Pencemaran di Maluku
Kabupaten Maluku tenggara adalah salah
satu kabupaten di provinsi Maluku, Indonesia. Ibukota kabupaten ini terletak di
Langgur. Pada awalnya, ibukota berada di Kota Tual, namun setelah resmi menjadi
daerah otonom, ibukota kabupaten pun dipindahkan ke Langgur. Kabupaten ini
berbatasan dengan Laut Banda di utara dan timur, Laut Arafura di barat dan
Samudera Hindia di selatan.
Daerah Maluku tenggara ini tidak hanya terkenal sebagai sumber daya alam nya saja, namun lingkungan hidup di daerah ini juga turut mempengaruhi keindahan daerah otonom itu sendiri,
Daerah Maluku tenggara ini tidak hanya terkenal sebagai sumber daya alam nya saja, namun lingkungan hidup di daerah ini juga turut mempengaruhi keindahan daerah otonom itu sendiri,
Kondisi
Lingkungan
Lingkungan hidup Kabupaten Maluku Tenggara masih belum tercemar oleh kegiatan pembangunan karena belum terdapat industri pengolahan namun demikian ekosistem di kawasan pesisir terutama terumbu karang telah mengalami kerusakan akibat penangkapan ikan menggunakan potassium, bom, dan trawl. Fenomena ini menunjukan bahwa masyarakat masih belum memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya perlindungan lingkungan.
Berdasarkan hasil peman¬tauan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapeldada) Maluku Fauzan Chatib. Memastikan dua sungai di Maluku belum tercemar limbah berbahaya yaitu Sungai Bomaki di Kabupaten Maluku Teng-gara Barat dan Sungai Waisia di Kabupaten Seram Bagian Barat. Di masa depan Bapeldada akan memantau pergerakan penceraman, sehingga dibutuhkan langkah-lang¬kah strategis untuk menurunkan tingkat pencemaran. Pencemaran sungai terjadi karena pembuangan sampah masyarakat dan limbah industri di aliran sungai. Bahkan dampak perilaku itu, debit air sungai semakin menurun.Selain itu juga disebabkan adanya peningkatan pembangunan rumah masyarakat di daerah hulu, sehingga membuat penutupan lahan semakin terbuka dan mengakibatkan terjadinya banjir.
Kawasan hutan dimaluku juga dialihfungsikan untuk implementasi berbagai perencanaan pembangunan di Maluku yang kawasan hutan nya seluas 384.141 hektar dan telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No.871 tahun 2013. Selain itu proses alih fungsi kawasan hutan tersebut juga bertujuan mewujudkan ruang wilayah Maluku sebagai provinsi kepulauan yang aman, nyaman dan produktif berkelanjutan dan berbasis kelautan perikanan dan pariwisata demi peningkatan ekonomi.
Dari 11 kabupaten/kota di Maluku hanya Ambon yang memperoleh predikat sebagai kota dengan kualitas udara terbersih pada tahun 2013, di samping meraih penghargaan Adipura untuk kategori kota sedang terbersih dan teduh.
Masalah pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan, tandas Said, bukan perkara mudah untuk diatasi dikarenakan sangat berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat serta kemampuan pendapatan untuk membeli barang mewah tersebut, di mana angka penjualan kendaraan bermotor di daerah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Karena itu pembangunan bidang lingkungan hidup hendaknya memperhatikan aspek keterpaduan, keanekaragaman hayati serta aspek pelestarian lingkungan, sehingga implementasinya tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan masyarakat.
Lingkungan hidup Kabupaten Maluku Tenggara masih belum tercemar oleh kegiatan pembangunan karena belum terdapat industri pengolahan namun demikian ekosistem di kawasan pesisir terutama terumbu karang telah mengalami kerusakan akibat penangkapan ikan menggunakan potassium, bom, dan trawl. Fenomena ini menunjukan bahwa masyarakat masih belum memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya perlindungan lingkungan.
Berdasarkan hasil peman¬tauan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapeldada) Maluku Fauzan Chatib. Memastikan dua sungai di Maluku belum tercemar limbah berbahaya yaitu Sungai Bomaki di Kabupaten Maluku Teng-gara Barat dan Sungai Waisia di Kabupaten Seram Bagian Barat. Di masa depan Bapeldada akan memantau pergerakan penceraman, sehingga dibutuhkan langkah-lang¬kah strategis untuk menurunkan tingkat pencemaran. Pencemaran sungai terjadi karena pembuangan sampah masyarakat dan limbah industri di aliran sungai. Bahkan dampak perilaku itu, debit air sungai semakin menurun.Selain itu juga disebabkan adanya peningkatan pembangunan rumah masyarakat di daerah hulu, sehingga membuat penutupan lahan semakin terbuka dan mengakibatkan terjadinya banjir.
