Laman

Rabu, 30 November 2016

Pencemaran Lingkungan Di Yogyakarta


Pencemaran lingkungan di Yogyakarta telah meningkat 250%. Hal ini dalam kurun waktu 2011 hingga 2014. Pencemaran yang paling banyak terjadi pada tahun 2014 adalah pencemaran udara. Yakni terjadi di 415 desa/kelurahan. Sedangkan pencemaran air terjadi di 44 desa/kelurahan dan pencemaran tanah terjadi di 4 desa/kelurahan. Data tersebut akhirnya menggambarkan bahwa semakin menurunnya kualitas udara yang ada di Yogyakarta. Khususnya  untuk pencemaran udara yang semakin meningkat drastis.

Tercatat di tahun 2011 ada 127 desa/kelurahan namun meningkat pada tahun 2014 menjadi 415 desa/kelurahan. Berbagai aktivitas masyarakat memang ikut berkontribusi dalam peningkatan pencemaran. Seperti pencemaran air dan tanah akibat pengolahan limbah industri yang tidak tepat serta pencemaran udara yang dikarenakan pembakaran pada kendaraan bermotor yang tidak baik. Selain aktivitas manusia, pencemaran lingkungan hidup juga ada dari aktivitas alam seperti gunung meletus, gas beracun dan lain-lain yang tidak dapat dihindari. Namun, pencemaran tersebut seharusnya dapat dikurangi dan dikendalikan. Jika masyarakat sama-sama menyadari untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlunya sosialisasi kepada masyarakat, agar saling memahami pentingnya pelestarian lingkungan dan pencemaran yang ada dapat ditekan.
1.   Pencemaran Lingkungan [AIR]
Pencemaran 4 Sungai Yogya Lewati Ambang Batas

