Laman

Rabu, 30 November 2016

Nih Tentang Pencemaran Lingkungan Di Jawa Barat



PENCEMARAN LINGKUNGAN JAWA BARAT
Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat disusun dengan mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kepedulian wilayah (propinsi) setempat, dimaksudkan untuk memberi arahan kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan. Tujuan penyusunan Strategi Lingkungan Propinsi Jawa Barat adalah untuk menunjang perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan dengan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengendalikan tingkat pencemaran melalui pengkajian kembali penyiapan instrumen kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang akan dilaksanakan oleh masing-masing daerah dalam mengatasi masalah lingkungannya. Adapun proses penyusunannya adalah dengan melakukan identifikasi dan pengkajian ulang kondisi lingkungan regional dan lingkungan perkotaan terhadap permasalahan (issues I concerns) yang terjadi dalam konteks regional - lokal yang dilakukan bersama dengan stakeholders untuk kemudian merumuskan strategi penanganan lingkungan dan perolehan kesepakatan terhadap rencana tindak yang akan dilakukan mendatang.
Isue lingkungan global, regional, dan nasional dijadikan titik tolak untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang telah muncul di Jawa Barat. Berdasarkan permasalahan (issue) lingkungan tersebut yang kemudian disebandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang ada, baik pada tingkat nasional (Propenas, RTRW, Renstranas, Sarlita) maupun propinsi (Pola Dasar, Rencana Strategi Pembangunan, RTRWP, Propeda) sebagai rujukan, sehingga strategi yang disusun dapat berkesinambungan tanpa kesenjangan dengan kebijakan-kebijakan tersebut. Strategi Pengelolaan Lingkungan ini diharapkan menjadi arahan kebijakan umum atau untuk dijadikan acuan umum (guidance) rencana kegiatan berbagai sektor, sehingga memungkinkan partisipasi berbagai pihak terkait baik di tingkat propinsi, maupun kabupaten/kota di Jawa Barat. Strategi Pengelolaan Lingkungan Propinsi Jawa Barat dapat dijadikan payung bagi penyusunan strategi lingkungan di tingkat kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat serta dapat dijadikan acuan bagi para pihak berkepentingan (stakeholders) dalam menyusun rencana tidak Ian jut dan program aksi.

Pokok-Pokok Pencemaran Lingkungan
Pokok-pokok permasalahan lingkungan di Propinsi Jawa Barat yang telah teridentifikasi hingga saat ini, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
  • Degradasi sumberdaya alam khususnya air dan lahan, yang ditandai dengan deplesi
    sumber air (permukaan dan air bawah tanah, baik kuantitas maupun kualitasnya),
    semakin meluasnya tanah kritis dan DAS kritis, penurunan produktifitas lahan, semakin
    meluasnya kerusakan hutan (terutama karena perambahan) baik hutan pegunungan
    maupun hutan pantai (mangrove).
  • Permasalahan pencemaran, baik pencemaran air, udara maupun tanah yang
    penyebarannya sudah cukup meluas dan terkait dengan industri, rumah tangga dengan
    segala jenis limbahnya, terutama sampah.
  • Permasalahan kebencanaan alam, yaitu Jawa Barat terutama bagian tengah dan
    selatan termasuk wilayah rawan gempa dan volkanisme. Wilayah ini termasuk daerah
    yang paling sering tertimpa musibah tanah longsor dibanding wilayah lainnya di
    Indonesia, yang terkait dengan "irrational land use" dan juga kegiatan pertambangan.
  • Inkonsistensi antara Rencana Tata Ruang Wilayah dengan eksisting penggunaan
    lahan/pemanfaatan ruang yang tidak berwawasan lingkungan.
  • Permasalahan kawasan pesisir dan pantai, yaitu kerusakan hutan mangrove, abrasi dan
    akresi pantai, perubahan tataguna lahan di wilayah pesisir, intrusi air laut, dan
    pencemaran air laut.
  • Permasalahan sosial kependudukan, ditandai dengan tingginya urbanisasi, munculnya
    permukiman kumuh pada hampir seluruh kota di Jabar, pedagang kaki lima - PKL dan
    kesemrawutan lalu lintas.
  • Tumpang-tindih peraturan perundang-undangan terhadap lingkungan, baik dari
    interpretasi materi maupun implementasinya di lapangan.
Degradasi Sumber Daya Alam
Sumber Daya Lahan
Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan dan kawasan resapan air. Konversi lahan dari hutan alarm menjadi area yang rendah penutupan vegetasinya telah terjadi beberapa dekade di kawasan Bopuncur dan Depok. Pembangunan villa dan perumahan di kawasan Puncak yang selama ini terjadi sudah melebihi aturan yang ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung 19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999).
Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. Selain itu terjadi perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung yang mengalami peningkatan luasan lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000). Sementara itu volume banjir periodik 25 tahunan pun mengalami peningkatan dari 330 m3/detik pada tahun 1973 menjadi 740 m3/detik pada tahun 2000. Adanya lahan-lahan kritis umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan peruntukannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal permukiman. Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi, dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu mengendalikan perencanaan regional yang menciptakan kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Rencana Strategis Jawa Barat 2001-2004).

