Laman

Sabtu, 11 Agustus 2018

Bahaya kimia pada konsumen ikan asin @G24-hizra @G03


Bahaya kimia pada
 konsumen ikan asin

oleh ; hizra fazly *)
Abstrak
Ikan asin di Indonesia masih menjadi lauk yang banyak digemari oleh masyarakat. Pengolahan ikan asin secara tradisional sangat bergantung pada intensitas sinar matahari. Tujuan penelitian ini adalah mengidentikasi tingkat penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengolahan ikan asin. Rancangan penelitian adalah explanatory research design. Populasi dalam penelitian adalah semua pengolah ikan asin di Muara Angke dan Cilincing, Jakarta. Responden dipilih secara acak sebanyak 73 orang pengolah, 55 orang dari Muara Angke dan 18 orang pengolah dari Cilincing. Data yang dikumpulkan adalah data primer, dikumpulkan dengan menggungakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan kimia berbahaya (formalin dan pemutih) masih digunakan oleh pengolah ikan asin. Tingkat penggunaan bahan kimia berbahaya berkorelasi signikan dengan persepsi pengolah terhadap tingkat pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen tentang bahan kimia berbahaya harus ditingkatkan agar mereka tidak bersedia membeli ikan asin yang mengandung bahan kimia, sehingga dapat mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengolahan ikan asin. Pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengolahan ikan asin masih relatif rendah, sehingga perlu ditingkatkan agar pengolah bersedia mengolah ikan asin secara alami dan meninggalkan bahan kimia berbahaya.

Kata kunci: bahan kimia, ikan asin, pengawasan pemerintah, pengolah ikan asin
PENDAHULUAN
Ikan merupakan salah satu sumber kalsium di samping susu dan sayuran (Trilaksani et al. 2006). Salah satu produk olahan ikan, yaitu ikan asin masih menjadi lauk yang digemari oleh masyarakat. Produksi ikan asin sampai saat ini masih bergantung pada sinar matahari dalam proses pengeringannya. Menurut Suprihatin dan Romli (2009), pengeringan dengan penjemuran sangat tergantung pada kondisi cuaca. Pengeringan
menjadi tertunda dan proses pembusukan ikan akan terjadi. apabila hujan turun. Beberapa pengolah ikan asin mengatasi hal tersebut dengan cara menggunakan bahan kimia sebagai pengawet untuk menghindari kebusukan.
Bahan kimia digunakan oleh para pengolah ikan asin untuk meningkatkan mutu produknya, baik dari segi penampilan maupun daya awetnya. Penggunaan formalin sebagai pengawet kimia sudah dilarang oleh pemerintah sejak tahun 2005. Hasil survei tentang kebiasaan pengolah ikan dalam menggunakan bahan kimia menunjukkan bahwa 53,3% pengolah pernah menggunakan pemutih dan formalin. Pemutih digunakan oleh pengolah untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh ikan asin (Yuliana 2009).
Permasalahan
tingkat penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin yang diduga berhubungan dengan karakteristik individu dan sosial pengolah, karakteristik unit pengolahan, dan persepsi pengolah terhadap bahaya bahan kimia dan pengetahuan konsumen.
PEMBAHASAN

Pengolahan Ikan Asin di Muara Angke dan Cilincing

Muara Angke dan Cilincing adalah sentra pengolahan ikan asin di Jakarta. Para pengolah ikan asin di Muara Angke dikoordinir oleh pemerintah DKI dalam suatu unit yaitu unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional Muara Angke, sedangkan di Cilincing belum terkoordinir dan umumnya masih berskala rumah tangga.

Ikan asin yang diproduksi di Muara Angke adalah tembang, lesi, cucut, layang, cumi, pari, dan ikan asap. Rata-rata jumlah produksi pengolahan tembang asin adalah 101.830 kg/tahun, lesi 21.600 kg/tahun, cucut 66.000 kg/tahun, layang 162.750 kg/tahun, cumi 123.750 kg/tahun, pari 36.000 kg/ tahun, dan ikan asap 21.600 kg/tahun. Produk terbesar yang banyak diolah adalah layang asin, disusul cumi asin dan tembang asin. Jumlah bahan baku untuk ikan layang adalah 277.500 kg/tahun, cumi 247.500 kg/tahun dan tembang 169.714,28 kg/tahun. Rata-rata rendemen dari ketiga jenis ikan ini adalah 0,6 (Yuliana et al. 2007).

Unit pengolahan ikan asin di Cilincing hanya berjumlah 30 unit. Pengelolaan unit pengolahannya lebih bersifat rumah tangga dan skalanya lebih kecil jika dibandingkan dengan Muara Angke. Komoditas olahan di Cilincing kebanyakan adalah jenis ikan asin kecil, yaitu tembang, teri, dan layang. Proses pengolahan masih dilakukan secara tradisional pada kedua lokas tersebut. Secara umum, proses pengolahannya adalah pencucian ikan basah, penyortiran, perendaman dengan garam, dan penjemuran. Ada juga proses pengolahan ikan asin yang menggunakan proses perebusan untuk produk tertentu.
Tingkat Penggunaan Bahan Kimia

Pengolah ikan asin secara tradisional mempunyai ketergantungan yang tinggi pada sinar matahari. Beberapa pengolah menggunakan jalan pintas dengan memanfaatkan bahan kimia sebagai sebagai pengawet, yaitu formalin dan pemutih (H2O2).