Kondisi air di Sungai Winongo, Code, Manunggal, dan Gajah Wong berada dalam kategori kritis. Keempat sungai yang mengalir dari sisi barat hingga timur Kota Yogyakarta itu masuk dalam katerori C atau cemar berat.
Kandungan pencemaran terhadap air pada keempat sungai mencapai 200 sampai 300 miligram per liter, jauh melampaui standar baku mutu pencemaran air yang telah ditetapkan, yaitu hanya sekitar 50 miligram per liter. Titik pencemaran paling parah berada di wilayah sekitar bendungan, bantaran sungai, dan jembatan. Semua ini merupakan tempat favorit warga membuang sampah. Kepala Ekologi Region Yogyakarta Birowo Budhi mengatakan, “Air kita bermasalah, indeks lingkungan buruk. Hal ini disebabkan banyaknya sampah yang menumpuk di sepanjang aliran sungai.  Keruh dan pekatnya warna air sungai juga karena bercampur dengan limbah cair yang belum terolah dengan baik.”
Maraknya tindakan tidak terpuji yang sering dilakukan oleh warga, yaitu membuang limbah padat atau cair secara sembarangan ke sungai sebelum diolah terlebih dahulu membuat kondisi air sungai di Yogya semakin hari semakin memprihatinkan. Survei KLHK menunjukan bahwa sebanyak 73% dari sungai yang ada di Indonesia, termasuk di Yogya, masuk kategori cemar berat.
Menurut Pramu, Kepala Sub Bidang Pengawasan dan Pemulihan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta, saat ditemui di kantornya pada Senin (2/5), banyak ditemukannya kandungan bahan kimia berbahaya seperti zat BOD, COD, nitrit dan amonia yang melebihi batas baku mutu disebabkan oleh limbah yang dibuang ke badan sungai secara ngawur oleh warga.
Pramu mengatakan, sampah rumah tangga menjadi penyebab utama pencemaran sungai di Yogyakarta. Provinsi DIY sudah memiliki Peraturan Gubernur No. 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Limbah Cair, yang mengatur batasan maksimal limbah cair yang boleh dibuang ke lingkungan.
Menurut peraturan tersebut, limbah cair yang berasal dari industri besar, kecil, dan rumah tangga  sebelum dibuang ke sungai harus terlebih dahulu diolah untuk menetralisir kandungan bahan-bahan kimia. Parameter mutu buangan limbah cair diukur berdasarkan volume, kadar zat pencemar, dan beban pencemaran limbah.
Denda sebesar Rp 2 juta dikenakan kepada warga yang ketahuan membuang sampah sembarangan ke sungai. “Limbah cair yang tak terolah dengan baik saja sangat berbahaya apabila dibuang langsung ke air sungai, apalagi limbah padat. Ini dapat membahayakan ekosistem sungai, dan apabila dibiarkan juga bisa berbahaya bagi kesehatan masyarakat,” kata Pramu.
Pramu mengatakan bahwa membakar sampah juga bukan merupakan tindakan yang tepat. Berbagai zat berbahaya hasil pembakaran seperti karbon tentunya dapat merusak lingkungan. “Namun, apabila masyarakat memiliki inisiatif untuk menimbunnya, ini bisa menjadi pilihan,” katanya.
Jika melihat kondisi empat air sungai itu, warna keruh dan banyaknya sampah menjadi indikasi kondisi lingkungan sungai yang buruk. Idealnya, air sungai yang mengalir masuk kategori B di mana flora dan fauna masih dapat hidup. Kategori A berarti air untuk dikonsumsi, sementara kategori C berarti air tercemar berat.
Saat ini, predikat sungai dengan pencemaran tertinggi masih dipegang oleh Sungai Code dengan titik pusat tercemar paling tinggi berada di sekitar jembatan Tungkak dan Surokarsan. Banyaknya limbah padat atau sampah di sepanjang alirannya menjadikan Code tidak hanya keruh, tetapi juga berbau busuk, kental, dan mengandung banyak material padat berupa sampah. Padahal Code merupakan ikon Kota Yogya. Sering dijadikannya Sungai Code sebagai latar pengambilan foto atau syuting film membuat Code terkenal secara nasional, tapi saat ini kondisinya sangat memprihatinkan.
Menurut Totok, aktivis pecinta sungai sekaligus pendiri Sekolah Sungai Code, sejak 1980-an kualitas Code sudah mulai memburuk seiring bertambah banyaknya penduduk yang menempati wilayah sekitarnya. Ia juga menyayangkan adanya ketimpangan pengelolaan antara wilayah Kota Yogya dan Kabupaten Sleman.
“Kota sudah lumayan dalam pengelolaan, tapi hulunya di Sleman yang justru buruk dalam pengelolaan. Contohnya adalah di sungai Boyong. Perumahan-perumahan di sepanjang aliran itu banyak menyumbang limbah ke Code,” kata Totok.
Sedangkan kasus Sungai Winongo berbeda lagi. Banyaknya industri kecil yang tidak mau mengolah limbahnya terlebih dahulu dan langsung dibuang ke got-got menyebabkan Winongo tercemar. Pramu menyebutkan, industri tahu tempe, industri batik, tempat pemotongan hewan, dan usaha laundry sering membuang limbahnya langsung ke got-got sekitar. Limbah padat yang berasal dari sampah rumah tangga juga turut andil sebagai donatur limbah di sungai Winongo.
“Got atau saluran air itu bermuaranya ke sungai. Apa yang dibuang ke got, itulah yang nantinya akan ada di sungai kita. Masih baik kalau yang dibuang hanya limbah makanan. Tapi kalau detergen atau limbah lain yang mengandung zat berbahaya bisa repot,” kata Pramu.
BLH pun melakukan sejumlah tindakan. Selain rutin melakukan pengecekan di lapangan setiap harinya, BLH juga rutin meninjau industri-industri kecil di sekitar wilayah sungai yang membuang limbahnya ke sungai. BLH tidak langsung percaya kepada laporan masyarakat, mereka akan turun langsung ke lapangan untuk melakukan crosscheck.
Untuk setiap sungai terdapat lima titik tempat pengambilan sampel. Setiap hari pukul 9 pagi petugas BLH akan berendam di lima titik sampel untuk mengecek kadar pencemaran air sungai. Lalu, sampel dikirim ke laboratorium untuk dideteksi kadar pencemarannya. Setelah hasil keluar, BLH melakukan analisis tingkat pencemarannya dari masing-masing titik tersebut. Parameter pencemaran diukur berdasarkan volume, bau, kadar baik residu terlarut maupun tersuspensi, kandungan bahan kimia dan beban pencemaran limbah yang diperbolehkan untuk dibuang ke badan sungai. Setelah itu, BLH mengidentifikasi penyebab pencemaran.
Identifikasi ini membutuhkan waktu lama. BLH akan terjun ke lapangan mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyebabkan tercemarnya air sungai. Kerjasama juga dilakukan dengan berbagai pihak untuk memudahkan kerja BLH, seperti dengan LSM-LSM. Apabila sudah teridentifikasi, akan dilakukan peninjauan ulang. Apabila diketahui bahwa yang menjadikan sungai tercemar adalah industri di sekitaran sungai, maka BLH akan memperingatkan langsung. Biasanya peringatan akan diberikan kepada pelaku industri yang ngeyel karena tidak mau mengolah limbahnya terlebih dahulu.
Namun apabila penyebabnya adalah masyarakat atau rumah tangga, BLH tidak bisa berbuat banyak selain melakukan pembersihan pada sungai. Hal ini karena sulitnya mengusut asal datangnya limbah. Jika ada industri yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), BLH akan memaksa industri terkait untuk membuat IPALnya sendiri atau secara komunal. Apabila tidak kunjung dibuat, sanksi hukum akan diterapkan.
“Awalnya akan kami peringatkan seperti yang pernah kami lakukan pada industri tahu-tempe di Wirobrajan. Apabila tidak kunjung ditindak-lanjuti, maka akan kami bawa ke Dinas Ketertiban,” kata Pramu.
Menurut Totok selaku aktivis yang mengetahui kondisi di lapangan, keberadaan dari IPAL komunal banyak yang gagal karena tersandung masalah perawatan. Terpencarnya industri-industri kecil rumahan seperti laundry tanpa instalasi khusus untuk mengolah limbah membuat pemerintah sulit untuk mengendalikannya. Mereka dengan ngawur langsung membuang limbahnya ke got-got. Ia juga menyayangkan beberapa industri kecil yang sudah mengelompok namun masih ngeyel tidak mau mengolah limbahnya terlebih dahulu.

