
Begitu pula halnya terkait laju deforestasi akibat adanya kebijakan yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek lingkungan, guna mengejar target pertumbuhan ekonomi. Faktor perilaku manusia juga menjadi permasalahan utama dalam kerusakan lingkungan. Berdasarkan data 2007, luas lahan kritis di Aceh seluas 459.469,28 Ha dengan kategori kritis seluas 393.025,63 Ha dan sangat kritis 66.443,65 Ha. Pada 2011 luas lahan kritis di Aceh mengalami peningkatan mencapai 460.099,76 Ha, dengan kategori kritis seluas 393.397,03 Ha dan sangat kritis 66.702,73 Ha.
Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi lahan kritis yaitu melalui penanaman satu miliar pohon (OMOT). Pada 2011, melalui penanaman pada kegiatan penghijauan sebanyak 24.886.789 batang dan penanaman reboisasi sebanyak 3.808.598 batang. Pembangunan yang tidak terpadu (fragmented) selama ini telah berakibat perubahan drastis negatif terhadap kondisi sumber daya alam.
Eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (pertambangan mineral, batubara, migas, dan galian C) telah mengubah bentang alam tanpa terkendali. Terlebih lagi sumber daya alam terbarukan oleh deforestasi intensif (legal and illegal logging) untuk pembangunan infrastruktur, transportasi, industri, perkebunan, pertanian, telah mengakibatkan penyusutan drastis tutupan vegetasi hutan, terutama di daerah sliran sungai (DAS) dan punahnya keanekaragaman hayati.
Aceh merupakan wilayah dengan kondisi alam yang kompleks, sehingga menjadikannya sebagai satu daerah berpotensi tinggi terhadap bencana alam. Tingkat risiko bencana alam yang terjadi setiap tahunnya sangat tinggi, terutama banjir dan kekeringan. Sangat terbatasnya investasi infrastruktur tampungan penyimpanan air, telah berdampak pada keseimbangan hidrologi DAS. Fluktuasi debit air di sungai menjadi sangat besar, terutama pada musim hujan terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan.
Kecenderungan penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam telah memacu peningkatan pengelolaan hutan tanaman dan hutan rakyat. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya produksi kayu dari hutan tanaman dan hutan rakyat. Hutan rakyat di Aceh seluas 11.632 Ha, yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Potensi kayu jenis perdagangan di Aceh baik di Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru, Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi mencapai 59,19 juta m3.
Krueng Tanjong yang membelah sejumlah gampong di Kecamatan Ingin Jaya (Aceh Besar) dan Luengbata (Banda Aceh), tercemar limbah rumah tangga dan industri kecil. Akibatnya, air menjadi hitam pekat dan mengeluarkan bau menyengat. Warga yang rumahnya berdekatan dengan sungai tersebut pun terganggu akibat pencemaran.
Serambi bersama warga dan tokoh masyarakat Gampong Tanjong, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, dan Gampong Cot Mesjid, Kecamatan Luengbata, Banda Aceh, sempat melihat langsung aliran air sungai yang menghitam pekat, Minggu (30/8).Keuchik Tanjong Drs M Nur Husin MKes mengatakan, bau air sudah sangat mengganggu warga. Air hitam pekat itu bahkan sudah merembes ke sumur warga. Menurut M Nur, penyebab air tercemar karena limbah tahu yang dibuang ke sungai. “Ada beberapa pabrik tahu yang limbahnya di buang ke sungai. Akibatnya, air jadi tercemar,” kata M Nur.
WALHI Aceh bersama dengan Mongabay mengadakan diskusi kasus pencemaran Merkuri dengan tema Analisis Kebijakan Pertambangan Illegal dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang dilaksanakan di Dhapu Kupi, Simpang Surabaya, Banda Aceh pada hari Kamis/11 September 2014 jam 09.00 s/d 12.30 WIB. Beberapa catatan penting yang coba dirangkum dari diskusi ini antara lain kegiatan yang mempertemukan lintas komunitas/lembaga dengan berbagai aspek profesi  terkait merkuri. Selanjutnya jumlah penambang rakyat mencapai 5000 titik lebih di 12 Kabupaten/Kota di Aceh. WALHI Aceh merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh untuk segera mengeluarkan Rencana Aksi Daerah (RAN) untuk pertambangan illegal dalam rangka mencegah perusakan lingkungan hidup yang lebih besar.
Jika perbaikan tata kelola tidak  segera dilakukan untuk menghindari dampak yang lebih besar, maka WALHI Aceh akan menempuh upaya hukum dalam penyelamatan kerusakan yang kian marak akibat pertambangan Illegal.
Banda Aceh juga masih memiliki masalah polusi udara. Sebenarnya polusi udara di Banda Aceh masih dalam tahap baik. Namun, ada kecenderungan meningkatnya polusi udara akibat makin padatnya lalu lintas. Hal ini diakibatkan oleh masih tingginya penggunaan kendaraan pribadi serta belum dapat diandalkannya sistem BRT Transkutaraja yang saat ini baru beroperasi pada dua koridor serta pembangunan infrastrukturnya yang masih berjalan. Belum berjalannya perawatan drainase di beberapa area di kota juga membuat selokan penuh sampah. Selokan di beberapa bagian kota masih terbuka sehingga kadang-kadang mengeluarkan bau yang mengganggu. Hal ini dapat dilihat di sistem drainase kawasan pemukiman dan pasar. Keberadaan sampah bisa merusak drainase yang berakibat buruk pada kualitas lingkungan sekitar.



Daftar pustaka:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.