Penggunaan formalin biasanya dilakukan pada proses sebelum penjemuran. Pemutih biasanya digunakan pada saat pencucian dan perendaman dengan garam. Ikan yang sudah dicuci dan direndam dengan pemutih akan berpenampilan bersih, karena pemutih berfungsi untuk membersihkan kotoran yang menempel pada ikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolah ikan asin masih ada yang menggunakan bahan kimia sebagai pengawet (47%), dengan distribusi 22% pengolah menggunakannya pada proses pencucian ikan, 25% pengolah menggunakannya pada proses penggaraman ikan, dan 15% pengolah menggunakannya pada proses perebusan ikan. Persentase jumlah pengolah ikan asin yang menggunakan bahan kimia kurang dari 50% tetapi akibat yang ditimbulkannya akan berbahaya bagi konsumen, yaitu tersebarnya produk ikan asin yang mengandung bahan kimia berbahaya. Pemerintah sudah jelas melarang penggunaan bahan kimia berbahaya pada pengolahan ikan asin dengan denda 1 milyar rupiah jika ada pengolah yang ketahuan menggunakan formalin. Tingkat penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin disajikan padaTabel 1.

Tabel 1 Tingkat penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin


Aktivitas
Kategori
%



Proses pencucian ikan
Tidak
68
Ya
22

Proses penggaraman ikan
Tidak
75
Ya
25

Proses perebusan ikan
Tidak
85
Ya
15


Proses pencucian ikan sebelum diasinkan merupakan proses yang penting, karena pencucian ikan bertujuan untuk membuang semua kotoran yang ada pada ikan, di luar atau di dalam tubuh ikan. Kotoran yang ada pada tubuh ikan merupakan tempat tinggal yang disenangi oleh bakteri pembusuk. Proses pembusukan akan terhambat, jika kotoran tersebut dihilangkan. Proses pencucian juga akan menentukan penampilan produk ikan asin, terutama dari segi kebersihannya. Pengolah sebanyak 22% menggunakan pemutih untuk membersihkan tubuh ikan yang menjadi bahan baku ikan asin. Bahan baku ikan asin yang dicuci dengan pemutih akan berwarna mengkilap dan putih bersih. Produk ikan asin yang dihasilkan akan berpenampilan menarik dan bersih, sehingga konsumen akan lebih tertarik dengan penampilan ikan asin tersebut.

Bahan kimia yang umum digunakan pada proses penggaraman ikan oleh pengolah (25%) adalah formalin. Proses penggaraman yang dicampur dengan formalin tidak memerlukan proses pengeringan dalam waktu yang lama. Pengolah tidak terlalu bergantung pada sinar matahari dengan menggunakan formalin. Para pengolah mengesampingkan bahaya yang mengancam konsumen jika mengonsumsi ikan asin yang berformalin. Persentase pengolah yang menggunakan formalin (25%) tergolong tinggi, karena penggunaan formalin sudah dilarang oleh pemerintah, seharusnya tidak ada lagi pengolah yang menggunakan formalin.

Bahan kimia yang digunakan pada proses perebusan ikan umumnya adalah pemutih. Pengolah yang menggunakan pemutih adalah 15%, meskipun pemutih belum secara resmi dilarang oleh pemerintah, tetapi tetap saja ada bahaya di balik penggunaannya, karena fungsi pemutih bukan untuk bahan pangan.

Kadar bahan kimia yang digunakan pada pengolahan ikan asin tidak diukur pada penelitian ini., Uji formalin dilakukan untuk menguatkan data penggunaan bahan kimia pada pengolahan ikan asin terhadap beberapa sampel ikan asin. Kandungan formalin pada beberapa sampel ikan asin yang diambil secara acak dari Muara Angke dan Cilincing disajikan pada Tabel 2. Produk ikan asin dari Muara Angke yaitu ikan layang kecil, ikan jambal, dan cumi mengandung formalin dengan kadar lebih dari 500 ppm. Ikan asin kering
produksi Cilincing tidak mengandung formalin.

KESIMPULAN
Bahan kimia berbahaya (formalin dan pemutih) masih digunakan oleh sebagian pengolah ikan asin. Beberapa produk ikan asin positif mengandung formalin. Faktor yang
berhubungan secara signikan (α = 0,05) dengan tingkat penggunaan bahan kimia adalah persepsi pengolah terhadap pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen tentang bahaya bahan kimia pada produksi ikan asin seharusnya dapat menjadi kekuatan bagi konsumen untuk menolak ikan asin yang mengandung bahan kimia. Pengawasan pemerintah terhadap penggunaan bahan kimia tergolong rendah, ditunjukkan dengan data kunjungan dan penyuluhan staf pemerintah
kepada pengolah yang termasuk kategori jarang. Dengan penyuluhan yang intensif, diharapkan pengolah berhenti menggunakan bahan kimia, dan akhirnya bersedia mengolah ikan asin secara alami. Persepsi pengolah terhadap pengetahuan konsumen berkorelasi signifikan terhadap tingkat penggunaan bahan kimia. Pengetahuan konsumen ikan asin tentang bahan kimia berbahaya sangat menentukan pengolah dalam menentukan cara produksi.
Daftar pustaka
Jurnal Matematika, Sains, & Teknologi 11(1): 65-77.
Kurnianingtyas R. 2009. Penerimaan Diri pada Wanita Bekerja Usia Dewasa Dini Ditinjau dari Status Pernikahan [Skripsi]. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah.


Pakpahan HT, Lumintang RWE, Susanto D. 2006. Hubungan motivasi kerja dengan perilaku nelayan pada usaha perikanan tangkap. Jurnal Penyuluhan 2(1): 26-34.

Permadi A. 2008. Analisis Kebijakan Pencegahan Penyalahgunaan Formalin pada Produk Perikanan (Kasus di Wilayah Barat Pantai Utara Jawa) [Disertasi], Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.