2.   Pencemaran Lingkungan [TANAH]
Pencemaran Lingkungan Tanah Mulai Terkontaminasi Timah
Pembangunan dan aktivitas manusia di Kota Jogja yang semakin padat berdampak pada risiko pencemaran timah dalam tanah. Dosen Departemen Geologi Universitas Yangon Myanmar, Saw Aung Zaw Aye dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan pentingnya pengawasan terhadap area perkotaan yang berpotensi terkontaminasi. Kesadaran mengenai kesehatan masyarakat terkait bahaya timah juga diperlukan, mengingat jalur paparan dan penilaian risiko polutan, juga harus diperhatikan.
Ia memberikan masukan, agar ada manajemen dari area urban yang telah terkontaminasi, dilihat berdasarkan tipe penggunaan tanah. Selain itu diperlukan edukasi publik untuk mengurangi sumber kontaminasi dengan pengelolaan limbah yang layak, daur ulang, serta penggunaan ulang material harus dipraktekkan di area urban yang tua. Manajemen yang efektif perlu dirancang untuk area urban yang relatif muda demi pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam penelitian tersebut Saw Aung Zaw Aye menerangkan, kontaminasi timah sesungguhnya dapat diturunkan dari sumber natural atau sumber antropogenik. Peneliti sebelum dirinya, telah menjelaskan mengenai kemungkinan kontaminasi timah di permukaan tanah yang disebabkan oleh hasil pembakaran bahan bakar dari kendaraan bermotor.
Lebih dalam ia memaparkan, penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi fraksi geokimia dan perilaku timah pada tanah, serta menentukan sumber dari kontaminasi tersebut. Di Kota Jogja, ia meneliti konsentrasi timah pada tanah di zona tak jenuh.
Selain itu, ia juga mengumpulkan sampel dari beberapa lokasi seperti area sekitar Gunung Merapi sebagai area alami, Pakem sebagai area pertanian, serta wilayah perkotaan sebagai area urban.
Dari sana diketahui, kontaminasi timah di area perkotaan dan Pakem disebabkan oleh sumber antropogenik, sementara di Merapi kontaminasi lebih disebabkan oleh sumber natural, yaitu sebagai akibat dari aktivitas vulkanis.


Daftar Pusaka :
CNN Indonesia. 2016. Yogyakarta : pencemaran lingkungan meningkat 250%. http://www.isigood.com/wawasan/yogyakarta-pencemaran-lingkungan-meningkat-250/ (diakses 29 November 2016)
Sekarini Ayu, Lintang. 2016. Tercemar Berat, Kondisi Empat Sungai Utama Tergolong Kritis. http://wargajogja.net/lingkungan/tercemar-berat-kondisi-empat-sungai-utama-tergolong-kritis.html (diakses 29 November 2016)
Febriarni, Uli. 2016. Konsentrasi Timah di Jogja Tinggi, Apa Yang Harus Dilakukan?. http://www.harianjogja.com/baca/2016/06/29/pencemaran-lingkungan-konsentrasi-timah-di-jogja-tinggi-apa-yang-harus-dilakukan-733415 (diakses 29 November 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.