Sumber Daya Air
Wilayah Propinsi Jawa Barat banyak diberkahi dengan sumber-sumber air tapi dengan cepatnya kenaikan permintaan akan air telah mengakibatkan sistem penyediaan yang dibangun tidak lagi seimbang. Curah hujan yang besar (terutama di wilayah bagian tengah) memberikan aliran air permukaan berlimpah, tapi keragaman aliran menurut musim dan keterbatasan fasilitas penyimpanannya sumber-sumber air permukaan tidak lagi memadai untuk satu tahun penuh. Air tanah juga merupakan sumber penting tapi pengembangannya dibatasi oleh jumlah pengisian kembali sumber air tersebut. Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri, dan irigasi pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 pertahun, dan diperkirakan akan terus naik sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80% dari total permintaan air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Propinsi Jawa Barat dan air tanah.
Propinsi Jawa Barat memiliki lima satuan wilayah sungai (SWS) utama. Tiga SWS berperan penting dalam hubungannya dengan perkembangan sosial-ekonomi: SWS Cisadane-Ciliwung yang dibagi dengan propinsi OKI Jakarta dan Banten, SWS Citarum, dan SWS Cimanuk-Cisanggarung. Dua SWS lainnya yaitu SWS Cisadea-Cimandiri, dan SWS Citanduy-Ciwulan. Keseluruhan wilayah Jawa Barat memiliki 40 daerah aliran sungai (DAS) ukuran besar dan kecil: 22 sungai mengalir ke utara dan 18 ke selatan. Ketersediaan air sepanjang musim hujan mencapai kira-kira 81,4 milyar m3 / tahun dan turun menjadi 8,1 milyar m3 pada musim kering, sedangkan permintaan air untuk kebutuhan domestik, pertanian, dan industri tetap sama pada 17 milyar m3 / tahun. Sebagai konsekuensinya, adanya pasokan air yang tinggi pada musim basah dan kurang pada musim kering. Disamping itu, kualitas air pada musim kering umumnya kurang baik karena terkontaminasi berat oleh baik sumber-sumber domestik maupun industri. Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi, Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Sungai-sungainya sangat kotor terutama di bagian hilir sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai kehidupan. Di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Barat banyak aliran dan sungai yang tidak cocok untuk pemakaian langsung oleh manusia dan air dari sumber-sumber lainnya perlu dimasak dulu sebelum digunakan. Kebanyakan kontaminasi sungai tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai. Aliran air dari sungai Citarum yang masuk ke waduk Saguling dengan tingkat pencemaran berat menyebabkan bencana kematian ikan besar-besaran di danau tersebut.