Kawasan hutan dimaluku juga dialihfungsikan untuk implementasi berbagai perencanaan pembangunan di Maluku yang kawasan hutan nya seluas 384.141 hektar dan telah mendapat persetujuan Menteri Kehutanan dan ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No.871 tahun 2013. Selain itu proses alih fungsi kawasan hutan tersebut juga bertujuan mewujudkan ruang wilayah Maluku sebagai provinsi kepulauan yang aman, nyaman dan produktif berkelanjutan dan berbasis kelautan perikanan dan pariwisata demi peningkatan ekonomi.
Dari 11 kabupaten/kota di Maluku hanya Ambon yang memperoleh predikat sebagai kota dengan kualitas udara terbersih pada tahun 2013, di samping meraih penghargaan Adipura untuk kategori kota sedang terbersih dan teduh.
Masalah pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan, tandas Said, bukan perkara mudah untuk diatasi dikarenakan sangat berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat serta kemampuan pendapatan untuk membeli barang mewah tersebut, di mana angka penjualan kendaraan bermotor di daerah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Karena itu pembangunan bidang lingkungan hidup hendaknya memperhatikan aspek keterpaduan, keanekaragaman hayati serta aspek pelestarian lingkungan, sehingga implementasinya tidak menimbulkan dampak sosial yang merugikan masyarakat.
Sampah Kepung Kota Ambon
SAMPAH kini menjadi masalah pelik di Kota Ambon. Bukan saja kontraversi terkait Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Nona yang membawa dampak buruk bagi masyarakat sekitarnya, namun sampah sudah menjadi masalah besar karena dasar laut di Teluk Dalam Ambon telah menumpuk sampah yang kian menggunung. Ibaratnya, sampah sudah mengepung Kota Ambon karena dari gunung sampai ke laut telah dipenuhi sampah.
Teluk Dalam Ambon semakin dangkal. Jika tahun 1980-an kedalaman Teluk Dalam Ambon rata-rata sekitar 40 meter, saat ini telah terjadi kedangkalan hingga tinggal 25 meter. Demikian diungkapkan Koordinator Koalisi Peduli Lingkungan Hidup Maluku Dr. Semmy Littik.
Menurut peneliti sekaligus dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura ini, kedangkalan disebabkan erosi yang terbawa aliran sungai mengakibatkan sendimentasi lumpur di dasar laut. Kondisi ini diperparah dengan tumpukan sampah di dasar laut yang semakin menggunung.
Selain pendangkalan Teluk Dalam Ambon, persediaan air tanah untuk masyarakat Ambon kian kritis. Hal ini terjadi karena sejumlah kawasan resapan air dan konservasi alam seperti Air Besar, Kayu Tiga, dan Gunung Nona sudah rusak akibat ulah manusia. Selain penebangan pohon yang tidak terkendali, kawasan-kawasan resapan air yang selama ini menjadi penyangga untuk suplai kebutuhan air bagi masyarakat Ambon telah dibuka menjadi kawasan pemukiman penduduk.
Aktivis Lingkungan Hidup dari Humanum Linda Holle mengemukakan, selain sampah dan krisis air di Ambon, beberapa kasus lingkungan hidup juga terjadi di daerah lain semakin bertambah parah akibat lemahnya sistem hukum, regulasi, dan peraturan tentang lingkungan hidup yang tidak cukup memberikan perlindungan terhadap pelestarian lingkungan hidup.
Selain itu, imbas dari kebijakan pemerintah turut mengancam kelestarian lingkungan hidup. Sejumlah persoalan lingkungan hidup, kata Linda, bahkan terjadi akibat kebijakan pemerintah.
Sejumlah kasus lingkungan hidup itu antara lain, pencemaran Teluk Dalam Ambon akibat pembangunan yang dilakukan perusahaan developer PT. Modern Multi Guna (MMG) yang sampai kini tidak terlihat upaya pemulihan. Akibat pembangunan itu, kawasan konservasi hutan mangrove di pesisir pantai Hative Kecil hingga Paso mengalami ancaman kerusakan. Bibir pantai tertutup lumpur berjarak 1.500 meter dengan lebar ke arah laut mencapai 1.000 meter. Selain itu, rusaknya ekosistem perairan dan ekosistem mangrove mengakibatkan matinya biota-biota laut pada ekosistem tersebut.
Selain itu, kata Linda, ada pula kasus ilegal longging di Desa Rumakay Kabupaten Seram Bagian Barat. Kasus ini sudah ada proses hukum namun belum terlihat hasilnya. Kasus ilegal logging di Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2007 yang sampai saat ini juga proses hukumnya tidak ada tindaklanjutnya.
Kasus eksplorasi tambang di Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah tanpa persetujuan masyarakat adat setempat. Kasus pencemaran lingkungan di Desa Galala dan Hative Kecil oleh pembuangan limba solar dari PLTD Hative Kecil berdampak pada air tanah yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Serta pencemaran lingkungan hidup di lokasi TPA Gunung Nona, Ambon mengakibatkan polusi udara terhadap pemukiman padat penduduk di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir tersebut.