Sumber Daya Hutan
Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, luas kawasan hutan di Jawa Barat adalah sekitar 791.519 ha atau 22% dari total areal Jawa Barat. Seperti dilaporkan oleh kantor ini, areal hutan merupakan kawasan hutan, sedangkan areal hutan yang nyata (cadangan hutan yang ada) kurang dari 9% total wilayah Jawa Barat. Areal hutan produksi sekitar 472.303 ha, hutan lindung 203.106 ha, dan hutan konservasi adalah sekitar 116.110 ha. Menurut Perum Perhutani, areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung 271.972 ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha dengan total areal hutan sekitar 917.904 ha (Perum Perhutani, 1999). Menurut Bagian Kehutanan (2001), areal hutan produksi adalah sekitar 465.907, hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi 108.074 ha. Sedangkan menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Propinsi Jawa Barat (2001), total areal hutan negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih kecil dari total areal hutan menurut BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha. Data yang tersedia tentang areal hutan Jawa Barat bermacam-macam bergantung dari mana data itu didapat.
Salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas hutan. Penurunan hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS, memiliki konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Banjir dalam periode musim hujan dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat pada lima tahun terakhir. Masalah-masalah lingkungan terkait lainnya yaitu tingginya sedimentasi sungai dan waduk telah mengakibatkan berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah yang hebat di daerah-daerah tangkapan air, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan luas hutan. Angka penurunan hutan yang tinggi di Jawa Barat sangat serius. Penyebab penurunan hutan bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya di tingkat lapangan. Masalah terakhir ini sebagian besar disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, skala penurunan hutan di Jawa Barat meningkat. Sebagai contoh, pada skala lokal di KPH Bandung Selatan, perambahan hutan dilaporkan hingga 15.500 ha. Ini berarti 28% dari keseluruhan areal hutan yang melibatkan sekitar 41.500 keluarga (Anonymous, 1999). Hasil-hasil pertanian perkebunan pada lahan hutan disatu sisi memberikan keuntungan ekonomi buat petani dalam jangka pendek. Tapi pada sisi lain, hal ini akan mengurangi produksi hutan dan merusak layanan-layanan lingkungan lainnya termasuk stabilisasi tanah dan air, iklim mikro, dan merosotnya karbon. Konflik antara kepentingan-kepentingan ekonomi dan ekologi ini perlu ditangani secara tepat sehingga keberadaan sumberdaya hutan yang tersisa dapat tetap terpelihara.

Masalah Pertanian
Selama lima tahun terakhir telah terjadi pengurangan atau alih fungsi lahan sawah di Jawa Barat sebesar 62.834 Ha, yaitu dari luas sawah 976.869 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 881.637 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Bandung sebesar 38.159 Ha, yaitu dari luas sawah 64.147 Ha pada tahun 1997 berkurang menjadi 25.988 Ha pada tahun 2002. Sebaliknya pertanian lahan kering selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penambahan luasan lahan kering atau alih fungsi ke lahan kering di Jawa Barat sebesar 804.409 Ha, dari luas lahan kering 1.781.909 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 2.586.318 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Garut sebesar 90.347 Ha, dari luas lahan kering 154.514 Ha pada tahun 1992 bertambah menjadi 244.861 Ha pada tahun 2002. Pembangunan pertanian pada saat ini khususnya tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada penyediaan bahan pangan beras. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Barat tahun 1999 sebesar 1,59 % (NKLD, 2000). Produksi padi mencapai 10.340.686 ton GKG, atau mencapai 99,71 % dari sasaran sebesar 10.370.436 ton, dan meningkat 5.57 % dari tahun 1998 yang mencapai 9.795.638 ton GKG (NKLD, 2000).

            Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen padi di propinsi Jawa Barat sebesar 2.190.478 Ha dengan total penurunan produksi sebesar 9.112.427 Ton padi dari luas panen padi sebesar 4.102.640 Ha dengan total produksi sebesar 18.574.790 Ton padi pada tahun 1992 berkurang menjadi luas panen padi sebesar 1.912.162 Ha dengan total produksi sebesar 9.462.363 Ton padi pada tahun 2002. Pengurangan luasan panen padi tertinggi terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar 489.103 Ha dari luas panen padi sebesar 571.204 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 82.101 Ha pada tahun 2002. Penurunan luas panen padi terkecil terjadi di Kabupaten Purwakarta sebesar 17.795 Ha dari luas panen padi sebesar 60.476 Ha pada tahun 1992 menjadi 42.681 Ha pada tahun 2002.
Seperti pada kasus sumberdaya hutan, kondisi pertanian lahan basah (sawah) di Jawa Barat juga menunjukkan indikasi penurunan. Umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertanian tersebut menyangkut penurunan secara signifikan kapasitas air irigasi yang disebabkan meningkatnya sedimentasi pada saluran-saluran irigasi dan kerusakan yang tinggi pada infrastruktur irigasi (54% dari keseluruhan infrastruktur irigasi). Tingginya erosi tanah pada DAS dan tingginya pengangkutan sedimen mengakibatkan pendangkalan pada saluran dan waduk. Disamping itu juga terjadinya inefisiensi penggunaan sumber air karena kebocoran dan salah-pilih tanaman pertanian (kebutuhan tinggi terhadap air). Terbatasnya sumber air permukaan maupun sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan pertanian juga mengakibatkan penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut. Ini sebagian besar disebabkan oleh perubahan iklim global dan regional serta permintaan yang tinggi terhadap air untuk kebutuhan non-pertanian.
Masalah Kegiatan Pertambangan
Penambangan bahan galian 'C' mencakup pengerukan, penggalian atau penambangan material yang tidak termasuk material strategis. Bahan galian 'C' termasuk pasir, kerikil, tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir dan kerikil ditemukan di dataran-dataran rendah dan sungai; batu keras (basal, andesit, dasit) untuk agregat ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan. Pengadaan bahan galian 'C' sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik wilayah di Jawa Barat dan Jakarta. Tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini telah mengakibatkan beberapa permasalahan lingkungan dimana belum ada ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak dan kurangnya rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan lingkungan karena penambangan, pengedukan dan pengerukan bahan galian 'C' sebagian besar diakibatkan dari kurang mempertimbangkan masalah-masalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perbaikan pasca penambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi atau oleh dampak kumulatif dari operasi-operasi kecil.
Dampak-dampak lingkungannya meliputi: (i) destabilisasi lereng dengan penggalian dinding-dinding tinggi, yang sering meluas sampai batas wilayah perumahan, (ii) meningkatnya bahaya tanah longsor atau runtuhnya batuan akibat terpotongnya lereng curam yang terdiri dari batuan lepas dan batuan lapuk, karena cuaca dan tidak terkonsolidasi, (iii) meningkatnya erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup, (iv) meningkatnya kekeruhan dan pendangkalan selokan dan sungai karena penggalian tanpa penyediaan penampung sedimen, (v) kerusakan daerah resapan air tanah, (vi) semakin menurunnya permukaan air bawah tanah atau hilangnya air tanah karena terpotongnya akuifer, (vii) polusi debu dan suara dari jalan-jalan pengangkutan serta kerusakan vegetasi dan tanaman. Tanpa perbaikan yang tepat pada pasca penambangan, tataguna tanah menjadi tidak serasi lagi dengan areal sekitarnya. Pada dataran rendah di Bogor dan Bekasi sebagai contoh, banyak lubang-lubang dalam yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan. Penggalian, perusakan bentang lahan, timbulnya daerah-daerah genangan yang dengan limpahan air yang mandek dan meninggalkan lereng curam yang berbahaya. Di daerah perbukitan dan pegunungan topografi bisa lebih rendah dan lereng yang landai menjadi lebih curam, yang mengancam stabilitas sisi-sisi bukit, yang pada gilirannya mengancam pemukiman manusia dan pertanian. Gangguan kelebihan beban dan tanah atas dapat mengakibatkan hilangnya struktur tanah, stabilitas dan resistensi erosi yang membuat areal yang 'diperbaiki' menjadi lebih tidak produktif dari sebelumnya.

Permasalahan Lingkungan Pantai dan Wilayah Pesisir
Masalah-masalah umum yang dihadapi wilayah pesisir dan pantai Jawa Barat adalah degradasi hutan bakau, gerusan (abrasi) dan sedimentasi, pencemaran pantai karena kegiatan-kegiatan industri dan domestik serta intrusi air laut. Dilaporkan oleh BPLHD (Jawa Barat ASER, 2002) bahwa di pantai utara Jawa Barat abrasi sejauh 400-500 m terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 2 mil / tahun di Karawang, sedangkan sedimentasi/penambahan (akresi) sejauh 5-7 km sepanjang garis pantai terjadi di Indramayu, 5 km di Subang dan 300 m di Karawang.
Penurunan hutan bakau sejauh 1 km panjang pantai terjadi di Indramayu, 6000 tanaman di Subang, sekitar 1000 ha di Karawang, dan sekitar 64% dari total hutan bakau di Bekasi. Di wilayah pantai Subang, pengendapan (sedimentasi) telah menutup sekitar 6000 ha daratan. Di pantai selatan, abrasi sejauh 1 km terjadi di Ciamis, 22 km di Tasikmalaya, sedangkan kerusakan hutan bakau seluas 15 ha terjadi di Ciamis, sekitar 100 ha di Tasikmalaya, dan 1500 ha di Garut. Kerusakan pantai karena penambangan pasir laut (sekitar 450 ha) juga terjadi di daerah pantai selatan Cianjur.