“Hak atas lingkungan hidup adalah hak asai manusia. Kerusakan lingkungan hidup harus dilihat sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu kami sangat berharap ada progres dari aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus lingkungan terutama kasus ilegal logging. Karena sampai saat ini belum ada pelaku pengrusakan hutan yang kebanyakan milik ulayat masyarakat lokal tidak sampai dituntaskan melalui jalur hukum,” kata Staf Pemantauan Kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku ini (blasteran elhau)
SAMPAH kini menjadi masalah pelik di Kota Ambon. Bukan saja kontraversi terkait Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gunung Nona yang membawa dampak buruk bagi masyarakat sekitarnya, namun sampah sudah menjadi masalah besar karena dasar laut di Teluk Dalam Ambon telah menumpuk sampah yang kian menggunung. Ibaratnya, sampah sudah mengepung Kota Ambon karena dari gunung sampai ke laut telah dipenuhi sampah.
Teluk Dalam Ambon semakin dangkal. Jika tahun 1980-an kedalaman Teluk Dalam Ambon rata-rata sekitar 40 meter, saat ini telah terjadi kedangkalan hingga tinggal 25 meter. Demikian diungkapkan Koordinator Koalisi Peduli Lingkungan Hidup Maluku Dr. Semmy Littik.
Menurut peneliti sekaligus dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura ini, kedangkalan disebabkan erosi yang terbawa aliran sungai mengakibatkan sendimentasi lumpur di dasar laut. Kondisi ini diperparah dengan tumpukan sampah di dasar laut yang semakin menggunung.
Selain pendangkalan Teluk Dalam Ambon, persediaan air tanah untuk masyarakat Ambon kian kritis. Hal ini terjadi karena sejumlah kawasan resapan air dan konservasi alam seperti Air Besar, Kayu Tiga, dan Gunung Nona sudah rusak akibat ulah manusia. Selain penebangan pohon yang tidak terkendali, kawasan-kawasan resapan air yang selama ini menjadi penyangga untuk suplai kebutuhan air bagi masyarakat Ambon telah dibuka menjadi kawasan pemukiman penduduk.
Aktivis Lingkungan Hidup dari Humanum Linda Holle mengemukakan, selain sampah dan krisis air di Ambon, beberapa kasus lingkungan hidup juga terjadi di daerah lain semakin bertambah parah akibat lemahnya sistem hukum, regulasi, dan peraturan tentang lingkungan hidup yang tidak cukup memberikan perlindungan terhadap pelestarian lingkungan hidup.
Selain itu, imbas dari kebijakan pemerintah turut mengancam kelestarian lingkungan hidup. Sejumlah persoalan lingkungan hidup, kata Linda, bahkan terjadi akibat kebijakan pemerintah.
Sejumlah kasus lingkungan hidup itu antara lain, pencemaran Teluk Dalam Ambon akibat pembangunan yang dilakukan perusahaan developer PT. Modern Multi Guna (MMG) yang sampai kini tidak terlihat upaya pemulihan. Akibat pembangunan itu, kawasan konservasi hutan mangrove di pesisir pantai Hative Kecil hingga Paso mengalami ancaman kerusakan. Bibir pantai tertutup lumpur berjarak 1.500 meter dengan lebar ke arah laut mencapai 1.000 meter. Selain itu, rusaknya ekosistem perairan dan ekosistem mangrove mengakibatkan matinya biota-biota laut pada ekosistem tersebut.
Selain itu, kata Linda, ada pula kasus ilegal longging di Desa Rumakay Kabupaten Seram Bagian Barat. Kasus ini sudah ada proses hukum namun belum terlihat hasilnya. Kasus ilegal logging di Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2007 yang sampai saat ini juga proses hukumnya tidak ada tindaklanjutnya.
Kasus eksplorasi tambang di Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah tanpa persetujuan masyarakat adat setempat. Kasus pencemaran lingkungan di Desa Galala dan Hative Kecil oleh pembuangan limba solar dari PLTD Hative Kecil berdampak pada air tanah yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Serta pencemaran lingkungan hidup di lokasi TPA Gunung Nona, Ambon mengakibatkan polusi udara terhadap pemukiman padat penduduk di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir tersebut.
“Hak atas lingkungan hidup adalah hak asai manusia. Kerusakan lingkungan hidup harus dilihat sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu kami sangat berharap ada progres dari aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus lingkungan terutama kasus ilegal logging. Karena sampai saat ini belum ada pelaku pengrusakan hutan yang kebanyakan milik ulayat masyarakat lokal tidak sampai dituntaskan melalui jalur hukum,” kata Staf Pemantauan Kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku ini (blasteran elhau)
http://indonesiarayanews.com/read/2014/06/24/96851/364141-ha-hutan-di-maluku-disetujui-beralihfungsi
http://ditjenbun.pertanian.go.id/pascapanen/berita-186-komoditas-perkebunan-turut-andil-dalam-bulan-menanam-nasional-di-kabupaten-maluku-tenggara-barat-.html
http://www.kabartimur.co.id/index.php/daerah/item/1277-dua-sungai-di-maluku-belum-tercemar#itemCommentsAnchor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.