Permasalahan Bencana Alam
Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL) melaporkan bahwa selama dekade terakhir terdapat 481 tanah longsor yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Bencana ini lebih dari 50% tanah longsor yang terjadi di Indonesia pada periode yang sama (811 kejadian). Penyebab utama tanah longsor tersebut dengan korban jiwa yang besar adalah karena alam dan fakta bahwa banyak terdapat masyarakat yang membangun di tanah-tanah yang rentan longsor, terutama setelah hujan. Keberadaan gunung berapi aktif yang tersebar di wilayah Jawa Barat dapat menyebabkan bahaya potensial terhadap kehidupan manusia di wilayah-wilayah sekitarnya. Dampak-dampak dari letusan gunung berapi tidak hanya kehilangan jiwa dan kerusakan dan harta benda, tapi juga dapat menjadi sumber polusi alami. Akan tetapi, perlu juga diingat bahwa kegiatan gunung berapi memberikan keuntungan yang sangat besar seperti tanah-tanah subur, bahan baku yang berlimpah, bijih besi, energi geothermal, dan pemandangan yang indah (pariwisata). Dengan kata lain, kegiatan gunung berapi selain menimbulkan dampak-dampak negatif, tapi juga memberikan kontribusi aspek-aspek positif untuk kemakmuran manusia. Jawa Barat terletak di suatu wilayah kegiatan gempa bumi yang tinggi. Dalam dekade terakhir beberapa gempa bumi berat terjadi di Jawa Barat, misalnya di selatan Kabupaten Sukabumi dan Tasikmalaya. Kemungkinan kejadian gempa bumi di Jawa Barat, terutama di wilayah bagian selatan relatif tinggi, sedangkan getaran gempa bumi tersebut berkisar antara 4.7 - 5.6 skala Reichter.

Pencemaran

1. Limbah Cair (Sewage)
Khusus untuk Kota Bandung saat ini telah tersedia instalasi pengolahan tinja secara terpusat dengan sistem perpipaan, namun sampai dengan tahun 2002 berdasarkan data dari Divisi Air Kotor PDAM Kota Bandung menyebutkan bahwa konsumen yang mendapat pelayanan sistem perpipaan baru mencapai 20% dari penduduk kota, sedangkan sisanya melalui penyedotan septic tanks oleh Dinas Kebersihan Kota. Hampir seluruh kota/kabupaten telah memiliki fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) namun tidak beroperasi secara optimum dan tinja yang diolah rata-rata baru mencapai 5% dari laju timbulan tinja yang ada. Bahkan, meskipun lumpur tinja dari tangki septik telah dikumpulkan/disedot, sebagian besar lumpur tinja tersebut dibuang langsung ke sungai dan kanal-kanal tanpa mengindahkan prosedur pembuangan limbah yang semestinya.

2. Kontaminasi Pasokan Air
Sistem pemasokan air dengan pipa tidak lagi memadai karena tingkat kerusakan perpipaannya yang kurang terpelihara. Tekanan air yang rendah berisiko terkontaminasi oleh rembesan airtanah, akibatnya baik pasokan air dari perusahaan air bersih maupun dari penyadapan airtanah dangkal belumlah aman terhadap kesehatan manusia, selagi air tersebut tidak dimasak dengan sempurna. Kondisi yang demikian telah mendorong.

3.Limbah Padat dan Persampahan
Timbulan sampah di Jawa Barat dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan paradigma pengelolaan kumpul-angkut-buang, menyebabkan pengalihan permasalahan dari sumber aktifitas perkotaan menjadi permasalahan di lokasi penimbunan akhir. Sampai saat ini hampir seluruh lokasi penimbunan sampah akhir di Jawa Barat berada pada kondisi tidak memadai. Bahkan sistem pengelolaan yang dijalankan oleh lembaga formal pengelola kota, belum menunjukkan efektifitas yang tinggi. Kebersihan kota umumnya di Jawa Barat masih sangat buruk.

4. Permasalahan Kualitas Udara
Data pemantauan kualitas udara dari pengamatan secara berkala yang dapat digunakan untuk melihat kecenderungan peningkatan atau penurunannya di kota-kota di Jawa Barat masih sangat terbatas. Data-data dari stasiun pemantau otomatis digunakan untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Berdasarkan nilai ISPU yang diperoleh, parameter PMi0 dan 03 sering ditemukan menjadi parameter kritis. Parameter kritis adalah parameter yang menyebabkan dampak buruk terbesar terhadap kualitas udara.

DAFTAR PUSTAKA:

Dadang. Uwa. “tentang pencemaran lingkungan di Jawa Barat”. Desember 24. 2007. http://uwadadang.blogspot.co.id/2007/12/permasalahan-lingkungan-jawa-barat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.